Setelah Enam Tahun Diserang ISIS, Masa Depan Kaum Yazidi Belum Jelas

Baghdad – Enam tahun lalu kaum Yazidi diserang kelompok teroris ISIS. Tidak hanya nyawa dan harta benda, kaum Yazidi sangat menderita dengan perlakukan anggota ISIS. Hidup mereka hancur setelah mengalami penindasan dan pemerkosaan terhadap para wanitanya. Setelah enam tahun serangan itu, sampai saat ini masa depan kaum Yazidi masih belum jelas.

Saat memperingati serangan ISIS terhadap komunitas mereka enam tahun lalu, para aktivis menuntut dukungan untuk kaum minoritas yang rapuh di Irak tersebut. Pada awal Agustus, di Provinsi Sinjar di Irak utara, jantung bersejarah bagi Yazidi, penduduk setempat berkumpul di jalan utama dan di luar gedung-gedung umum untuk menyalakan lilin dan mengingat mereka yang gugur dalam serangan.

Pada tahun 2014, militan ISIS menyerbu provinsi tersebut dan dengan sengaja menargetkan komunitas untuk membunuh ratusan dan menculik ribuan orang. Setengah juta orang Yazidi mengungsi. Serangan itu digambarkan sebagai genosida oleh PBB pada 2015 dan penyelidikan internasional yang didanai PBB terhadap kejahatan perang ISIS diluncurkan pada 2018.

Namun, enam tahun setelah serangan awal, komunitas di Irak masih menghadapi tantangan yang luar biasa. Sekitar 250 ribu Yazidi masih tinggal di kamp-kamp di wilayah Kurdistan dan lebih dari 100 ribu bermigrasi keluar dari Irak. Tiga ribu orang hilang atau tidak ditemukan, dengan ratusan diketahui berada di kamp pengungsian di Suriah. Pada peringatan tersebut, pelayat memegang spanduk menuntut keadilan internasional dan keamanan yang lebih besar untuk tanah air mereka.

“Kami tidak melihat adanya pergerakan dari otoritas Irak. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa pada kami dalam enam tahun terakhir,” kata salah satu aktivis yang juga orang Yazidi, Naji Khadida, seperti dilansir Al Arabiya.

Meskipun ISIS dikalahkan pada 2017, kurang dari sepertiga dari pengungsi Yazidi telah kembali ke Sinjar, di mana salah satunya adalah Khadida.

Sebelum kembali ke tanah kelahiran, Khadida menghabiskan enam tahun di kamp pengungsi di luar kota Dohuk, di wilayah Kurdistan Irak, bersama orang tua dan saudara kandungnya.

“Kami tinggal di tenda kecil tanpa dapur atau kamar mandi,” katanya.

“Kami memiliki kewajiban untuk kembali ke Sinjar untuk melestarikan komunitas kami. Bahasa dan budaya kami berubah di kamp,” imbuh Khadida.

Masalah keamanan yang belum terselesaikan juga menghalangi pemulangan sukarela ke Sinjar. Sejak 2017, provinsi tersebut telah di bawah kendali kelompok bersenjata non-negara yang bersekutu dengan Baghdad, termasuk Unit Mobilisasi Populer (PMU) yang didukung Iran dan Unit Perlawanan Sinjar, sebuah milisi Yazidi yang berafiliasi dengan Partai Pekerja Kurdistan (PKK).

Kelompok bersenjata ini, ucap Saeb Khidr, seorang anggota parlemen Irak dari Yazidi, memerangi ISIS bersama pasukan Irak, Kurdi, dan koalisi internasional. Banyak yang bersimpati di Sinjar.

Saat ini, kehadiran mereka menghambat bantuan kemanusiaan dan upaya rekonstruksi. “Banyak organisasi internasional yang ragu untuk beroperasi di Sinjar. Kami tidak memiliki cukup profesional berkualifikasi di lapangan,” kata Khidr.

Menurut Khidr, agenda kelompok-kelompok yang bersaing juga mengganggu pembentukan kehidupan sipil di provinsi tersebut.