Intoleransi Menguat, Ribuan Guru Dibekali Literasi Keagamaan Lintas Budaya

Jakarta – Kegiatan Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) yang
diadakan oleh Institut Leimena bersama 32 mitra lembaga pendidikan dan
keagamaan mengalami peningkatan yang cukup pesat. Sejak digagas 2,5
tahun lalu, LKLB ini telah melahirkan lulusannya sebanyak 8.055
pendidik dari 37 provinsi di Indonesia.

Para tenaga pendidik yang mengikuti pelatihan LKLB  terdiri dari guru
sekolah/madrasah dan penyuluh agama, agar memiliki kompetensi dalam
membangun toleransi dan kolaborasi damai lintas agama.

Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho, menyampaikan dalam
situasi dunia yang semakin terpecah belah dan terpolarisasi maka
dibutuhkan adanya pendekatan pendidikan yang menekankan kepada
penguatan kerja sama dan solidaritas.

Itu sebabnya, program LKLB menjadi sangat signifikan terutama bagi
para guru sebagai pemeran utama dalam dunia pendidikan.

“Literasi Keagamaan Lintas Budaya adalah upaya kita bersama untuk
membangun rasa saling percaya antar penganut agama berbeda. Ini adalah
modal sosial untuk kemajuan bangsa Indonesia,” kata Matius Ho dalam
acara temu media yang diadakan di Tugu Kunstkring Paleis, Jakarta,
Senin (10/6).

Program LKLB yang dimulai sejak bulan Oktober 2021 berkembang sangat
positif diikuti sebanyak  9.969 peserta. dikenal sebagai contoh
pendekatan pendidikan dari Indonesia untuk membangun kohesi sosial.

Institut Leimena menggandeng berbagai mitra dalam pelaksanaan program
LKLB antara lain 20 lembaga Islam, 7 institusi Kristen, dan kemitraan
baru dengan umat Buddha, lembaga Hindu, dan Konghucu.

Mantan Menteri Luar Negeri dan Utusan Khusus Presiden untuk Timur
Tengah dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), Dr. Alwi Shihab,
mengatakan program LKLB melatih para guru untuk mengembangkan
interaksi harmonis, saling menghormati, dan kolaborasi positif lintas
agama.

“Guru berada di garda terdepan untuk melindungi komunitasnya dari
pengaruh intoleransi beragama  dan ekstremisme. Sayangnya, kita
mengamati bahwa meningkatnya radikalisme di lembaga-lembaga
pendidikan dikaitkan dengan model penafsiran, pemahaman, dan
pengajaran, serta aliran pemikiran tertentu,” kata Alwi Shihab yang
juga Senior Fellow Institut Leimena.