Pandemi Covid-19 Jadi Momen Teroris Tingkatkan Serangan dan Rekrut Anggota Baru

Jakarta – Pandemi Covid-19 diduga memberikan keuntungan bagi kelompok teroris. Pasalnya momen ini digunakan teroris untuk meningkatkan serangan dan merekrut anggota baru.

Hal tersebut disampaikan pengamat, Noor Huda Ismail, saat sesi seminar yang diselenggarakan Kementerian Luar Negeri RI di Jakarta, Jumat, (8/5) lalu.

Penyebabnya, banyak kegiatan masyarakat beralih ke dunia maya saat pandemi dan bersamaan dengan itu, gerakan garis keras IS juga kian aktif menyebarkan seruan dan ajakan di Internet, khususnya ketika mereka kehilangan benteng pertahanan terakhir di Suriah.

Noor Huda memberi contoh IS sempat menyiarkan fatwa di dunia maya yang mendorong simpatisannya meningkatkan serangan teror selama pandemi.

“Ini sebetulnya fatwa yang disampaikan media mereka, An-Naba, artinya kabar berita. Intinya, saat negara-negara sibuk menghadapi pandemi, mari kita serang ramai-ramai.

Ini fatwa yang di dunia global, ternyata digunakan kelompok yang ada di Indonesia,” terang Noor Huda, seorang pengamat teroris dan pembuat film dokumenter, menjelaskan pesan yang disampaikan IS ke simpatisannya via Internet.

Dia menyebut Ali Kalora, merupakan salah satu warga Indonesia dan simpatisan IS yang mengikuti isi fatwa tersebut.

Ali Kalora bersama kelompoknya, Mujahidin Indonesia Timur (MIT) diduga menyerang aparat keamanan di Poso, Sulawesi Tengah, pada April tahun ini.

Dalam aksi itu, salah satu mantan narapidana terorisme, Ali alias Darwin Gobel diyakini ikut terlibat, kata Noor Huda.

Dia berpendapat kelompok yang paling rentan disusupi seruan itu adalah mantan narapidana teroris.

“Dari 900 narapidana teroris, hampir 80-an (sekitar delapan persen) yang kembali.

80 persen saat mereka balik, kembali di dunia-nya lagi. Temuan yang menarik, saat mereka kembali 75 persennya punya posisi yang upgrade (meningkat, red).

Misalnya Ali Darwin, dulu dia ditangkap karena terlibat perencanaan, tetapi ketika dia main lagi, dia sudah terlibat aksi dan ikut menembak,” terang Noor Huda.

Selain itu, sekitar 13 persen dari mantan narapidana teroris juga ada yang kembali beraksi, tetapi tidak lagi di dalam negeri, melainkan ke luar negeri, misalnya jadi kombatan di Moro, Filipina dan Afghanistan, tambah dia.

Namun, temuan lain yang perlu jadi perhatian upaya rekrutmen anggota yang dilakukan narapidana terorisme ke tahanan lain selama di penjara.

“Ketika di penjara, kelompok teroris juga melakukan rekrutmen. Ini saya sebutnya teroris hybrid, contohnya Juher, mantan narapidana umum, jika tidak salah narkoba, ketika bebas dan kemarin tertangkap, ya memanfaatkan Covid-19 ini dan terlibat.

Senjata-senjata melalui jaringan itu dia dapatkan. Artinya, ini jadi pekerjaan rumah bersama,” jelas Noor Huda.

Dia menambahkan masa kritis bagi mantan narapidana teroris saat bebas sekitar satu sampai dua tahun.

“Pada periode itu, mereka menimbang-nimbang untuk kembali ke kelompok lama atau bergabung dengan masyarakat,” ujar dia.

Dalam kesempatan itu, Noor Huda berpendapat penjara bukan alat yang cukup untuk menghentikan aksi teror.

Menurut dia, penerimaan masyarakat memiliki peran penting menghentikan niat para mantan narapidana terorisme itu mengulang perbuatannya.

Ancaman terorisme di tengah pandemi juga jadi perhatian Direktur Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata Kementerian Luar Negeri RI, Grata Endah Werdaningtyas.

Lewat sesi seminar yang sama, Grata menjelaskan peluang masyarakat mengakses informasi radikal via Internet semakin besar mengingat banyak kegiatan masyarakat dilakukan di dunia maya selama pandemi.

“Analisa di lapangan aktivitas radikalisme baik di lapangan maupun di virtual semakin meningkat (selama pandemi, red).

Pria ini mampu membuat pasanganya merasakan kedekatan yang luar biasa dengan teratur

Saat masyarakat dalam kondisi gamang menghadapi pandemi dan menyaksikan konten radikalisme, itu semakin bahaya,” ujar Grata.