PROAPRO – Plus Lawan Radikal Terorisme Di Dunia Maya

Kebijakan pemerintah dalam menangkal pemberitaan Hoax di dunia maya dengan membentuk Satgas Provokasi, Agitasi dan Propaganda negatif, (PROAPRO) harus di apresiasi seluruh stakeholder dalam hal ini Kementerian/Lembaga Negara. Selain itu, bukan hanya pemerintah seharusnya komponen bangsa baik organisasi masyarakat, organisasi kepemudaan, organisasi Paguyuban maupun masyarakat umum lainnya semestinya ikut merespon kebijakan ini. Bagaimanapun hoax telah menjadi permasalah bersama bagi bangsa Indonesia saat ini.

Hoax yang diartikan sebagai berita bohong, berita palsu bertebaran di dunia maya melalui website, media sosial dan sosial messenger.  Hoax ibarat virus atau bakteri ganas yang dalam waktu sekian detik mampu menularkan penyakitnya kepada pembaca atau pengguna dunia maya. Beberapa pemberitaan nasional banyak dihiasi hoax, tidak saja peristiwa sosial politik, ekonomi, budaya bahkan sampai kepada dunia hiburan (entertainment). Menurut data yang diterbitkan masyarakat telematika Indonesia (mastel), hoax sebagai berita bohong yang disengaja  mencapai 90.30 %, hoax sebagai berita yang menghasut 61.60 % dan hoax sebagai berita yang tidak akurat mencapai 59 %, selain itu hoax sebagai berita yang menyudutkan pemerintah mencapai 12.60 %.

Hoax sebagai Pola Radikalisme dan Terorisme

Mengapa pola? Secara definisi pola diartikan adalah bentuk atau model (atau, lebih abstrak, suatu set peraturan) yang bisa dipakai untuk membuat atau untuk menghasilkan suatu atau bagian dari sesuatu (wikipedia). Sebagai sebuah set peraturan atau bentuk di balik yang tampak hoax menyimpan agenda atau hidden agenda, yakni agenda radikalisasi atau menanamkan radikalisme bagi pembacanya. Pada agenda tersebut tersimpan segala bentuk jenis agenda-agenda kecil seperti penghasutan, adu domba, menebar kebencian, baik antar suku dengan suku lainya, pemeluk agama dengan pemeluk agama lain, pemerintah dengan rakyat, pimpinan organisasi tertentu dengan organisasi lainya, maupun kelompok dengan kelompok.

Artinya, hoax telah menjadi pola kelompok radikal terorisme dalam menciptakan situasi dan kondisi chaos, konflik dan huru-hara melalui pemberitaan/informasi bohong baik berita itu diproduksi melalui website-website, maupun yang diproduksi melalui media sosial. Beberapa kejadian atau peristiwa tidak terlepas dari hoax seperti pemberitaan meninggalnya ulama besar Nahdlatul Ulama KH.Hasyim Muzadi sampai pemberitaan meninggalnya artis. Selain itu banyak peristwa sosial politik yang ditunggangi informasi hoax seperti peristiwa konflik di Tolikara Papua, bahkan pemberitaan skorsing haji oleh Pemerintah Arab Saudi. Peristiwa politik lokal tidak lepas dari  kelompok radikal untuk dimanfaatkan sebagai wadah penyebaran hoax.

PROAPRO Plus dan Gerakan Cerdas Nasional (GCN)

Satgas Proapro yang dibentuk Presiden melalui Kemenkopolhukam memiliki tugas yang signifikan dalam menangkal dan melawan penyebaran berita hoax di dunia maya. Propaganda negatif, agitasi dan provokasi apa pun bentuknya yang tersimpan dalam informasi hoax harus diantisipasi dan dilawan secara bersama seluruh komponen bangsa. Hoax sebagai informasi bohong dan palsu tampil dalam berbagai versi, mulai versi hasutan, versi penebar kebencian, versi ancaman, versi adu domba, versi menebar kekerasan dan versi ancaman. Satu hal yang paling mengerikan ialah versi cuci otak (brainwashing). Kelompok radikal memanfaatkan informasi dan memproduksi informasi hoax dengan berbagai versi tersebut untuk kepentingan radikalisasi di tengah-tengah masyarakat.

Selain propaganda negatif, agitasi dan provokasi kelompok radikal dalam aksinya menggunakan metode  “media  framing”.  Framing merupakan metode penyajian realitas di mana kebenaran tentang suatu kejadian tidak diingkari secara total, melainkan dibelokkan secara halus, dengan memberikan penonjolan pada aspek tertentu. Penonjolan aspek-aspek tertentu dari isu berkaitan dengan penulisan fakta. Ketika aspek tertentu dari suatu peristiwa dipilih, aspek tersebut ditulis dengan menonjolkan sisi tertentu demi kepentingan tertentu.

Agenda framing media menjadi metode kelompok radikal terorisme dalam melancarkan aksinya. Tak sedikit peristiwa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat terutama pada peristiwa sosial politik, yang dimanfaatkan oleh kelompok radikal dengan membningkai informasi untuk kepentingan radikalisme. Atau bisa jadi informasi ditonjolkan dan dibelokan secara halus sesuai dengan kepentingan radikal terorisme. Misalnya pada momentum politik tertentu kelompok radikal mengutip dan menggunakan pendapat tokoh, tetapi kemudian pendapat tersebut dibesar-besarkan atau dicuplik aspek tertentu untuk menimbulkan kekeruhan dan konflik di tengah masyarakat

Mengamati kondisi seperti ini, pemerintah harus menyusun langkah-langkah strategis dalam menanggulanginya. Hoax dalam berbagai versi ini harus  diatasi baik melalui kebijakan strategis maupu kebijakan taktis. Kebijakan strategis telah dilakukan dengan dibentuknya Satgas Proapro. Kemudian kebijakan taktis inilah yang juga semestinya menjadi agenda nasional dalam menanggulangi hoax di dunia maya. Radikalisme dalam bungkus hoax ini secara massif melakukan propaganda negatif, agitasi dan provokasi dengan cara memframing informasi yang ada.

Sementara itu, langkah-langkah taktis dapat dilakukan dengan memproduksi agenda nasional seperti dengan dibentuknya tema nasional Gerakan Cerdas Nasional (GCN) untuk menangkal penyebaran radikal terorisme dalam  bungkus Hoax. Tema ini harus digaungkan secara massif untuk menimbulkan kesadaran bersama, dan menumbuhkan sikap kritis masyarakat dalam menerima informasi. Selain itu perlu dilakukan pelatihan media literasi dan digital literasi seluruh komponen bangsa, baik di setiap kementerian/Lembaga maupun organisasi kemasyarakatan yang memiliki kepedulian dalam menjaga dan membangun negara tercinta ini.