Ditemui di sela-sela kesibukannya, direktur I Pencegahan BNPT Brigjen. Pol. H. Hamidin menyatakan bahwa Indonesia tidak bisa menjadi lahan subur untuk terorisme, salah satu penyebabnya adalah tumbuhnya daya cegah dan daya tangkal terhadap radikalisme-terorisme di masyarakat Indonesia. “Masyarakat kita sudah cerdas, sehingga tidak mudah terperdaya oleh isu-isu terorisme,” jelasnya saat ditemui di ruang kerjanya, Selasa, 5 Januari 2016.
Mantan anggota pasukan elit Densus 88 itu juga mengungkapkan hal lain yang turut menekan pertumbuhan terorisme di indonesia, pendekatan keras dan halus, yang ia sebut sebagai totally hard approach dan soft approach menjadi kunci bagi terbenamnya terorisme di negeri ini. Melalui model pendekatan yang totally hard itu, pemerintah melalui aparat kepolisian melakukan penegakan hukum secara menyeluruh. Hingga tahun 2015 ini pemerintah telah menangkap sebanyak 1083 terpidana kasus terorisme. Pemerintah menurutnya juga melibatkan peran aktif militer, khususnya untuk hal-hal yang sifatnya beyond police capacity.
Prestasi gemilang yang ditampilkan Indonesia dalam penanganan terorisme menurutnya adalah keberhasilan dalam membongkar jaringan-jaringan terorisme di Indonesia. “Tidak ada satupun jaringan terorisme yang tidak bisa kita ungkap,” jelasnya.
Selain melakukan penegakan hukum, pemerintah juga aktif melakukan kampanye damai melalui program deradikalisasi dan kerjasama baik internasional maupun dalam negeri. Melalui deradikalisasi, pemerintah berupaya untuk mengajak para warga binaan lembaga pemasyarakatan (WBP) baik yang masih ada di dalam lapas maupun yang sudah keluar dari lapas untuk kembali ke jalan yang benar.
Ketika ditanya hal apa yang dilakukan pemerintah terhadap terpidana kasus terorisme, direktur pencegahan itu menyatakan bahwa pemerintah selalu berupaya untuk meyakinkan bahwa negara kita sangat baik, sehingga tidak sepatutnya dimusuhi apalagi dihancurkan dengan berbagai tindakan teror. “Kalau ada WBP yang ingin menikah, kita nikahkan. Sudah ada 4 WBP yang kita nikahkan sampai saat ini. kita juga memberi perhatian seksama kepada keluarga para WBP, sampai saat ini misalnya, sudah ada setidaknya 117 keluarga WBP yang sakit, kita bantu pengobatannya,” ungkapnya.
Tidak cukup sampai di situ, pemerintah juga membantu para WBP yang telah keluar dari lapas untuk mendapatkan pekerjaan, hal itu dilakukan baik dengan pemberian modal usaha, pelatihan ketrampilan, hingga penyaluran kerja. “Rata-rata masyarakat yang terjangkit terorisme itu berasal dari latar belakang ekonomi rendah, karenanya kita bantu mereka untuk memperbaiki taraf hidup melalui pekerjaan yang jelas,” lanjutnya.
Lebih lanjut pria kelahiran Muara Siban, Palembang ini juga mengakui bahwa penanganan terorisme tidaklah semudah yang dibayangkan, kelompok teroris berjejaring bukan saja di satu negara, tetapi juga hingga ke negara-negara lain, karenanya pemerintah membangun kerjasama dengan negara-negara lain untuk bersama-sama mematikan pergerakan kelompok teroris tersebut.
Menangkal Teorisme Dengan Smart Approach
Di tahun 2016 ini, ia mengungkapkan bahwa tantangan terbesar dalam penanganan terorisme terletak pada aspek pencegahan, khususnya mencegah penyebaran paham-paham teror yang beredar luas di dunia maya. Karena itu ia menilai penanganan terorisme tidak hanya bisa dilakukan dengan hard approach dan soft approach saja, tetapi juga perlu pendekatan yang sifatnya smart approach.
Salah satu contoh smart approach menurutnya adalah kontra narasi terhadap isu-isu radikalisme dan terorisme. “Kalau mereka bilang jihad harus mengangkat senjata dan membunuh sesama, kita harus luruskan itu!” tegasnya. Diakuinya bahwa terorisme saat ini bukan saja menargetkan serangan fisik berupa peledakan bom, tetapi lebih banyak menyasar pada perubahan pola pikir, karenanya diperlukan upaya serius untuk menanggulangi hal ini, yakni melalui kontra narasi dengan selalu memberikan konten-konten positif dan konstruktif.
Namun ia juga menekankan sekali lagi bahwa kunci utama dalam keberhasilan mematikan perkembangan terorisme di Indonesia adalah kuatnya daya cegah dan daya tangkal masyarakat terhadap isu-isu terorisme. Masyarakat menurutnya, sudah tidak lagi tertarik dengan isu-isu terorisme, masyarakat juga sudah semakin selektif dalam menerima informasi, sehingga isu-isu terorisme tidak pernah bisa berkembang.