photo by: youtube.com

Urgensi Revisi Undang-Undang Terorisme

Belakangan ini pembicaraan terkait revisi undang-undang terorisme mulai memunculkan beragam tanggapan, meski ada banyak yang mencibir upaya ini dengan menyatakan bahwa revisi hanya dimaksudkan untuk melemahkan umat Islam dan terkesan akan menyeret kembali masyarakat ke era orde baru, namun tidak sedikit pula masyarakat yang menyambut baik upaya ini. Pro dan kontra terkait revisi sebuah undang merupakan hal yang biasa terjadi, terlebih jika revisi yang dimaksud terkait dengan isu krusial, seperti terorisme.

Sudha jamak diketahui bahwa terorisme merupakan momok yang berbahaya untuk kesatuan dan persatuan bangsa ini. Keberadaannya ibarat kangker yang siap menggerogoti keutuhan bangsa, karenanya pemerintah wajib melakukan upaya nyata untuk memastikan bahwa virus itu (baca: terorisme) dapat diatasi dengan baik. Dalam hamparan sejarah negeri ini, terorisme telah ada dan menggejala sejak masa-masa awal kemerdekaan. Di bawah komando dari Kartosuwiryo dan Kahar Muzakar,  bentuk-bentuk terorisme, baik ideologi, kelompok, hingga gerakan mulai muncul ke permukaan sejak 7 Agustus 1949.

Meski harus pula diketahui bahwa pada saat itu istilah terorisme atau teroris belum umum dipakai; istilah terorisme baru benar-benar digunakan sebagai bahasa undang-undang pada tahun 2003, 54 tahun sejak Kartosuwiryo Cs mulai berulah di negeri ini. Melalui UU terorisme nomor 15 tahun 2003, pemerintah dengan tegas menggunakan istilah terorisme, menggantikan istilah-istilah yang dipakai sebelumnya, seperti, subversi dan makar.

Di masa lalu, untuk merespon ancaman terorisme yang dilakukan oleh kelompok Kartosuwiryo, pemerintah memberlakukan PNPS nomor 11 tahun 63. Peraturan ini digunakan hingga kasus bom bali 1. Saat itu pemerintah dan kita semua sadar bahwa tantangan terorisme telah berubah, PNPS yang ada pun dipandang kurang efektif untuk mengatasinya, maka lahirlah perpu tahun 2002 yang kemudian juga dipandang kurang mumpuni. Hingga kemudian lahirlah UU terorisme no 15 tahun 2003.

Kini, setelah 13 tahun UU itu dijalankan, kita kembali dihadapkan pada fakta betapa tantang penanganan terorisme telah berkembang sedemikian rupa. Kita butuh dasar hukum yang lebih representatif sekaligus efektif untuk membabat habis terorisme hingga ke akar-akarnya. Ini tidak lantas berarti bahwa UU no 15 tahun 2003 tidak efektif sama sekali, UU itu terbukti sangat efektif pada masanya. Hingga saat ini saja, berbekal UU dimaksud, pemerintah telah berhasil menangkap 1080-an terpidana kasus terorisme. Jumlah yang tidak sedikit tentunya, meski demikian, fakta bahwa kita sedang dihadapkan pada tantangan baru tentu tidak bisa dikesampingkan begitu saja.

Tantangan itu misalnya, penyebaran propaganda berisi kebencian dan hasutan untuk berbuat kekerasan yang disebarkan melalui dunia maya, munculnya para lone wolver atau para serigala tunggal yang melakukan aksi teror secara sendiri-sendiri; tidak berafiliasi dengan kelompok tertentu, dll. Ini belum lagi terkait kelompok teroris internasional ISIS, pengaruh dan ancaman mereka telah sampai di sini. Semua ini semakin menegaskan bahwa kita membutuhkan dasar hukum yang lebih relevan untuk penanganan terorisme.

Terkait dengan ISIS misalnya, hingga saat ini negara belum memiliki dasar yang kuat untuk tindakan-tindakan yang mengarah pada terorisme. Jika ada orang yang secara terang-terangan menyatakan dukungan kepada ISIS, melakukan konvoi dengan membawa-bawa bendera lambang ISIS, atau bahkan berbaiat kepada ISIS, aparat tidak memiliki dasar hukum yang kuat untuk mengambil tindakan sebab hal-hal yang disebut di atas masih termasuk tindakan yang mengarah pada terorisme, bukan tindakan terorisme. Padahal idealnya, tindakan-tindakan tersebut harus dikriminalisasi, karena arahnya sudah jelas: terorisme.

Salah satu point penting dari revisi UU terorisme adalah masuknya unsur pencegahan. Dalam undang-undang sebelumnya, belum ada penyebutan pencegahan sebagai bagian dari penanggulangan terorisme, dengan masuknya unsur pencegahan sebagai bagian integral penanggulangan terorisme, pemerintah tidak lagi ‘mengobati’ luka akibat terorisme, tetapi juga mencegah agar luka itu tidak perlu terjadi.

Hal lain yang perlu juga diketahui adalah, terorisme hingga kini masih senang bersembunyi di ruang gelap, hanya muncul ke permukaan bila ada maunya saja. Karenanya membongkar jaringan terorisme menjadi penting untuk segera dilakukan. Berbeda dengan jenis kejahatan yang lain, terorisme sangat terorganisir dan bersifat ekslusif-komunal. Artinya, mereka berkelompok namun sangat tertutup. Kelompok-kelompok ini harus segera dibongkar, paham-paham yang salah harus segera diluruskan.

Terorisme adalah paham, karenanya penanganan untuk ini tidak bisa dilakukan hanya dengan penegakan hukum. Perlu upaya lain, yakni meluruskan paham yang salah tentang agama dan perjuangan atas nama agama. Inilah yang disebut sebagai deradikalisasi, mereka yang telah melakukan tindak pidana terorisme memang harus menjalani hukuman atas perbuatannya itu, namun anak, istri dan rekan-rekan lainnya yang belum bertindak namun telah terpengaruh paham teror harus diselamatkan agar mereka kembali ke jalan yang benar.

Revisi UU terorisme marupakan pijakan penting untuk melakukan upaya penanggulangan terorisme secara lebih maksimal;  dengan dasar hukum yang lebih kuat, terorisme akan lebih mudah dibabat. Dan kesalahan dalam memahami ajaran agama dapat segera ditangani.