Mengenang Pertemuan dengan Sosok Fenomenal

Pertemuan dengan seseorang walaupun dalam skala kuantitas yang sangat kecil,  misalnya hanya dua kali berjumpa, terkadang memberikan kesan yang cukup mendalam. Apalagi kalau yang dijumpai itu adalah orang yang cukup dikenal. Semisal tokoh yang kharismatik, pejabat negara bahkan penjahat kambuhan yang sangat menakutkan sekalipun akan memberikan kesan yang cukup mendalam.

Di era kecanggihan teknologi informasi momen pertemuan baik direncakan atau tidak sengaja dengan seorang yang dianggap publik figur pasti disempatkan ajang berfoto bersama  ataupun dengan swafoto atau ” selfie”.  Lihatlah misalnya, ada kunjungan Bapak Pesiden pada sebuah komunitas tertentu. Kalau ada kesempatan, dan pengamanan Paspampres dibiarkan sedikit longgar apalagi kalau Bapak Presiden bersedia, maka akan beramai-ramai orang meminta berfoto dan berselfie ria dengan Presiden.

Pertanyaan lain yang sama dengan konteks judul tulisan ini, bagaimana kalau dia  mantan penjahat, mantan narapidana, atau mantan teroris?  Juga sama. Ramai orang akan meminta untuk berfoto bersama ataupun berselfie. Penulis ingat pada tahun 2015 dalam sebuah kegiatan dinas, pernah mengundang 200an  mantan napi terorisme lintas generasi untuk berbuka puasa bersama.  Penulis ingat tempatnya adalah di Restauran Pulau Dua Senayan.  Karena di situ memang area publik yang ramai didatangi orang atau keluarga yang ingin berbuka puasa bersama. Ternyata para tokoh terorisme Indonesia itu juga ramai diajak berfoto dan berselfie ria.

Bisa dibayangkan tokoh-tokoh mantan teroris itu memberikan pelayanan berfoto dan berselfie layaknya seorang artis kenamaan. Itulah sekedar gambaran betapa sebuah pertemuan, walaupun dalam waktu yang relatif sempit dan singkat dengan tokoh apapun, tokoh pemerintah, tokoh masyarakat, artis, bahkan penjahat sekalipun dapat memberikan kesan yang mendalam serta susah dilupakan. Itulah yang ingin penulis uraikan sebagai sebuah pengalaman.

Pertemuan Pertama dan Pertemuan di Sarang Harimau

Pada antara bulan April dan Mei tahun 2007, Penulis dengan didampingi oleh beberapa staf kantor berangkat ke Filipina.  Rencana keberangkatan sudah disiapkan rapi, teliti, cermat serta terkoordinasi dengan baik mulai dari mau bertemu pejabat, berbagi  informasi,  hingga detail waktunya.  Rencana inti sebetulnya hanyalah bertemu dan berkenalan serta bertukar informasi  dengan petinggi kepolisian di Manila.  Lebih fokusnya lagi, ingin bertemu dengan badan atau direktorat yang  khusus membidangi dan menangani masalah radikalisme dan terorisme.

Tidak sulit bagi Penulis dan tim mendapatkan akses dalam kunjungan tersebut. Kemudahan ini karena beberapa faktor. Pertama, hubungan kepolisian Indonesia dan kepolisian Filipina sejak dahulu sudah terjalin sangat baik. Kedua; kala itu kedua negara sama-sama  sedang direpotkan oleh gerakan Al jamaah al Islamiayah di Indonesia dan MILF dan Abu sayaf di Filipina. Ketiga; saat itu Filipina sedang mengembangkan satuan tugas penanganan terorisme yang sangat efektif dan mampu mendeteksi setiap pergerakan radikalisme teroris yang diberii nama “Shanglahi Task Force ” yang telah berhasil mendeteksi total jaringan di Filipina.

Begitu datang di PNP headquarter (Mabes Polisi Filipina, Penulis diterima oleh Wakil kepala kepolisian bidang operasional, dan selanjutnya diarahkan bertemu dan didampingi langsung oleh kepala satuan khusus penanganan terorisme Brigadir Jenderal Polisi Recardo Romero. Seorang polisi tinggi, kurus dan langsing dengan seabrek pengalaman intelijen dan penanganan terorisme  di Mindanao Filipina Selatan. Di tangan beliaulah tertangkap tokoh-tokoh penting terorisme kaliber berat dan beberapa di antaranya berasal dari Indonesia. Beliau sangat responsif dan cekatan mengatur satuannya. Beliau sangat cerdas berkomunikasi antar fungsi di kepolisian philipina. Dari beliaulah kemudian penulis akhirnya bertemu dengan pelaku lapangan yang menangani terorisme seperti Jojo Mendes, Gene Cerbo dan Nini Paquita. Dan dari beliau pulalah akhirnya tercatat kepolisian Filipina pernah menjadi manager pada JCLEC Semarang yang dikomandoi oleh Brigadir Jenderal Polisi Jhon Poentes.

