Radikalisasi dan Para Pencari Devisa

Jika sekilas melihat judul tulisan ini, ada dua entitas yang berbeda tetapi disatukan. Dalam pribahasa gaul  sekarang disebut Jaka sembung bawa golok. Betapa tidak, yang satu berisikan kegiatan yang mengandung proses perubahan mental dan attitude dari semula biasa normal, menjadi tidak biasa dan tidak normal serta penuh dengan ide-ide dan nuansa kekerasan. Yang semula lembut  menjadi mengeras, mengkristal dan akhirnya menjadi sangat keras. Yang awalnya teduh toleran, menjadi tidak kenal kompromi dan cenderung memaksa. Itulah proses radikalisasi.

Sementara satu kata lainnya bermakna orang atau kelompok orang yang bekerja dengan keras, meninggalkan keluarga, meninggalkan kampung halaman, dan bahkan yang sudah berkeluarga harus pula meninggalkan anak tercinta. Semua pengorbanan ini ditujukan semata untuk memperoleh penghasilan bagi perbaikan kehidupan.  Dan dipastikan negarapun memperoleh keuntungan di atas jerih payah kelompok ini. Negara menerima devisa yang tidak sedikit atas kinerja mereka yang biasa dianalogikan sebagai pahlawan devisa.

Itulah sekilas catatan penulis yang bisa direkam  saat  menginjakkan kaki di Victoria Park, Hongkong pada hari Sabtu penghujung september 2017.  Tepatnya saat kunjungan kerja Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dalam rangka berdialog dengan para pahlawan devisa itu di negara tersebut. Di sela kegiatan tersebut, Penulis menyempatkan waktu mendatangi buruh migran Indonesia di Hongkong selain dialog resmi di Konsul Jenderal RI. Bersama  pimpinan BNPT dan rombongan kami mendatangi komunitas mereka di Victoria Park.  Penulis mencoba menghimpun analisa dan pandangan terhadap kehidupan sosial mereka.

Teguh Mempertahankan Warisan Budaya Silaturahmi

Dalam sejarah bangsa Indonesia sepertinya hubungan silahturahmi sudah menjadi kultur ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu. Banyak momen yang dibuat oleh masyarakat dulu untuk membangun budaya silahturahmi. Di Jawa, cerminan budaya tersebut bisa dilihat dalam praktek kehidupan sehari-hari semisal membangun rumah secara bersama-sama. Mulai dari meratakan tanah, memasang  tiang, dinding dan atap sampai rumah tersebut berdiri. Setelah rumah berdiri dan diposisikan sesuai dengan keinginan pemilik  dengan diangkat lalu diadakanlah syukuran atau kenduri.

Dalam komunitas dan lingkungan pemukiman, seminggu sekali masyarakat bergotong- royong membersihkan  selokan, masjid, surau dan kali.  Kunjung-mengunjungi antar warga tetangga menjadi kebiasaan turun temurun. Dulu bahkan dengan tentengan atau buah tangan. Tidak ada persoalan sosial yang tidak bisa dimusyawarahkan. Konflik solusi penyelesaiannya adalah dengan musyawarah.

Budaya silahturahmi dan gotong royong serta musyawarah ini ternyata masih dipertahankan oleh komunitas buruh migran Indonesia di Hongkong. Pada hari libur mereka berkumpul dan bergerombol di taman Victoria. Saat penulis dan rombongan berjalan berkeliling taman, hampir setiap sepuluh meter kita menemukan berbagai logat dan dialeg suku-suku di Indonesia. Mereka bercengkrama dan bercanda seolah menikmati kebersamaan layaknya di negeri sendiri. Ada yang bernyanyi dengan membawa gitar. Ada pula yang melakukan pengajian dengan alat pengeras suara kecil diikuti tiga puluhan orang. Sangat kusyuk mereka mendengarkan sang pengkotbah.

Penulis mencoba bertanya, mempelajari dan menganalisa banyak hal tentang kehidupan sosial, ekonomi dan  ibadah para buruh migran. Mereka menjelaskan bahwa berkumpul merupakan sarana hiburan setelah penat bekerja seminggu penuh. Acara kumpul-kumpul ini  merupakan bentuk silahturahmi dan juga sebagai obat kerinduan kampung halaman.

