Regional

       Perkembangan terorisme di Indonesia mempunyai konektivitas dengan kelompok regional di Asia Tenggara seperti Kumpulan Mujahidin Malaysia (KMM), Moro Islamic Liberation Front (MILF) dan Abu Sayyaf Group (ASG). KMM merupakan bagian dari jaringan Al Qaeda dan memiliki hubungan dengan gerakan radikal milisi Islam di Indonesia ketika terjadi Konflik komunal di Ambon. KMM dipimpin oleh Nik Adli Nik Aziz dan Zainon Ismail, kelompok ini memegang ideologi Islam-Sunni. Organisasi ini dibentuk pada tanggal 12 Oktober 1995 dengan tujuan untuk mendirikan Negara Islam sebagai pengganti pemerintahan Mahatir. Area operasinya meliputi Perak, Johor, Kedah, Selangor, Trengganu, Kelantan, dan Kuala Lumpur.

          KMM memiliki struktur organisasi yang sederhana, yaitu tiga tokoh pengarah di puncak struktur organisasi KMM. Setiap negara bagian di Malaysia memiliki perwakilan pemimpin. Di bawah pemimpin negara bagian ini terdapat kepala KMM yang bertugas untuk memberikan pelatihan militer dan indoktrinasi. Biaya atas kegiatan yang dilakukan dikumpulkan dari dana yang berasal dari para anggota internal. Salah satu anggota KMM, Yazid Sufaat, diduga mendapatkan dana dari Zacarias Moussaoui, salah seorang pendukung gerakan radikal Islam yang mengikuti pelatihan di Kamp Al Qaeda di Afghanistan. KMM juga pernah melakukan beberapa pencurian untuk mengumpulkan dana bagi aksi mereka dengan menyerang warga asing dan non Muslim.

            Sejumlah pemimpin dan anggota KMM mendapatkan pelatihan militer di kamp Afghanistan sepanjang tahun 1990-1996. Di sinilah mereka berhubungan dengan para pemimpin Al Qaeda dan tokoh JI. Sekembalinya mereka dari Afghanistan, KMM mulai melakukan rekrutmen terhadap warga Malaysia untuk melakukan jihad, menggulingkan pemerintahan Mahatir, memerintahkan pembunuhan atas dasar agama, membeli persenjatan dari Thailand Selatan, serta mempelajari cara membuat bom. Anggota KMM juga mengikuti pelatihan di Kamp Abu Bakar, Hudaibiah, dan Mindanao yang merupakan tempat pelatihan militer yang dikelola oleh MILF dan JI.

       Selain KMM, terdapat pula kelompok Moro National Liberation Front (MNLF) yang mulai menyeruak sekitar tahun 1960-an. Kelompok ini mulai melakukan aksi teror dan pembunuhan untuk memperjuangkan otonomi di wilayah Philipina Selatan. Dengan adanya aksi terror tersebut, pemerintah Manila mengirimkan tentaranya ke Philipina Selatan guna mengatasi pemberontakan ini. Tahun 1976, pemimpin Libya Muammar Gaddafi membantu proses negosiasi antara pemerintah Philipina dengan MNLF. Pertemuan ini kemudian menghasilkan kesepakatan yang ditandatangani kedua belah pihak.

      MNLF akhirnya menerima tawaran pemerintah Philipina yang memberikan kedudukan semi otonomi kepada wilayah tersebut. Terlaksananya penandatanganan ini menimbulkan perpecahan dalam tubuh MNLF. Banyak  anggota MNLF lainnya menolak hasil kesepakatan dan memutuskan untuk membentuk kelompok baru pada tahun 1984, yang kemudian dikenal dengan Moro Islamic Liberation Front (MILF).

           MILF tetap melanjutkan aksi pemberontakan mereka. Pemerintah Philipina pernah mencoba melakukan pembicaraan dengan MILF untuk menghentikan permusuhan, perundingan ini menghasilkan kesepakatan pada bulan Juli 1997. Tetapi kesepakatan ini dibatalkan pada tahun 2000 oleh Presiden Joseph Estrada, sehingga MILF mengumumkan jihad terhadap pemerintah dan rakyat Philipina serta pendukungnya. Pembicaraan damai baru mulai dilakukan kembali pada tahun 2005, di bawah kepemimpinan Presiden Gloria Arroyo. Meski demikian, MILF tetap melakukan berbagai serangan. Bahkan MILF bergabung dengan kelompok Abu Sayyaf serta mendapatkan pelatihan militer dari Al Qaeda dan JI juga bantuan keuangan dan persenjataan dari Osama Bin Laden. Walaupun banyak fakta pendukung terkait organisasi ini, MILF menolak mengakui keterkaitan organisasi mereka dengan JI dan Al Qaeda.

