Sebuah Elegi Dalam Penjara: Saat Bayi Harus Tumbuh Di Balik Jeruji Besi

Hati saya benar-benar terenyuh kali ini, seorang bayi baru saja dilahirkan di  sebuah lembaga pemasyarakatan. Ia adalah anak yang nantinya akan ikut merasakan sepinya kehidupan di balik jeruji besi, bersama orang tuanya yang menjadi narapidana.

Hal ini benar-benar membuat mengoyak hati dan pikiran saya. Niat awal saya datang ke lembaga pemasyarakatan ini adalah untuk berbincang dan berdialog bersama para narapidana terkait bingkai dan harapan besar untuk bangsa dan negara ini, namun yang saya dapatkan malah serangakaian cerita kesedihan berbalut empati, berlumut perasaan luka, yang sejatinya bukan lukaku.

Betapa tidak, sudah terlalu sering saya melangkahkan kaki masuk ke tempat-tempat semacam ini, tapi kali ini terasa lain. Tampak jelas muka para penjaga seolah bosan melihat kedatangan saya, yang entah untuk keberapa kali, harus lagi-lagi mereka temui. Inilah tempat begundal-begundal dan para pengusung panji-panji ilusi agama beristirahat; menunggu ketukan palu sang hakim untuk jenis hukuman dunia yang akan mereka pikul. Mereka adalah orang-orang yang mengagungkan permusuhan, kebencian, dan penghancuran dengan mengatasnamakan agama dan iman.

Qital dan konstan. Mereka kini terkurung lantaran keranjingan menyebarkan kebencian dan permusuhan kepada warga asing dan aparat yang telah mereka kafirkan. Khusus kepada aparat, mereka menyebutnya sebagai thogut, pembantu iblis dan penyembah ‘burung gepeng’; istilah yang mereka sematkan untuk lambang Negara, burung Garuda.

Saya yang datang untuk bertemu, berbincang, berseloroh dan berharap dapat membantu mereka merasakan kehidupan yang normal justru dibenturkan pada realita yang tidak akan mudah dilupakan.

Hanya lima menit setelah saya duduk, datanglah dua orang wanita dengan membawa seorang bayi kecil mungil yang tampak sehat dan menggemaskan. Dua wanita ini menutup hampir seluruh bagian mukanya, hanya menyisakan mata untuknya melihat, tanpa ia sisakan sejengkalpun bagian darinya untuk dilihat. Menurut mereka, pakaian tertutup ini adalah ajaran agama untuk menghindarkan mereka dari perbuatan tercela, yang nantinya akan membuat Allah murka.

Suami-suami mereka, yang mereka anggap sangat paham agama, justru berkali-kali memenggal leher orang, menembak kepala aparat kepolisian dan militer yang tengah melakukan jihad membela negara. Suami-suami mereka juga tidak pernah segan untuk menghabisi orang-orang yang mereka anggap telah menyalahi agama. Mereka lupa, atau mungkin tak lagi peduli, agama tidak pernah mengajarkan kekerasan, apalagi perusakan; apapun alasannya.

Hal ini ditegaskan langsung oleh sikap nabi Muhammad Saw yang begitu menyayangi sesama, tak peduli kawan atau lawan. Kekasih Allah ini juga menyayangi binatang, utamanya kucing, yang tentu saja tidak beragama. Kasih sayang harusnya mampu mengalahkan segalanya, termasuk ego untuk membunuh sesama hanya karena ilusi penegakan hukum agama.

Karenanya, muncul pertanyaan, apakah orang-orang yang dipenggal lehernya itu lebih rendah dari binatang? Ingin sekali saya menghardik dengan pertanyaan apakah tiga wanita yang belum pula mencapai aqil baliq yang dipotong tubuhnya, dimutilasi laksana ikan gurame oleh suami-suamimu di bukit bambu Poso itu lebih rendah dari kucing? Apakah kepala desa Penedapa, Poso yang mereka habisi itu lebih rendah dari kucing? Apakah pendeta Susianti juga lebih rendah dari kucing?

Engkau salahgunakan ayat-ayat kebaikan untuk berbagai tindak kekejian!

Ya Allah, huataillah billah… Bayi mungil yang tengah terlelap dalam tidurnya ini tampak sehat, menggemaskan dan lucu. Saat aku datang, engkau sedang terlelap, nak. Nafasmu kau tarik satu persatu, teratur, menciptakan suasana kehidupan yang benar-benar baru. Sesekali engkau tarik nafas panjang. Terkadang kau angkat tanganmu seperti terkaget, dan kau turunkan lagi.

Sisa susu masih terlihat menggantung di ujung bibirmu yang mungil. Lalu kulihat muka ibumu, walau tentu aku tak bisa melihatnya utuh, tapi aku masih bisa melihat sorot mata ibumu yang penuh dengan kebencian.

