Pada Juli 2009 lalu, Lembaga studi Australian Strategic Policy Institute menunjukkan bahwa terorisme di Indonesia berpotensi mengalami perkembangan, khususnya dalam hal jaringan kelompok. Dua nama yang disebut-sebut masih memiliki taji dalam jaringan kelompok teroris di Indonesia adalah Abu Bakar Ba’asyir dan Aman Abdurrahman. Keduanya adalah kader Jamaah al Islamiyah (JI) yang diyakini telah melakukan metamorfosa dengan membentuk kelompok-kelompok ‘sempalan’ lain.
Munculnya kelompok sempalan tentu sempat membingungkan pihak kepolisian dalam melacak dan melumpuhkan kelompok teroris, konsentrasi awal yang fokus mengurai benang kusut kelompok JI akhirnya harus terpecah pada kelompok-kelompok lain yang sekilas tampak berbeda padahal berisi sama. Pihak kepolisian dan TNI sendiri bukannya tidak menyadari hal ini, seperti dijelaskan oleh Brigjen Pol. Hamidin, “Kalaupun kelompok teroris tidak sedang melakukan aksi, bukan karena mereka telah mati, tetapi justru karena mereka sedang berhibernasi.”
Hibernasi kelompok teroris itu kini tampak semakin jelas, dimana banyak kelompok muncul dengan brand dan image baru. Peristiwa serangan bom di Sarinah pada 14 Januari 2016 lalu disebut-sebut sebagai salah satu aksi ‘konser’ dari kelompok yang mengusung brand baru tersebut.
Terkait dengan brand dan image baru tersebut, beberapa kalangan menganggap hal itu hanyalah upaya kelompok teroris untuk menunjukkan pada masyarakat betapa mereka kini telah ada di mana-mana, padahal di waktu yang bersamaan banyak pula pengamat yang menyatakan bahwa kelompok yang kini muncul dalam beragam rupa itu sebenarnya adalah kelompok yang ‘itu-itu’ saja. Hal ini salah satunya dilandasi oleh keyakinan bahwa kelompok-kelompok teroris itu masih berada dibawah bayang-bayang nama besar Abu Bakar Ba’asyir dan Aman Abdurrahman. Nama terakhir ini bahkan semakin nyaring disebut namanya paska bom di kawasan Sarinah memunculkan nama Afif, salah satu pelaku teror yang diyakini sebagai murid Aman di Lapas Cipinang.
Serangan teror di kawasan Sarinah diduga kuat dilakukan oleh kelompok tandzim Jamaah Anshar Khalifah Daulah Nusantara (JAKDN), dimana Aman Abdurrahman menjadi pemimpinnya, sementara Abu Bakar Ba’asyir didapuk sebagai penasehatnya. Kedua orang ini kerap digaung-gaungkan namanya sebagai master mind dibalik aksi-aksi teror yang mengatasnamakan agama, khususnya Islam.
Tentang keterkaitan antara Aman Abdurrahman dengan Afif, yang juga dikenal dengan nama Sunakim, diketahui keduanya pernah bertemu ketika sama-sama menghuni lapas Cipinang. Afif hanyalah satu dari setidaknya 20 tahanan lain yang begitu terpengaruh dengan ajaran dan ceramah-ceramah yang disampaikan oleh Aman Abdurrahman. Tentu saja hal ini semakin mempertebal tingkat radikilasime Afif. Aman sendiri dikenal sebagai orang yang selalu menggunakan unsur takfiri (mengkafir-kafirkan orang lain yang dianggap berbeda) dalam setiap ceramahnya, bahkan ia juga kerap menyatakan bahwa penggunaan kekerasan diperbolehkan selama dimaksudkan untuk melawan orang kafir.
