22 Tahun Setelah Serangan 9/11, Wajah Ancaman Teror AS Berubah Jadi Ancaman Domestik

22 Tahun Setelah Serangan 9/11, Wajah Ancaman Teror AS Berubah Jadi
Ancaman Domestik

New York – 9 September 2001 menjadi hari paling kelam bagi rakyat
Amerika Serikat (AS). Hari itu negeri adidaya itu mendapat serangan
dahsyat dari kelompok teroris Al-Qaeda. Menara kembar World Trade
Centre (WTC) di New York, yang menjadi ikon AS, hancur luluh setelah
dua pesawat yang dbajak teroris menabrakkan diri. Ribuan penghuni
gedung tersebut tewas.

Kini setelah 22 tahun serangan 9/11 tersebut, wajah ancaman teror di
Amerika Serikat telah berubah menjadi ancaman domestik. Jumlah
investigasi yang dilakukan oleh Biro Investigasi Federal (FBI)
terhadap terorisme domestik dan ekstremisme di Amerika Serikat
meningkat lebih dari dua kali lipat sejak tahun 2020.

Para pejabat mulai bergerak untuk mengatasi ancaman ini. Departemen
Kehakiman AS membentuk unit terorisme domestik baru sebagai tanggapan
atas cakupan keamanan yang terus berkembang.

Hampir setiap tahun, peringatan serangan 11 September dilakukan di
seluruh negeri. Kala itu, hampir 3.000 orang terbunuh dalam serangan
yang masih menjadi serangan teror paling mematikan di AS.

Peristiwa tersebut, yang melibatkan serangan terhadap World Trade
Center di New York dan Pentagon, memantik perang global melawan teror.
Namun, banyak analis percaya bahwa ancaman terbesar yang dihadapi
Amerika saat ini ada di depan pintunya sendiri.

Direktur Komunikasi Proyek Pengawasan Teknologi, William Owen
menceritakan perjalanan penangangan terorisme di AS.

“Begitu banyak sumber daya pengawasan yang digunakan untuk secara
tidak konstitusional menargetkan warga Muslim New York, warga Arab New
York, warga Asia Selatan, dan benar-benar mengawasi rumah, sekolah,
dan rumah ibadah mereka,” kata Owen.

Kelompok ini melakukan litigasi dan mengadvokasi privasi, berjuang
melawan pengawasan yang berlebihan kepada komunitas Muslim di tingkat
lokal dan negara bagian.

Mantan wali kota New York City, Michael Bloomberg, yang menjabat hanya
beberapa bulan setelah serangan, berdalih bahwa pengumpulan informasi
intelijen itu legal dan dirancang untuk menjaga keamanan negara.

Sesaat setelah peristiwa 9/11, fokus utama adalah mencegah serangan
teroris berskala besar berikutnya. Kemudian pada 2003, ada
kekhawatiran berlebihan bahwa Alqaeda merencanakan serangan kimia pada
sistem kereta bawah tanah New York.

Namun, pada perkembangannya, ancaman justru datang dari dalam negeri.
Serangan terorisme paling mematikan setelah 9/11 terjadi pada 2017.
Kala itu, seorang pria mengemudikan truk di jalur sepeda, menewaskan
delapan orang. Sejak saat itu, pembatas beton telah dipasang di
beberapa bagian kota untuk membantu mencegah serangan semacam itu
terjadi lagi.

Profesor ilmu politik Peter Romaniuk, dari John Jay College of
Criminal Justice, mengakui sangat sulit untuk mengukur dampak yang
tepat dari semua jenis tindakan preemptive atau preventif tersebut.
“Tetapi tentu saja menjadi lebih sulit untuk melakukan dan
mengeksekusi atau merencanakan dan mengeksekusi serangan di Barat,”
kata Romaniuk.

Pada tahun-tahun sejak peristiwa 9/11, persepsi ancaman di Amerika
telah berangsur-angsur berubah, menurut para analis. Sementara
terorisme yang direncanakan oleh aktor eksternal tetap menjadi
perhatian, terorisme dalam negeri semakin menjadi sorotan.

Departemen Keamanan Dalam Negeri AS telah memperingatkan bahwa
individu-individu tunggal dan kelompok-kelompok kecil di dalam negeri
kini yang muncul. Kelompok domestik ini, justru termotivasi oleh
spektrum pandangan atau keluhan yang luas, kini menjadi ancaman yang
terus-menerus dan mematikan.

Para ahli mengatakan bahwa ekstremis anti-pemerintah dan supremasi
kulit putih adalah pelaku utama. “Ini merupakan waktu yang sedikit
subur, momen yang tepat bagi gerakan ekstremis sayap kanan untuk
menjadi sedikit lebih terbuka, menjadi sedikit lebih tegas dalam hal
mengartikulasikan keluhan mereka atau mencoba untuk mendapatkan
dukungan atau bahkan mengambil tindakan tertentu,” kata Romaniuk.

Lebih dari 1.100 penangkapan telah dilakukan setelah penyerangan di
Gedung Kongres AS pada 6 Januari 2021. Saat itu, ribuan pendukung
mantan Presiden AS Donald Trump menerobos masuk ke gedung tersebut
dalam upaya untuk menghentikan Kongres mengesahkan hasil pemilihan
presiden tahun 2020, yang menghasilkan Presiden Joe Biden sebagai
pemenang.

Beberapa pihak di negara ini khawatir tindakan hukuman dapat
menyemangati kelompok-kelompok sayap kanan tertentu. Patrick Riccards,
direktur eksekutif dan CEO Life After Hate, mengatakan kepada CNA
bahwa Proud Boys tidak akan pergi karena para pemimpinnya akan
menjalani hukuman penjara pada tanggal 6 Januari.

“Orang lain akan mengisi kekosongan kepemimpinan itu.”

Proud Boys adalah kelompok paramiliter yang menamakan diri mereka
sendiri dan memainkan peran penting dalam kerusuhan di Capitol. Dua
anggota seniornya dijatuhi hukuman penjara yang cukup berat bulan lalu
karena keterlibatan mereka.

“Apa yang akan mereka lakukan adalah menggunakan hukuman ini sebagai
cara untuk menunjukkan lebih jauh lagi bahwa pemerintah menentang
mereka, dan mengatakan bahwa pemerintah berusaha mencegah mereka
mengambil alih negara ini,” kata Riccards.

Meskipun kebencian dan kemarahan di negara ini bukanlah hal yang baru,
beberapa analis khawatir bahwa sentimen semacam itu semakin disalurkan
ke dalam kekerasan.