          Pada bulan Oktober 2012, Presiden Benigno Aquino mengumumkan kembali pembicaraan damai antara pemerintah Philipina dengan MILF. Pembicaraan ini disambut positif oleh MILF dan keduanya berhasil menandatangani kesepakatan pada tanggal 15 Oktober 2012. Kesepakatan ini memberikan kesempatan otonomi di Mindanao di mana mereka boleh memiliki kewenangan atas sumber daya alam, keuangan, polisi, dan penerapan hukum syariat bagi umat Islam. Di sisi lain, MILF akan menghentikan serangan bersenjata terhadap pemerintah dan mengijinkan mereka untuk memegang kendali atas keamanan nasional dan politik luar negeri.

        Abu Sayyaf Group (ASG) adalah kelompok Islam militan yang didirikan oleh Abdurajak Janjalani pada tahun 1991. Janjalani pernah mengikuti pelatihan militer dan perang di Afghanistan pada tahun 1980-an sehingga ia sangat dipengaruhi oleh pemikiran Wahhabi serta memiliki hubungan personal dengan kelompok inti Al Qaeda dan Jamaah Isamiyah. Pendiri ASG berasal dari anggota-anggota MILF yang sangat militan. Kelompok ini dibentuk dengan tujuan untuk mendirikan Negara Islam yang merdeka di Philipina Selatan.

        Dengan tujuan itu, ASG mendapatkan dukungan dari masyarakat di Jolo dan Basilan, Philipina. Namun dalam perkembangannya, tidak jarang ASG juga melakukan aksi terorisme seperti pemerasan dan penculikan dengan tebusan untuk mendapatkan bantuan keuangan dan logistik bagi kegiatan mereka. Target mereka adalah orang-orang asing yang kaya, tokoh politik dan para pengusaha.

        Dukungan dan kerjasama MILF, JI dan Al Qaeda terhadap ASG terlihat jelas dari adanya pelatihan militer, pembuatan bom, pengiriman dan pertukaran senjata, serta penyediaan logistik dan keuangan untuk mendukung aksi teror ASG. Tokoh-tokoh JI seperti Zulkarnaen dan Fathuraahman Al Ghozi bekerjasama dengan MILF dan ASG dan pembentukan kamp militer Hudaybiyah dan Abu Bakar di Philipina Selatan. Mereka melakukan kerjasama dalam pelatihan militer dan pengiriman senjata dan bahan peledak yang digunakan dalam melakukan aksi terorisme dan termasuk keterlibatan kelompok ini dalam konflik di Maluku dan Poso.

           Pendiri ASG, Abdurajak Janjalani, tewas ditembak polisi pada bulan Desember 1998. Adiknya, Khadafi Abubakar Janjalani, kemudian menggantikannya menjadi pemimpin grup ini. Namun pada bulan September 2006, Janjalani tewas terbunuh dalam pertempuran dengan tentara Philipina. Radulan Sahiron kemudian diangkat menjadi pemimpin baru ASG. Semenjak kematian para pemimpin senior ASG, kelompok ini mulai terpecah dan banyak diantara mereka yang kembali ke wilayah masing-masing. Beberapa figur seperti Radullan Sahiron, Gumbahli Jumdail (alias Dr. Abu), Isnilon Hapilon dan Yasir Igasa, tetap memiliki kemampuan untuk mengendalikan dan melakukan operasi mereka secara mandiri. Terbukti bahwa ASG kerap melakukan aksi terorismenya kepada pemerintahan Philipina, warga asing dan umat Kristen sepanjang tahun 2008-2010, seperti penculikan turis asing disertai dengan permintaan tebusan dan pengeboman. Serangan ASG ini lebih ditujukan untuk kepentingan ekonomi daripada kepentingan politik atau ideologi agama.

Sumber :
1. Dokumen Blueprint Pencegahan Terorisme, BNPT, 2014
2. Dokumen Perkembangan Terorisme di Indonesia, BNPT, 2013