Foto by merdeka.com

Transformasi Terorisme di Era Revolusi Digital

Pada tahun 1980, seorang Futurolog, Alvin Toffler telah meramalkan lahirnya gelombang ketiga peradaban manusia yang ditandai dengan lahirnya masyarakat terbuka (open society) melalui pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Teknologi mutakhir melalui jaringan internet, dewasa ini, merupakan puncak peradaban manusia dalam bidang informasi dan komunikasi yang telah mencukur habis batasan jarak dan waktu.

Namun, apabila kita perhatikan secara seksama bahwa dalam tiga gelombang revolusi peradaban tersebut hampir semuanya memiliki dampak buruk kemanusiaan. Masing-masing gelombang peradaban memang bergerak maju mencapai kemajuan peradaban, tetapi seiring dengan kemajuan tersebut muncul deviasi peradaban kemanusian. Konflik, perang dan tragedi kemanusiaan menjadi dampak buruk mewarnai arus gelombang peradaban tersebut.

Gelombang pertama yang disebut masyarakat pertanian sebagai perubahan paradigma kehidupan dari nomadik ke agraris ditandai dengan pemanfaatan teknologi sederhana dalam memproduksi sumber daya alam dengan cara bercocok tanam dan beternak. Di sinilah tercipta hukum siapa yang kuat dialah pemenang (homo homini lupus). Konflik perebutan lahan dan produksi kerap terjadi menimbulkan konflik dan perang.

Gelombang kedua sebagai percepatan dari gelombang sebelumnya ditandai dengan perubahan paradigma tenaga manusia ke tenaga mesin. Inilah masyarakat industri yang mempercepat produksi dan pengelolaan sumber daya. Cepatnya mesin produksi tidak diikuti dengan ketersediaan sumber daya alam, sehingga memunculkan era baru penjajahan berbasis sumber daya alam. Indonesia juga telah mengalami imbas gelombang kedua peradaban manusia ini melalui penjajahan yang telah bercokol lama di nusantara ini.

Dunia dalam gengaman dan perubahan bisa ditentukan dengan sekedar “klik”. Gelombang ketiga peradaban manusia ditandai dengan lahirnya masyarakat informatif dan komunikatif atau masyarakat terbuka (open society) melalui pemanfaatan teknologi. Teknologi mutakhir melalui jaringan internet, dewasa ini, bisa dikatakan karya agung peradaban manusia yang menyempitkan luasnya dunia dalam satu desa atau Marshall McLuhan menyebutnya dengan desa global (global village).

Apakah gelombang ketiga ini tidak ada persoalan. Pemanfaatan revolusi digital ini juga seiring sejalan dengan transformasi bentuk kejahatan baru. Salah satunya adalah transformasi terorisme lama menuju terorisme baru yang fasih menggunakan jaringan internet. Kelompok teroris dengan cerdas menggunakan internet untuk perubahan proses radikalisasi konvensional menuju radikalisasi online.

Pola yang dkembangkan adalah dengan strategi konfrontatif, skeptis terhadap sistem, tidak toleran, intimidatif dan menjual kekerasan. Konten-konten bernuansa negatif-ekstrim tersebut berkeliaran dengan mudah di dunia maya. sasaran utama dari kelompok ini adalah munculnya generasi baru terorisme yang tidak terikat jaringan. Orang akan menjadi radikal dengan sendirinya dengan mengakses berbagai konten yang telah mereka tebar di ruang maya.

 

Internet, Akar radikalisme dan Penanggulangannya

Pertanyaannya, apakah ada pengaruh internet bagi perubahan sikap radikal? Pengaruh internet sangat besar terhadap kehidupan manusia di berbagai aspek. Internet tidak hanya bersama kita, tetapi juga merubah cara kita bekerja, cara kita bermain, cara kita hidup bahkan cara kita bersikap dan menjalani hidup. Termasuk bagaimana merubah seorang dari normal menjadi radikal dengan banyak butki yang telah faktual.