Yang penulis ingat saat itu Brigadir Jenderal, Recardo Romero mengantar dan menyarankan penulis dan tim untuk menemui para tahanan teroris penting di Filipina yang terlibat jaringan JI dan MILF yang berkewarganegaraan Indonesia. Akhirnya dengan di antar oleh staf Shanglahi Task Force, Penulis dan Tim bisa bertamu dan membesuk dengan para tersangka warga negara Indonesia yang terlibat kasus terorisme di Filipina.

 

Sebut saja Baihaki, Muhamad Yosof Faiz (yang sekarang menjadi Abu Walid sang juru dakwah dan syar’i  di Iraq ), Zulkifly dan Muhamad Rifki. Ada beberapa kesan penulis saat itu terhadap para tersangka terorist tersebut. Ada beberapa hal yang masih penulis ingat, saat itu mereka sangat Radikal dan belum ada kesan bersahabat. Mereka masih menolak makanan seperti Kentucky dan produk lain yang berbau kebarat-baratan. Mereka belum terbuka. Hanya menjawab hal-hal yang ditanyakan saja dengan singkat. Tidak ada senyuman. Tidak ada basa basi. Tatapan sebagai musuh  terhadap polisi berpakaian dinas yang menemani penulis masih kelihatan walaupun kepada penulis terlibat lebih rilex. Mungkin karena sesama warga negara.

 

Pertemuan tahun 2007 itu, walau tidak menemukan hasil informasi yang signifikan, tetapi tetaplah menjadi momen penting karena membuka peluang untuk diterima pada pertemuan-pertemuan berikutnya. Bagi Polri saat itu deradikalisasi adalah lebih diorientasikan pada investigative measure. Diibaratkan sambil menyelam minum air. Di samping mereduksi radikalisme diharapkan dapat digunakan berbarengan sambil menggali informasi dan investigasi jaringan.

Setelah pertemuan pertama, tahun 2008 kembali Penulis dengan tim yang berbeda mendatangi mereka. Kali ini terasa agak sulit karena situasi politik dalam negeri Filipina. Peran dan fungsi Shanglahi Task Force sudah banyak beralih ke militer. Tahanan tersangka teroris yang semula di bawah Polisi beralih kepada militer di Camp Crame (Kantor Pusat Angkatan Bersenjata) menyebabkan prosedur keamanan menjadi agak rumit. Bisik-bisik dari jaringan yang ada di Manila mereka sekarang agak sulit berdialog dengan teroris karena mereka ditempatkan di Camp crame atau Kandang Singa. Dan betul saja, Penulis harus memenuhi berbagai standar keamanan dengan pemerisakaan banyak hal seperti berkas pernyataan tanggung jawab yang harus di tanda tangani. Belum lagi pembatasan waktu pertemuan. Padahal, prinsip dari deradikalisasi adalah komunikasi yang intens dan dalam waktu yang lama, serta perlu kesabaran yang luar biasa.

Berbagai prosedur itu harus penulis ikuti untuk kebutuhan jangka panjang. Deradikalisasi tidak akan pernah berhenti selagi teroris masih ada di muka bumi ini. Kebutuhan kerjasama bilateral dan kawasan juga tidak bisa dihindari. Tidak ada sebuah negarapun yang kebal terhadap serangan terorisme. Saat kunjungan 2008 di bawah kawalan ketat militer, Penulis kembali melakukan kegiatan berdikusi dan berdialog sambil menggali informasi pergerakan mereka.  Di situ Penulis bertemu lagi dengan Taufik Rifki yang ditangkap pada tanggal 1 oktober 2003, Zulkifli alias Muhamad Faisal yang ditangkap 9 september 2003, dan Muhamad Yusuf Faiz yang sekarang menjadi figur terpopuler di jajaran ISIS yang berasal dari Indonesia setelah Bahrun Naim.

Pertemuan Ketiga bersamaan Pertemuan Menteri di Manila

Bagi Penulis komunikasi yang intens dan membangun kepercayaan antar personal atau “trust building” dalam kegiatan yang mengedepankan pendekatan lunak menjadi bagian penting. Banyak negara menggunakan pendekatan lunak, tetapi tanpa komunikasi yang intens yang akhirnya menjadi sia-sia. Mari sedikit menoleh ke belakang pada tahun 2000. Semua negara menggunakan pendekatan lunak ala Yaman, tetapi ternyata Yaman gagal. Pada tahun 2005 deradikalisasi Yaman dibubarkan. Hal itu lebih disebabkan karena kegiatan yang dilakukan lebih pada “Comunitee dialog” yang ekslusif. Akibatnya banyak mantan napi yang kemudian menjadi teroris kembali bergabung pada kelompok Magribi ( Tunisia, Maroko, Aljazair, Libia dan Muritania). Kondisi semakin parah ketika ISIS muncul sebagai kekuatan baru pada tahun 2014.

