Aksi teror yang terjadi di dekat kawasan perbelanjaan Sarinah kemarin (kamis, 14 januari 2016) menyisakan banyak cerita, banyak kalangan yang menilai bahwa aksi teror itu gagal total. Niat untuk menyebar ketakutan yang mereka impikan buyar berantakan lantaran sikap sigap para aparat, plus respon masyarakat terhadap aksi itu. Ali Fauzi, seorang pakar terorisme dan mantan ahli bom kelompok Jamaah Islamiyah, bahkan menyebut aksi teror yang terjadi di siang bolong kemarin dilakukan oleh amatiran, “Taksiran saya, paling banter pelaku hanya dilatih sebulan,” tulisnya di kolom jawapos hari ini.
Jatuhnya korban yang lebih banyak berasal dari kelompok teroris (berjumlah 5 orang) juga semakin menunjukkan bahwa aksi teror kemarin benar-benar gagal. Impian untuk mendirikan negara khilafah langsung musnah, bumi sepertinya sudah tidak sudi lagi ditempati para begundal yang tidak bisa memberi manfaat apa-apa kepada sesama, karenanya tidak lama setelah aksi brutal itu bumi langsung menelan mereka mentah-mentah agar tidak lagi menjadi sampah. Tentu ungkapan terimakasih patut diberikan kepada para polisi dan TNI yang telah begitu sigap menghalau para pangacau, sehingga mereka mendapat apa yang pantas mereka dapatkan.
Peristiwa di atas sesungguhnya telah menyibak sebuah pembelajaran penting tentang makna terorisme yang sesungguhnya, yakni tentang siapa yang sebenarnya berada dalam ketakutan; apakah masyarakat yang diteror atau justru para teroris itu sendiri yang melakukan teror karena tidak tahan dengan ketakutan yang mereka miliki. Selama ini terorisme kerap dipahami sebagai upaya menebar ketakutan kepada masyarakat, seolah para penebar teror itu adalah orang-orang yang tidak lagi memiliki rasa takut. Benarkah demikian?
Jika dicermati, justru para teroris itulah yang sebenarnya penuh ketakutan. Seorang pemuka agama di Tangerang pernah menyatakan bahwa teroris adalah orang-orang yang sejatinya penuh dengan ketakutan, hal ini paling tidak dapat dilihat dari lima hal berikut; 1. Para teroris merencanakan aksinya secara sembunyi-sembunyi, hal ini dilakukan karena mereka takut ketahuan. 2, para teroris juga selalu melakukan aksinya secara berkelompok; mereka tidak berani sendirian. 3, teroris menggunakan metode bom bunuh diri simply karena mereka takut tertangkap polisi untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. 4, teroris sepertinya juga takut belajar, karenanya mereka terlalu mudah termakan bujuk rayu dengan janji-janji surgawi, mereka mengira membuat kekacauan akan mengantarkan mereka pada kebahagiaan, hanya orang yang takut belajar saja yang memiliki pemikiran sempit seperti ini.
Terakhir (5), para teroris adalah wujud nyata dari orang-orang yang takut akan indahnya perbedaan. Mereka memaksakan ideologi mereka dengan harapan semua orang akan memiliki pemahaman yang sama dengan mereka. Saking takutnya mereka terhadap perbedaan, mereka tega melakukan berbagai kekejian. Padahal kejahatan tidak pernah bisa mengantarkan mereka lepas dari ketakutan.
Hal di atas tentu semakin menunjukkan bahwa aksi teror tidak pernah membuat kita takut, karena justru yang sebenarnya berada di bawah ketakutan adalah para teroris itu sendiri. Presiden Joko Widodo pun menghimbau agar, “Negara, bangsa, dan rakyat tidak boleh takut. Tidak boleh kalah oleh aksi teror seperti ini”.
Kejadian kemarin telah menunjukkan secara gamblang betapa bangsa besar bernama Indonesia ini tidak takut terhadap terorisme, bangsa ini juga tahu persis bahwa para terorislah yang sebenarnya sedang bergelut dengan ketakutan-ketakutan tidak masuk akalnya. Kita sih tetap santai saja, tetap menjadi diri sendiri dan berusaha sebisa mungkin memberi manfaat untuk sesama, karena Indonesia adalah kita; damai, sejahtera, dan keren!