Sekilas Tentang Aman Abdurrahman
Dalam jaringan terorisme, khususnya di Indonesia, nama Aman Abdurrahman tentu bukan nama yang asing. Jejaknya mulai diketahui umum saat ia dipercaya menjadi imam tetap di sebuah masjid milik institut Salafi, yayasan Al Sofwa. Petualangannya dalam dunia terorisme dimulai pada kisaran 2003-2004, dimana saat itu ia bertemu dengan seorang alumni Ambon dan Poso bernama Harun. Berawal dari pertemuan yang terjadi di Masjid At-Taqwa, Tanah Abang itulah, Aman dan beberapa pengikutnya mulai belajar ketahan fisik, kemampuan menggunakan senjata, keahlian merakit bom, penyamaran, dll dibawah bimbingan langsung dari Harun.
Pada 21 Maret 2004, saat sedang berlatih merakit bom di Cimanggis, Depok, bom meledak. Aman pun digelandang pihak kepolisian hingga akhirnya pada 2 Februari 2005, ia divonis hukuman penjara selama 7 tahun karena melanggar pasal 9 UU No 15 tahun 2003 jo pasal 55 ayat 1 ke-satu KUHP tentang kepemilikan bahan-bahan peledak yang ditengarai bisa digunakan untuk aksi-aksi terorisme.
Usai persidangan, Aman melenggang santai dan membagikan selebaran kepada para pengikutnya yang memadati ruang sidang. Isi selebaran tersebut menyatakan bahwa dirinya tidak mengakui peraturan maupun undang-undang selain Al-Qur`an. Ia juga menegaskan bahwa negara yang tidak menegakkan syariat Allah adalah negara jahiliyah yang kafir, sehingga haram bagi orang Islam untuk mencintai serta loyal kepada pemerintah negara itu.
Hukuman penjara nyatanya memang tidak membuat kapok sosok Aman Abdurrahman, ia melakukan ceramah di dalam penjara. Ia bahkan sempat menggunakan ponsel untuk melakukan ceramah, sehingga ceramahnya bisa keluar melompati jeruji penjara. Salah satu pengikut ceramah Omah Abdurrahman adalah Abdullah Sunata yang saat itu menghuni lapas Cipinang. Keduanya pun kemudian menjalin hubungan dekat, bahkan ketika keduanya sudah sama-sama keluar dari lapas, mereka sering saling mengunjungi. Aman kemudian mendirikan kelompok pengajian yang ia beri nama “Jamaah Tauhid wal Jihad”. Beberapa nama sohor yang menjadi anggota dari kelompok ini antara lain adalah Agam Fitriadi, Gema Awal Ramadhan, serta Yudi Zulfahri yang direkrut langsung sejak di penjara Sukamiskin.
Pada Desember 2010, Aman kembali ditangkap pihak kepolisian dan divonis 9 tahun penjara karena terbukti melakukan pembiayaan bagi pelatihan kelompok teroris di Jantho, Aceh Besar. Sejak saat itu kelompok pengajianya “Jamaah Tauhid wal Jihad”, dipimpin oleh Sigit Qurdowi, bagian dari kelompok Hisbah, Solo. Sigit sendiri adalah orang yang berada dibalik Peledakan Masjid Al-Dzikra di kompleks Kepolisian Resor Kota Cirebon oleh M. Syarif. Belakangan nama Aman kembali mencuat paska bom Thamrin setelah salah satu pelaku teror tersebut, Afif, diketahui sebagai murid dari Aman.
Abu Bakar Ba’asyir
Sementara Abu Bakar Ba’asyir juga diduga memiliki keterkaitan kuat dengan jaringan kelompok terorisme di Indonesia. Sebagai pendiri dan pengajar di Pondok Pesantren Al-Mukmin, Sukoharjo, Jawa Tengah sejak 10 Maret 1972, nama Abu Bakar Ba’asyir santer beredar khususnya untuk kasus terorisme. Ansyad Mbai dalam bukunya “Dinamika Baru Jaringan Teror di Indonesia” menyatakan bahwa amir JAT (Jamaah Ansharut Tauhid) itu terang-terangan mendukung gagasan pendirian negara Islam di indonesia.
