Menkopolhukam Gelar Rapat Tertutup Bahas Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme

Jakarta – Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto menggelar rapat tertutup dengan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Kiagus Ahmad Badaruddin, Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo dan Kabareskrim Polri Komjen Pol Ari Dono Sukmanto di Kantor PPATK Jalan Haji Juanda, Gambir, Jakarta Pusat, Jumat (9/3). Mereka membahas soal keanggotaan Indonesia dalam Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) dan pendanaan terorisme.

Dalam pertemuan, Kiagus Ahmad Badaruddin melaporkan hasil penilaian awal dari tim penilai FATF. Disampaikan juga mengenai langkah-langkah yang harus dilakukan untuk mempercepat proses keanggotaan Indonesia dalam FATF.

“Menyampaikan hal-hal mengenai kekurangan-kekurangan yang ada tapi itu pun dari rapat yang tadi kita bisa menyelesaikan. Jadi mengenai keanggotaan Indonesia di FATF saya kira sesuatu yang sangat penting, strategis dan dapat dilaksanakan,” jelasnya.

Dikutip dari situs resmi Ppatk.go.id, sidang pleno FATF yang digelar pada 23 Juni 2017 di Valencia, Spanyol, memutuskan untuk segera memproses keanggotaan Indonesia dalam FATF. Keputusan ini didukung oleh mayoritas peserta sidang.

Keluarnya keputusan ini tidak lepas dari lobi intensif yang dilakukan Delegasi RI yang terdiri dari atas perwakilan dari Kementerian Keuangan, Kementerian Luar Negeri, PPATK, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Madrid, hingga Perwakilan Tetap Republik Indonesia (PTRI) Jenewa.

Proses keanggotaan Indonesia di FATF sendiri mulai dibahas pada Sidang Pleno FATF yang bertempat di Argentina, Oktober 2017. Aplikasi Indonesia menjadi bagian dari FATF memiliki arti strategis, karena FATF adalah suatu forum kerja sama antar negara yang bertujuan menetapkan standar global rezim anti pencucian uang dan pendanaan terorisme, serta hal-hal lain yang mengancam sistem keuangan internasional. Indonesia sebagai salah satu kekuatan ekonomi besar dunia, yang juga merupakan anggota G-20, sudah selayaknya berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan strategis yang dapat menentukan sistem keuangan internasional.

Hal-hal yang menjadi nilai positif Indonesia antara lain adalah kemajuan signifikan dalam aspek regulasi, koordinasi dan implementasi dalam rezim anti pencucian uang dan pendanaan terorisme. Kemajuan Indonesia dinilai signifikan karena telah memiliki Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, maupun penerbitan Peraturan Bersama mengenai Proliferasi Senjata Pemusnah Massal.

Pengalaman dan kapasitas Indonesia dalam isu ini dipercaya dapat memberi nilai tambah yang signifikan bagi FATF beserta anggotanya dalam memerangi pencucian uang dan pendanaan terorisme. Di tingkat internasional, Indonesia adalah anggota aktif dalam The Egmont Group yang merupakan wadah bagi unit intelijen keuangan di seluruh dunia, juga Asia-Pacific Group on Money Laundering (APG) sebagai FATF-Style Regional Bodies di kawasan Asia Pasifik.

Selain itu, Indonesia juga menggiatkan serangkaian kerja sama dengan unit intelijen keuangan negara lain, antara lain dalam memberikan sumbangsihnya bagi komunitas internasional dengan menyusun Regional Risk Assessment on Terrorism Financing, yang merupakan assesmen pendanaan terorisme untuk kawasan regional pertama di dunia. Berbagai kontribusi lainnya antara lain menginisiasi National Risk Assessment on Money Laundering/Terrorist Financing, dan menyusun AML/CFT Perception Index yang pertama di dunia.