Bangkok – Sebanyak 15 orang tewas dan empat lainnya luka dalam serangan kelompok militan di Provonsi Yala, Thailand, Selasa (5/11/2019) malam. Ini merupakan serangan paling berdarah oleh militan sepanjang tahun ini.
Juru bicara militer Thailand selatan Pramote Prom In mengatakan, para pelaku menyerang dua checkpoint yang dijaga oleh relawan pertahanan sipil.
“Sebanyak 12 orang tewas seketika di lokasi, dua lainnya meninggal kemudian di rumah sakit, dan seorang meninggal pagi ini,” kata Pramote, dikutip AFP, Rabu (6/11/2019).
Dia menambahkan para militan Thailand itu mengambil senapan M-16 dan pistol dari checkpoint. Pascakejadian, lanjut Pramote, area di sekitar checkpoint ditutup untuk penyelidikan dan pemeriksaan forensik.
Kelompok militan berperang melawan pemerintah untuk menuntut kemerdekaan. Secara budaya, kelompok di Thailand selatan ini didominasi suku Melayu dan penganut Islam.
Hingga saat ini belum ada tanda-tanda konflik mereda. Serangan tak hanya memakan korban dari simbol negara dan pasukan keamanan, namun warga sipil termasuk komunitas umat Islam dan Budha yang kerap terjebak dalam baku tembak.
Seorang pengamat Don Pathan mengatakan, serangan terakhir ini menandai upaya terkoordinasi yang lebih besar dilihat dari kerusakan dan jumlah korbannya. “Ini merupakan pengingat bahwa mereka masih di sini,” kata Pathan.
Kelompok militan menuduh pemerintah Thailand memaksakan penerapan budaya mereka yang berbeda, termasuk dalam hal keagamaan.
Kekerasan terakhir ini juga terjadi beberapa bulan setelah tewasnya seorang pria muslim, Abdulloh Esormusor, saat diinterogasi di pusat penahanan Thailand yang terkenal kejam.
Para tersangka secara dibawa untuk diinterogasi dan ditahan di bawah undang-undang darurat di pusat-pusat penahanan di mana kelompok-kelompok HAM menyebut adanya penyiksaan.
Beberapa hari setelah penahanan Abdulloh, empat orang tewas dalam serangan tengah malam terhadap pos militer, memicu operasi pembalasan