Kita harus pahami bahwa terorisme merupakan fenomena kompleks yang tidak mempunyai akar dan sumber tunggal. Tore Bjorgo dalam bukunya Strategies for Preventing Terrorism (2013) menganalisa dari tiga level yang saling terkait: level makro, level meso dan level mikro: Level makro: analisis pada kondisi dan situasi negara, relasi dan perkembangan internasional, misalnya : konflik global, dukungan negara terhadap kebijakan luar negeri, tata pengelolaan pemerintahan yang buruk, perkembangan teknologi informasi yang cepat (internet dan sosial media). Ketidakpuasaan terhadap negara yang dianggap thogut dan persepsi kebijakan negara AS dan sekutu sebagai musuh agama tertentu berperan pada level ini.

Kedua, level meso: analisis terhadap dinamika yang terjadi di level gerakan sosial, institusi sosial, organisasi, kelompok seperti pada gerakan terorisme dengan kepemimpinan kharismatik. Pada level ini dapat dilihat bahwa perasaan kekecewaan terhadap negara maupun kebijakan negara barat terhadap dunia Islam tidak akan mengkristal menjadi gerakan dan aksi radikal apabila tidak bertemu pada tahap dinamisasi di level keanggotaan organisasi dan ideologisasi oleh tokoh radikal.

Hal yang sama dengan level meso adalah ketiga, level mikro. Pada level individu terpengaruh paham radikal melalui interaksi tatap muka dalam kelompok kecil seperti : teman bermain, keluarga, dan unit sosial kecil lainnya. Karena itulah, jika pada level makro sifatnya sebagai tahapan prakondisi (precondition), yakni suatu yang belum tentu mengarah pada tindakan praktis, pada level meso dan mikro disebut sebagai tahapan percepatan (precipitant), yakni persepsi ketidakadilan dalam skala makro bertemu dengan ideologisasi dan indoktrinasi dari kelompok dan pimpinan kharismatik atau dalam pertemenan dengan teman yang radikal.

Ketiga proses di atas sejatinya telah dirangkum secara efektif melalui media digital internet. Media internet tidak hanya menyuplai informasi bagi narasi radikal, tetapi juga mempercepat proses dinamisasi individu untuk menjadi radikal dengan pertemanan di dunia maya. Jika dahulu kelompok radikal mencari mangsa, saat ini individu mencoba mencari organisas, jaringan dan tokoh serta pertemenan di dunia maya.

Melihat pada kompleksitas akar terorisme di atas, sebenarnya keterpengaruhan seseorang dari jaringan terorisme tergantung pada tingkat kerentanannya. Ada tiga konsep dalam memahami hal tersebut yakni kerentanan (vulnerability), resistensi (resistance), dan ketahanan (resilience). Kerentanan merujuk pada kondisi lingkungan dan masyarakat yang mudah terserang terorisme karena kekurangan kapasitas dalam mencegah pengaruh terorisme. Resistensi merupakan upaya peningkatan kemampuan lingkungan dan masyarakat untuk berarti sikap pro-aktif dalam mewaspadai gejala terorisme. Resiliensi merupakan suatu tingkatan ketahanan lingkungan dan masyarakat yang dalam waktu dan tempat manapun sudah sigap dan siap dalam menghadapi pengaruh terorisme.

Karena itulah, strategi dalam menanggulangi terorisme di dunia maya adalah dengan mengurangi kerentanan masyarakat khususnya generasi muda dari pengaruh radikalisme di dunia maya. Cara mengurangi kerentanan tersebut adalah dengan meningkatkan resistensi mereka terhadap konten radikal sehingga mereka pada tahap resiliensi atau tahan banting terhadap pengaruh radikalisme melalui upaya kontra propaganda dan kontra ideologi.

Dalam meningkatkan resistensi dan resiliensi tersebut sangat dibutuhkan keterlibatan tokoh yang memumpuni misalnya tokoh agama. Tokoh agama harus diajak terlibat langsung dalam menanamkan daya tangkal berbasis pendidikan keagamaan. Masyarakat harus dikenalkan dengan kontra propaganda dan ideologi berbasis teks keagamaan melalui tafsir keagamaan yang moderat dan toleran.

Peran penting lainnya adalah kelompok insider atau mereka yang sudah mengerti pola dan pengalaman kelompok teroris. Kalangan mantan teroris menjadi sangat penting dilibatkan dalam upaya melakukan kontra ideologi. Mantan teroris yang sudah menyatakan kembali ke NKRI merupakan mitra strategis untuk diajak melakukan kontra propaganda dan ideologi dalam rangka meningkatkan ketahanan masyarakat dari pengaruh radikalisme dan terorisme di dunia maya.