Pemberitaan Terorisme dan Kode Etik Jurnalistik

“Media adalah ‘oksigen publisitas’ yang membantu kemenangan teroris dan ikut melakukan teror,” Margaret Thatcher

Pernyataan Margaret Thatcher, perdana menteri perempuan pertama dan satu-satunya di Inggris tersebut mungkin ada benarnya. Saya sendiri memilih membahasakan media ibarat dua sisi mata pedang yang berbeda, yaitu bisa sangat tajam membantu pencegahan terorisme dan juga sebaliknya.

Pemberitaan media massa seputar isu-isu terorisme yang baik dan benar tentu sangat membantu mencegah bertumbuh kembangnya radikalisme dan terorisme, namun sebaliknya, pemberitaan yang melenceng justru akan memunculkan teror baru bagi masyarakat konsumen informasi, dan ini menyumbang poin kemenangan bagi para teroris.

Pertanyaannya, seperti apa berita yang baik dan benar seputar isu-isu terorisme? Dan bagaimana juga pemberitaan melenceng yang dapat memupuk aksi-aksi teror di masa mendatang?

Sejenak kita lihat ke belakang, tepatnya pada aksi terorisme di kawasan Thamrin, awal tahun 2016 lalu. Saya mengkuti pembicaraan sejumlah ahli di bidang Jurnalistik dan akademisi yang sebagian besar di antara mereka sepakat bahwa pemberitaan aksi teror di Jakarta Pusat tersebut jauh dari kata baik. alih-alih trurt membantu pencegahan terorisme, media justru terkesan memburamkan informasi. Puncaknya, hanya berselang beberapa hari pasca serangan bom tersebut, delapan media massa mendapatkan sanksi berupa teguran dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

Pelanggaran Kode Etik Jurnalistik

Sanksi berupa teguran untuk delapan media massa, yaitu tujuh televisi dan satu radio di atas didasari pada temuan terkait pelanggaran Kode Etik Jurnalistik serta Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Jika dikerucutkan, pemberitaan yang berujung pada sanksi tersebut juga melanggar Pedoman Peliputan Terorisme, sebuah aturan berisi 13 poin tentang tata cara melakukan peliputan terorisme yang dirumuskan oleh Dewan Pers Republik Indonesia.

Kita tentu masih ingat sejumlah media yang begitu saja memberitakan serangan bom yang disebutkan juga terjadi di Cikini, Alam Sutera, dan Palmerah, dimana kesemuanya itu muncul bersamaan dengan aksi teror yang terjadi di kawasan Thamrin. Media massa dengan gegap gempita menangkap informasi yang bersumber dari media sosial tersebut dan mempublikasikannya tanpa terlebih dahulu memverifikasi kebenarannya. Ironisnya, pemberitaan yang belakangan terungkap salah tersebut dengan cepat terviral dari satu tangan ke tangan lain, sehingga dengan cepat hal itu menimbulkan kecemasan bahkan ketakutan di tengah-tenagh masyarakat.

Pemberitaan semacam itu jelas melanggar Pasal 3 Kode Etik Jurnalistik yang menyatakan: “Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah”. Menguji informasi berarti melakukan chek and recheck tentang kebenaran informasi itu.

Masih dari pemberitaan bom Thamrin, kita juga mendapati adanya media televisi yang secara vulgar menayangkan potongan gambar dan video amatir yang didapat dari broadcast media sosial ataupun kiriman pemirsa. Muncul persoalan ketika media mempublikasikan informasi yang diperolehnya tanpa menguji keabsahan sumber dan kualitas. Hal ini didakwa melanggar Pasal 2 Kode Etik Jurnalistik:“Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas Jurnalistik”. Tafsir dari pasal tersebut, cara-cara yang profesional antara lain menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya, dan menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, dan suara.

Pelanggaran Kode Etik Jurnalistik tidak hanya terjadi dalam pemberitaan aksi-aksi teror di waktu lampau. Dalam kejadian terbaru, misalnya pada kasus kematian terduga teroris Siyono di Klaten, Jawa Tengah. Sebuah media daring secara gamblang menulis tidak munculnya aroma busuk dari jenazah saat dilakukan autopsi oleh tim dokter sebuah organisasi kemasyarakatan. Pemberitaan ini patut diduga mengandung unsur glorifikasi terhadap terduga teroris, yang imbasnya memantik dukungan terhadap sosoknya, termasuk aksi-aksi yang dilakukannya.

Glorifikasi terhadap terduga teroris juga sempat ditemukan di pemberitaan pemakaman jenazah dua orang yang sebelumnya disergap Densus 88 Antiteror di Cawang, Jakarta Timur, beberapa tahun silam. Beberapa media menulis muncul aroma wangi dari jenazah di saat pemakaman, dan hal ini diasumsikan sosok korban sebagai orang suci yang telah melakukan jihad.

Secara umum pemberitaan seputar isu-isu terorisme yang melenceng bisa dengan tegas disebut melanggar Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik: “Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk”. Kasus pemberitaan berunsur glorifikasi bisa dikategorikan beritikad buruk terhadap upaya pencegahan terorisme.

Peningkatan Profesionalisme Pers

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) memberikan perhatian khusus terhadap temuan masih rendahnya kesadaran media massa pers dalam mematuhi UU Pers, Kode Etik Jurnalistik, dan berbagai aturan lain yang mengikat di bidang Jurnalistik. Melalui kerjasama dengan Dewan Pers Republik Indonesia, bersama-sama telah dilahirkan Pedoman Peliputan Terorisme yang diharapkan mampu menjadi pegangan bagi media massa dalam tugas-tugas Jurnalistik yang dilakukannya.

Menggandeng Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) yang merupakan mitra kerja BNPT di daerah, program Pelibatan Media Massa dalam Pencegahan Terorisme juga akan dilaksanakan di 32 provinsi se Indonesia. Salah satu bentuk kegiatannya adalah Diseminasi Pedoman Peliputan Terorisme yang menjadikan Jurnalis/Wartawan sebagai pesertanya. Melalui kegiatan tersebut, BNPT mendorong media massa untuk mematuhi UU Pers, Kode Etik Jurnalistik, dan berbagai aturan lain yang mengikat di bidang Jurnalistik, tentunya juga Pedoman Peliputan Terorisme.

Pascaserangan bom Bali pada tahun 2002, Dewan Pers Republik Indonesia telah menyatakan terorisme adalah extra ordinary crimeyang melanggar keadilan dan Hak Asasi Manusia. Sudah selayaknya pemberitaan media massa juga bersifat extra ordinary dalam kerangka berperang melawan terorisme. []