Aku ini ‘Thogut’ atau mungkin’Kafir’, ‘Murtad’ di benak ibumu, nak. Tapi aku bayangkan nak, betapa bapakmu yang ganas dan sangar itu menggeluti dan menggumuli ibumu di tengah suara beburungan, suarah dering bunyi gareng gunung berwarna hitam, berekor garis-garis kuning, di tengah bunyi lengkingan burung elang siang hari, atau jangkrik malam hari, dengan hanya beralaskan daun. dan atas kehendak Allah, lahirlah kamu yang sekarang di hadapanku ini, nak.

Dan aku yakin, nak, ruangan penjara ini bagi ibumu mungkin lebih nyaman dibandingkan dengan hutan Taman Jeka dan Bukit Biru Poso itu, nak. Ibumu, aku yakin sangat paham nak. Nyamuk di balik jeruji ini mungkin lebih jinak dibandingkan “agas” atau nyamuk gunung yang kalau menggigit langsung nungging dan menyisakan koreng dan lepuh kulit itu.

Nak, engkau bukan anakku. Aku bukan famili dari umi dan abimu. Tidak ada hubungan darah. Sesukupun tidak. Tapi air mataku meleleh, nak. Mungkin ibumu dapat melihat itu. Tidak sempat jatuh memang, tapi mataku binar, nak. Hatiku rasanya sesak. Ada beberapa pertanyaan yang aku sendiri tidak mengerti jawabannya.

Pertama; akankah engkau berada di sini selama ibumu berada di penjara ini? Kalau ibumu ditahan tujuh tahun misalnya, apakah engkau akan juga berada di dalam selama tujuh tahun juga? Karena sekarang saja –  yang kau lihat hanyalah terbatas pada sosok ibumu yang mukanya tertutup, hanya lampu 20 wath yang ada di langit langit sel.

Yang terdengar olehmu hanyalah suara gemericik air dari kran air yang bocor di kamar mandi, atau derap kaki petugas yang lewat di lorong sel dan blok.  Hanya ada jendela kecil tempat masuknya sinar mentari yang bisa kau tatap sambil kau menyusu pada ibumu. Atau kau tatap jeruji besi yang kokoh berwarna hitam pekat itu. Di atas dinding mungkin kau lihat handuk lembab, BH dan celana dalam yang dicantolkan pada paku di tembok. Atau ada tulisan jargon jargon perjuangan yang engkau belum bisa membaca, apa lagi memaknainya. Tidakkah engkau ingin bercanda kelak kepada seusiamu saatnya kau telah bisa dan membutuhkan canda? Engkau dipaksakan untuk hanya melihat dan mendengar yang itu itu saja.

Kedua; apakah ibumu mengerti, bahwa engkau ini menderita? apakah ibumu hanya menggap engkah dilahirkan hanya karena kehendakn Allah? Lupakah ibumu bahwa engkau adalah titipan dan amanah? Kalau amanah, kenapa ibumu memenjarakan kamu, sang titipan Allah yang tidak berdosa ini? Apakah layak engkau menanggung penderitaan atas perbuatan munkar yang dilakukan umi dan abimu?

Ketiga; saat ibumu mengerang, melenguh, keenakan dielus, dicumbu bapakmu, apakah bapakmu sebagai imam telah berhitung, bagaimana melahirkan di hutan tanpa pertolongan? mungkin lahir abnormal? Ibumu kekurangan darah? Harus berlari dari kejaran aparat saat hamil tua? Harus berlindung dari binatang buas? Apakah memang direncanakan kalau hamil tua biarlah tertangkap agar dilahirkan di penjara?

Keempat; apakah abimu bahagia sekarang karena dia tahu bahwa engkau sudah lahir di penjara? Adakah rasa kerinduan di dalam hati bapakmu, seperti aku yang sehari tidak bertemun dengan buah hatiku, seperti aku kehilangan separuh jantung ku? Walau aku tahu, abimu bilang ini adalah resiko perjuangan, perjuangan untuk siapa? Siapa yang diuntungkan oleh bapakmu? Untuk agamamu? apakah bapakmu sudah menjalankan ibadah sebagai mana ajaran-Nya? Berapa banyak ayat, hadis yang sudah dipenggal untuk pembenaran aksi pembunuhan, pengeboman, intimidasi dan provikasi terhadap orang-orang yang tidak bersalah? Kalau kematian adalah tujuan, kenapa pula engkau dibiarkan terlahir dalam penderitaan, nak? Engkau dipersiapkan oleh bapakmu untuk menjadi yatim atau piatu? Terus di mana tanggung jawab sang imam yang menerima titipan dan amanah untuk memeliharamu, nak?

Inilah jeritan hatiku nak, demi melihat engkau terlahir dalam keadaan begini.

Aku percaya Allah menyayangimu, nak. Allah lahirkan engkau di penjara karena Allah tahu negara akan merawatmu, lebih baik dari bapakmu.

Lapas Cipinang Kelapa Dua, Maret 2017