5 Alasan ISIS tidak laku di Indonesia

Tahun 2015 ini kita semua disibukkan dengan pemberitaan-pemberitaan bombastis terkait kelompok teroris ISIS. Kelompok pimpinan Abu Bakal al Baghdadi itu mengumbar kekerasan dimanapun mereka berada, kita semua tentu sudah menyaksikan parade kekerasan dan kekejaman yang ditampilkan kelompok itu. Meski sempat tersiar kabar bahwa ISIS telah masuk ke negeri ini, namun ternyata hingga tahun berganti Indonesia termasuk dalam negara ‘penyumbang pasukan’ paling sedikiit untuk ISIS.

Data yang dilansir oleh The Atlantic.com menyebut bahwa dari total 200 juta-an Muslim yang ada, Indonesia ‘hanya’ menyumbang 700 orang saja. Meski beberapa kalangan menentang data itu dan menyatakan bahwa jumlah itu terlalu banyak, namun dibandingkan dengan negara-negara lain, persentasi Indonesia tetap paling sedikit. Sebagai perbandingan, pasukan ISIS yang berasal dari Prancis adalah 1.700, Rusia 2.400, amerika 150, dan Tunisia yang mencapai angka 6000 pasukan.

Direktur Deradikalisasi BNPT Prof. Irfan Idris memiliki jawaban untuk itu. Ditemui di sela-sela kesibukannya di ruang kerjanya, ia menjelaskan bahwa ‘kempes’-nya ISIS di Indonesia disebabkan oleh lima faktor, yakni; sejarah bangsa, budaya masyarakat, kondisi politis, letak geografis, dan tentu saja keberhasilan program deradikalisasi.
“Dari sisi sejarah, bangsa kita berawal dari sejarah perjuangan yang sama. Karenanya kecintaan dan pengabdian terhadap negeri ini tertanam begitu kuat di masyarakat, sehingga dengan sendirinya ISIS tidak laku,” jelasnya. Ia juga menyinggung peran budaya di tengah-tenagh beragamnya masyarakat di indonesa yang justru membuat persatuan semakin kuat. Budaya Indonesia menurutnya, menjunjung tinggi asas kebersamaan, musyarawarah dan mufakat. Sehingga segala hal yang dipandang mengancam keutuhan dan kebersamaan akan segera ditolak oleh mayoritas masyarakat.

Kondisi politik yang stabil juga disebut lelaki asli Makassar itu sebagai salah satu alasan utama tertolaknya ISIS di Indonesia. “Politik kita stabil, pemerintah juga sangat akomodatif terhadap isu-isu terkait agama. Muslim di sini juga tidak mengalami penindasan dan merasakan penderitaan, sehingga negeri kita cenderung lebih tentram,” ungkapnya.

Selain itu, ia juga menyinggung letak geografis Indonesia. “Indonesia ini terdiri dari pulau-pulau, jangankan untuk melakukan komunikasi antar negara, antar pulau saja masih susah. Karenanya ideologi ISIS tidak dapat berkembang secara maksimal.” Ia mengakui bahwa berkembangnya teknologi komunikasi memudahkan komunikasi antar orang, namun menurutnya komunikasi yang terkait dengan pergerakan dan ideologi terorisme masih membutuhkan komunikasi yang sifatnya mendalam dan intens, pada sisi itulah Indonesia diuntungkan dengan kondisi geografisnya.

Terakhir ia menyatakan bahwa program deradikalisasi juga memainkan peran utama, “dalam progarm ini (deradikalisasi), para terpidana terorisme kita ajak kembali ke jalan yang benar. Kita perlakukan mereka dengan baik, kita tunjukkan pada mereka bahwa agama tidak menghendaki kehancuran dan kebinasaan, tetapi kemakmuran dan kemanfaatan. Dengan itu mereka menjadi sadar, beberapa bahkan ikut aktif memberikan penyadaran terhadap teman-temannya yang belum sadar, sehingga ideologi terorisme pupus secara signifikan,” terangnya.