Mbai menjelaskan bahwa gagasan pendirian negara Islam ini sebenarnya baru menguat kembali pada 2009 di kalangan para teroris, hal ini juga menandakan peralihan fokus kelompok teroris yang sebelumnya concern melawan musuh jauh (far enemy). Salah satu penggagasnya adalah kelompok Lintas Tanzim Aceh, yang merupakan aliansi dari berbagai kelompok jihad di Indonesia, seperti JAT, Kelompok Ring Banten, Mujahidin KOMPAK, termasuk juga kelompok Tauhid wal Jihad yang diketuai Aman Abdurrahman.
Salah satu kegiatan awal dari proyek ini adalah pelatihan ala militer, pelatihan ini diikuti oleh para anggota berbagai kelompok jihad di Indonesia. Para peserta pelatihan rencananya akan dijadikan kader Asykariy yang akan memperjuangkan negara Islam. Namun sayang, proyek mereka terendus aparat. Polisi kemudian memburu para peserta dan penanggungjawabnya, dalam operasi itu polisi berhasil melumpuhkan sebagian besar anggota kelompok itu, termasuk Dulmatin yang tewas terkena peluru polisi. Polisi juga menangkap hidup-hidup puluhan orang lainnya, termasuk Abu Bakar Ba’asyir yang terlinbat dalam pendanaan proyek itu.
Seiring waktu berlalu, nama Abu Bakar Ba’asyir dan Aman Abdurrahman menjadi dua nama yang paling sering muncul dalam setiap penangangan kasus terorisme di Indonesia. Peristiwa bom Thamrin beberapa waktu yang lalu juga memunculkan nama keduanya yang disebut-sebut berada dibalik aksi jahat itu. Hal ini juga semakin menguatkan dugaan bahwa nama besar keduanya masih memiliki taji bagi kelompok teroris. Mengingat bahwa keduanya saat ini masih mendekam di balik jeruji besi, namun semangat dan ajaran kasar mereka masih mendekam pula di kepala para pengikutnya.
Meski demikian pemerintah tidak menganggap kelompok teroris sedang berjaya, karena justru sebaliknya, serangan-serangan yang dilakukan oleh kelompok teroris itu semakin menunjukkan bahwa mereka telah kehilangan arah dan terancam bubar. Serangan bom bunuh diri yang jadi ‘andalan’ kelompok teroris dilakukan karena mereka sudah mengaku kalah, karenanya mereka melarikan diri dengan menghabisi nyawa sendiri.
Fakta bahwa tokoh-tokoh besar kelompok teroris sudah banyak yang bertaubat dan bahkan mendukung pemerintah dalam melakukan penanggulangan terorisme juga semakin membuat kelompok teroris kalang kabut. Kepala BNPT Komjen Pol Dr. Saud Usman Nasution, SH, MH, mengakui bahwa saat ini sudah banyak tokoh kelompok teroris yang kembali ke jalan yang benar “Deradikaliasi yang kami lakukan sudah banyak memberikan hasil, seperti Abdul Rahman Ayub, Nassir Abas, Umar Patek, Toni Togar, Abu Dujana, Zarkasi, Abu Tholut, dan lain-lain. Mereka bahkan kini mau ikut membantu dalam pencegahan terorisme di Indonesia,” ungkapnya ketika ditemui tim PMD beberapa waktu yang lalu.
Tentu kita berharap agar pemerintah mampu mengatasi masalah terorisme hingga ke akar-akarnya, karena terorisme hanya mengumbar kesengsaraan. Namun kita juga dapat mengambil peran dalam penanggulangan terorisme itu sendiri, khususnya dalam bidang pencegahan. Kita jaga hati dan kepala agar kita tidak pernah lupa bahwa apapun agama dan suku kita, kita adalah orang Indonesia yang menghormati dan mencintai sesama. Kekerasan tidak pernah ada dalam kamus kehidupan kita, karena jelas, kekerasan adalah pertanda cekak-nya pikiran.