Waspada ISIS, Masyarakat Harus Cermat Menyumbang ke Suriah

Jakarta – Masyarakat Indonesia diimbau cermat dalam memberi sumbangan dengan dalih apapun ke Suriah. Jika sumbangan murni untuk kemanusiaan, maka lembaga-lembaga yang menyalurkan sumbangan, harus berkoordinasi dengan pemerintah untuk mengantisipasi agar tidak jatuh ke tangan kelompok militan Islamic State of Iraq and Syria. Negara itu kini terlibat konflik.

“Jangan biarkan lembaga-lembaga funding itu bekerja sendiri-sendiri karena mereka rentan dan tidak resisten dalam masalah ini. Saya tidak bisa menjamin mereka tidak punya kaitan dengan ISIS. Artinya, kita harus waspada karena hal ini justru akan dimanfaatkan ISIS untuk menggalang dana,” kata Ketua Kajian Islam dan Timur Tengah Universitas Indonesia (UI) Dr. M. Luthfi Zuhdi di Jakarta, Selasa (17/5/2016).

Seperti diketahui, akhir-akhir ini di Indonesia tengah gencar semboyan #SaveAleppo berupa ajakan menyumbang korban perang di kota Aleppo, Suriah. Namun di sisi lain, di Aleppo sebagian wilayahnya dikuasai ISIS, yang notabene telah menebar teror di Indonesia.

“ Kita bukannya tidak kasihan pada mereka, tapi kita akan menyampaikan dan membantu dengan cara lebih aman,” tutur Luthfi.

Menurut Luthfi, pemerintah mutlak harus turun tangan dan mengimbau masyarakat agar waspada dalam menyambut ajakan tersebut. Pemerintah wajib melarang bila ada indikasi penggalangan dana digunakan pihak-pihak yang berperang di Suriah sana, apalagi jatuh ke tangan ISIS. Idealnya pemerintah yang menyalurkan bantuan itu melalui lembaga-lembaga yang ada atau melalui lembaga internasional dibawah PBB. Dengan demikian lembaga penggalang dana bisa sebagai pendamping.

Saat ini, lanjut Luthfi, sulit membedakan mana yang kelompok ISIS dan tidak ISIS di Suriah. Bahkan ada kelompok tidak ISIS, tapi juga radikal seperti Jabat Nusra (Al Qaeda). Mereka-mereka itu dinilai sewaktu-waktu bisa melakukan tindakan yang bertentangan dengan kaidah negara Indonesia.

Ia menilai, bangsa Indonesia seharusnya lebih fokus untuk mendorong dilakukan gencatan senjata agar perdamaian terjadi di Suriah, bukan sibuk menggalang dana karena itu lebih penting untuk masa depan Suriah. Buat apa memberikan bantuan dana, sementara perang tetap berkobar. Luthfi meyakini keadaan di Suriah ini tidak akan selesai dalam kurun 10-50 tahun ke depan.

Sementara itu, staf pengajar Hubungan Internasional, Fisipol dan Kajian Timur Tengah Universitas Gajah Mada (UGM), Dr Siti Mutiah Setiawati MA memperkuat hal itu . Ia mengatakan bahwa sebaiknya masyarakat dan pemeritah mencermati gerakan #SaveAleppo tersebut.

“Kalau kita lihat itu adalah gerakan solidaritas untuk konflik di Suriah. Penyumbang pasti berfikir bagaimana dapat membantu korban. Tapi kita harus sadar bahwa satu gerakan tak lepas dari kepentingan tertentu,” kata Siti Mutiah.

Menurutnya, masyarakat harus cermat karena konteks konflik di Aleppo adalah beberapa kelompok oposisi yang bertikai dengan pemerintah. Dan mereka punya simpatisan di Indonesia. Simpatisan inilah, ditengarai meminta sumbangan kepada masyarakat Indonesia.

“Jadi jangan sampai dana-dana yang terkumpul, malah akan menambah konflik di Suriah, semisal membeli senjata illegal. Padahal pemberi dana hanya berfikir berdasar Ukhuwah Islamiyah, bagaimana menolong korban dan tidak terpikir soal pelibatan konflik Suriah,” katanya.

Bila dicermati lebih jauh, penggalangan dana di Indonesia sebenarnta sudah diatur dalam Undang-Undang (UU). “Yang perlu kita lihat dari #Save Aleppo ini adalah kejelasan pengumpulkan dana masyarakat ini dapat berapa, untuk siapa, dan digunakan untuk apa. Jadi akuntabilitasnya jelas. Bukan malah dipakai untuk memperkeruh konflik di sana,” katanya.