Ikut-ikutan Fashion Trending

Tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian besar para buruh migran asal Indonesia yang ada di Hongkong, hampir dipastikan bukan berasal dari kota-kota besar. Mereka berasal dari kota-kota kecil, bahkan kebanyakan dari desa. Namun jangan heran, dari dialog dengan puluhan migran secara terpisah , Penulis melihat beberapa wanita pekerja migran yang memiliki tato. Banyak pula rambut mereka yang dicat dengan aneka warna.  Ada juga hidung bertindik berlapis. Pakaian span sexiest. Kaos longgar. Gincu minor. Tetapi, ada juga yang berjilbab bahkan bercadar penuh walau alasan yang dikedepankan lebih pada trending dari pada alasan ideologis.

Dalam dialog dengan mereka, Penulis mendapatkan beberapa keterangan dan  jawaban yang menarik. Misalnya kenapa pakai behel padahal giginya bagus rapi? Dijawab : “itulah mode kekinian orang luar negeri Pak”. Ditanya kenapa rambut dicat biru metalik merah dan kuning? Jawabnya “kapan lagi, kalau di kampung pasti dimarahi si mbok”. Ditanya kenapa  harus pakai HP yang mahal? Mereka menjawab karena fiturnya banyak, bisa facebookan, bisa Imo, bisa nonton video dan berbagai alasan lainya.

Sesekali penulis mlontarkan pertanyaan konyol misalnya  apa dulu waktu di kampung memang nggak bisa modis begini? Jawabnya “boro-boro modis Pak, di kampung – tidak ada uang, di kampung bisanya hanya ke sawah, mbongkoki kayu bakar, jualan camilan,  sekarang sudah bisa cari sendiri serta sangat perlu komunikasi sama saudara termasuk pacar.” tegas mereka  sambil ketawa cekikikan.

Melihat fenomena ini Penulis menyimpulkan ada semacam perpaduan harmonis antara nilai modernitas melalui trend dan gaya fashion yang mereka ikuti dengan kultur dan tradisi yang masih awet dipertahankan. Mereka memadukan silahturahmi, fashion trending, dan mengikuti kemajuan jaman serta menghilangkan stigma ” ndeso” tetapi tetap memelihara secara teguh nilai kultur dan tradisi “ndeso” yang dapat merekatkan tali silaturahmi dan kerinduan akan kampong halaman.

Hubungan Radikalisme dan Pencari Devisa

Lalu pertanyaannya apa sebenarnya hubungan antara radikalisme dengan pola kehidupan para buruh migran yang telah Penulis urai tersebut? Sebetulnya agak sulit mengkaitkan dua hal tersebut karena jumlah burnuh migran yang ada di Hongkong menurut catatan Konjen RI Hongkong mencapai angka 154.000 pekerja. Mereka adalah pekerja  yang tentu saja motivasi utamanya adalah perbaikan ekonomi keluarga. Memang betul ada beberapa kasus pekerja migran terlibat gerakan radikalisme mendukung ISIS. Tapi prosentasenya masih sangat kecil apabila dibandingkan dengan total populasi para TKI.

Kita tidak boleh kemudian melakukan simplifikasi adanya hubungan kuat antara radikalisme di kalangan buruh migran. Tidak boleh juga komunitas pekerja yang bercadar yang setiap hari berlibur di Victoria Park dianggap sebagai kelompok radikal. Apalagi terorist. Sebagaimana tadi penulis sampaikan, dalam dialog dengan mereka bahwa gaya pakaian tidak lebih pada modis dan fashion trending ketimbang motivasi ideologis.

Sebuah kenyataan bahwa di rumah kerja atau di apartemen tempat bekerja saja mereka dilarang bercadar. Bahkan berjilbab saja suatu hal yang tidak mungkin. Sholat secara terbuka saja mereka tidak berani. Timbul pertanyaan, yang terbukti terpapar radikalisme seperti percobaan teror bom panci terhadap Istana Negara beberapa waktu yang lalu itu apa penyebabnya? Ini pun secara teoritis susah dijelaskan. Tapi faktanya ada.

