Radikalisme Bukan Budaya Bangsa Indonesia

JAKARTA – Usia Indonesia sudah mencapai tujuh puluh tahun, dan Indonesia mampu berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa besar di muka bumi. Sayang, prestasi itu masih tercoreng dengan masih adanya budaya kekerasan yang memicu radikalisme.

“Indonesia sudah 70 tahun seharusnya bangsa Indonesia membuang jauh-jauh budaya kekerasan apalagi yang menjurus tindakan radikalisme. Itu sama sekali tidak ada baiknya. Dengan usia seperti itu, masyarakat Indonesia sudah semakin dewasa dalam berpikir dan bertindak, demi untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan mengisi kemerdekaan dengan membantu pemerintah menciptakan perdamaian demi mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera,” ujar Prof Dr KH Ahmad Satori Ismail, MA, Ketua Umum Ikatan Dai Indonesia (IKADI) di Jakarta, Rabu (19/8/2015).

Menurut Ahmad Satori, budaya kekerasan, apalagi radikalisme atau malah terorisme itu, sama sekali bukan watak bangsa Indonesia. Apalagi bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang santun dan memiliki toleransi yang tinggi.

Sebagai Ketua Umum IKADI, Ahmad Satori mengatakan, pihaknya selama ini terus membantu upaya pencegahan kekerasan dan radikalisme yang terjadi di masyarakat. Caranya dengan memberikan penyuluhan di sekolah-sekolah, perkumpulan remaja, dan beberapa kegiatan remaja lainnya.

“Selain itu upaya untuk menciptakan keluarga yang sakinah juga sangat penting. Selama ini banyaknya perselingkuhan atau kehancuran rumah tangga juga dapat mengakibatkan tidak baiknya sikap dan perilaku anak-anak kita,” tuturnya.

Hal yang sama diungkapkan dosen Fakultas Dirasat Islamiyah Universitas Islam Negeri (UIN) Syarief Hidayatullah, Dr. Sahabudin. Menurutnya, budaya kekerasan seharusnya bisa diminimalisasi dengan meningkatkan toleransi dan juga kembali ke jalan Islam yaitu rahmatan lil alamin.

Muhasabah Islam atau kembali ke jalan Islam serta sikap toleransi menjadi salah satu cara jitu untuk membendung dan menangkal serangan paham radikalisme dan terorisme di Indonesia. Pasalnya Indonesia adalah negara majemuk, baik agama, suku, dan budaya, sehingga sudah seharusnya masyarakat Indonesia kembali ke pemahaman Islam yang benar serta meningkatkan toleransi demi menjaga persatuan dan kesatuan di Bumi Pertiwi.

“Ini menjadi tantangan bangsa Indonesia setelah memasuki usia 70 tahun. Kita semua harus bisa melakukan introspeksi diri dengan bermuhasabah dan menjalin toleransi yang lebih erat lagi,” ungkap Sahabudin.

Yang pasti, kata Sahabudin, semua pihak harus terlibat dalam pencegahan budaya kekerasan dan radikalisme. Apalagi itu tidak bisa diselesaikan hanya melalui pendekatan hukum dan keamanan saja. Terlepas dari simbol agama apapun yang mereka gunakan, kekerasan dan radikalisme merupakan musuh bersama umat beragama.

“Agama adalah sumber kebaikan dan kedamaian. Karena budaya kekerasan, apalagi terorisme tidak memiliki akar dalam dan semua aksi teror pada dasarnya bukan tindakan keagamaan, terutama bagi agama Islam yang sangat keras dalam mengecam budaya kekerasan dan terorisme. Itu semua ada dalam Alquran,” ujarnya.

Sumber: news.okezone.com