Merekrut seseorang menjadi radikal memerlukan proses yang cukup panjang. Ada yang disebut tahapan pra radikalisasi, yaitu proses seleksi di antara berbagai alternatif orang, kelompok orang ataupun komunitas yang dimungkinkan menjadi simpatisan, pendukung, pencari dana ataupun misalnya menjadi pelaku. Proses seleksi ini berlaku pula pada kelompok keluarga tertentu dalam pertalian darah ( kinship). Bisa pula pemilihan atas ketokohan (worship) dan bisa pula karena ikatan emosional pengalaman waktu lalu (friendship) dan ada pula langsung oleh guru pada muridnya (decipleship).

Setelah proses tersebut, akan ada tahapan berikutnya yakni identifikasi diri di mana terjadi kanalisasi paham melalui rangkaian pola hubungan intoleransi yang melahirkan sikap ekslusivisme. Sikap ini kemudian dilanjutkan dengan penanaman nilai-nilai ideologis ekslusif sebagai kebenaran mutlak dengan pengabaian teori, dalil dan aksioma lain yang memang sengaja telah dibuang jauh-jauh dari kelompok. Bila proses itu telah dilalui, maka tinggal memilah-milah calon pelaku, pendukung, dan pencari dana. Doktrin dan ajaran ( syar’i ) biasanya diberikan secara tanzim ziri  (tertutup).

Nah, dalam pengalaman terorisme di Indonesia masa lalu, Jamaah Islamiah atau al Qaedah Indonesia, proses itu dilakukan melalui pertemuan kecil secara bertahap,sampai pada pertemuan besar dan berakhir pada janji sumpah setia  (bai’at). Persoalan dalam kasus buruh migrant yang terlibat kasus terorisme lebih pada rekrutmen online ketimbang proses tatap muka (offline).

Komunikasi melalui forum komunikasi online, kemudian pembentukan group messenger oleh tokoh radikal, serta seleksi model “confirmed” dan “delcon”menjadi cara dan modus operandi baru.  Orang yang bergabung dengan kelompok  ideologi yang  sama akan cepat di “confirmed“.  Namun yang berbeda akan di ” delkon” atau dia sendiri akan ” leftgroup”. Nah, saat intoleransi telah terbentuk dalam group, maka recruiter akan mulai memberikan dalil, ayat, tafsir versi mereka, yang tentu mereka kaitkan dengan situasi kekinian versi mereka. Misalnya tentang tanda akhir jaman, kewajiban yang harus dilakukan umat pada akhir jaman.  Apa konsep perangnya atau asasinasi terhadap para kafirin dan murtadin termasuk di dalamnya orang-orang asing.

Tentu alasan pembenarannya adalah  melakukan pembelaan agama  dan perang menghadapi  musuh-musuh yang tidak seideolgi dan para aparat yang banyak menangkapi pejuang agama versi mereka. Akhirnya penyerangan kelompok agama lain, orang asing dan aparat keamanan dianggap mereka sebagai kewajiban dalam perang menghadapi musuh agama.

Apabila dikaitkan dengan buruh migrant di Hongkong tentu agak sulit. Pertama; pengajian dan perkumpulan agama hanya bisa dilakukan pada hari minggu di Victoria Park dengan ribuan orang berkumpul dengan komunitas dan kelompok kedaerahan yang berbeda. Kedua; pada hari libur biasanya mereka berkumpul pada komunitas kedaerahan mereka. Ketiga;  untuk pertemuan keagamaan besar di Hongkong ada tokoh agama moderat yang memang disegani oleh hampir seluruh buruh migrant Indonesia. Dia adalah Al ustad Muhaimin Karim.  Tokoh ini bekerjasama dengan Konjen RI Hongkong dalam mendidik keagamaan para buruh migran.

Apa yang terjadi saat ini di mana ada segelinter buruh migrant ditangkap karena terlibat terorist adalah buah dari radikalisasi online melaui sosial media. Dia direkrut oleh orang dekat dan memilih bergabung dan menjadi radikal. Tantangan buruh migran ke depan dalam proses radikalisme dan terorisme adalah upaya meradikalisasi diri dengan sarana online media sosial.

Semoga bermanfaat.