Nah, dalam pertemuan terkahir suasana antara penulis beserta 3 orang staf ditambah seorang dari Kedutaan RI dengan ketiga napi teroris Zulkifli, Rohmat dan Taufik Rifki berjalan sangat baik. Tanggapan, penyesalan, kerinduan dan keluh kesah mereka sampaikan dengan lugas dan santai. Sangat berbeda dengan  dua pertemuan tahun 2007 dan 2008 yang lalu. Tanpa banyak diarahkan Zulkifli, Rohmat dan Taufik bicara banyak dan bebas. Keluhan utama mereka adalah keberatan disatukan dengan tahanan Narkoba.

Pertemuan dengan Abu walid yang Fenomenal

Dalam pertemuan yang pertama dan kedua tahun 2007 dan 2008, penulis tidak melihat Abu Walid sebagai seorang yang sangat keras dan radikal. Saat itu Penulis bukan mengenalnya sebagai Abu walid. Abu walid adalah nama saat yang bersangkutan bergabung dengan ISIS. Sampai sekarang nama itu tetap disandangnya dan senantiasa menjadi ikon guru syar’i militan ISIS asal Indonesia.

Penulis dari dulu memanggilnya  sebagai Faiz yang diambil dari namanya Muhamad Yusuf Faiz.  Ia merupakan seorang pemuda kurus ceking yang dilahirkan kembar bersama saudaranya bernama Muhamad Karim Nurudin yang tewas pada saat kerusuhan Ambon tahun 2000. Kedua kembaran itu dilahirkan pada tanggal 11 Oktober tahun 1978.  Mereka memiliki kakak kandung yang juga tokoh masyarakat solo  Dr. Murinudinillah MA. atau yang lebih dikenal sebagai Ketua Dewan Suro Dewan Syaria Kota Surakarta. Orang tua mereka adalah H Basri dan ibu Sa’adah. Dan masih dalam catatan penulis, Muhamad Yusuf Faiz atau Muhamad Yusuf Karim Faiz dengan panggilan Faiz ini, merupakan murid Abu Bakar Baasyir di pondok Pesantrean Al mukmin Ngruki, Solo. Di pesantren ini dia tidak lulus dan kemudian pindah ke Jati Barang.

Dari Jawa Barat, faiz memilih untuk pergi ke Ambon bersama saudara kembarnya Muhamad Karim Nurudin yang kemudian tewas di medan tersebut. Setelah itu, dia berangkat ke Riyadh. Konon  dia sempat kuliah di Universitas Ibnu Saud. Walaupun secara fisik kecil dan kurus, namun di kalangan Jamah Islamiyah dia cukup dikenal karena model pergaulannya yang sederhana. Dia adalah kurir yang menyalurkan keuangan kepada Nurdin M top. Setelah itulah dia bergabung dengan Dul Matin alias Joko Pitono di Filipina. Dia ditangkap pada tahun 2004, dan bebas menjalani hukuman pada tahun 2013 dan kembali ke Indonesia. Saat  di Indonesia itulah dia bertemu dengan jandanya Urwah alias Budi yang kemudian dinikahinya.  Setelah pernikahan itu pun ia berangkat ke Iraq dan Syria dengan nama “Abu walid” yang diberikan oleh Al Bagdadi.

Kata Kunci Kesuksesan Deradikalisasi Indonesia

Pergaulan dengan berbagai narapidana terorisme di Filipina dalam kegiatan deradikalisasi telah memberikan kesimpulan bagi Penulis. Pertama ; pendekatan lunak yang dilakukan oleh indonesia sudah sangat efektif. Penggunaan tokoh àgama senior yang diterima oleh kelompok radikal, penggunaan mantan napi teroris dan pendekatan yang dilakukan langsung oleh aparat merupakan kunci sukses penggunaan pendekatan lunak oleh Indonesia.

Kedua;  pertemuan yang intens terhadap tokoh penting teroris Indonesia dari segala zaman akan melahirkan konsep penanganan yang lebih komprihensif. Pertemuan dalam rangka deradikalisasi tersebut juga ditujukan untuk invetasi jaringan yang berguna dalam menangani terorisme secara komprehensif.

Ketiga; kegiatan deradikalisasi bisa dilakukan di luar negeri yang menyasar pada narapidana teroris WNI yang berada di luar. Terorisme yang bersifat global dengan jaringan tanpa batas diperlukan kerjasama internasional yang kuat dalam bidang deradikalisasi.

Keempat; deradikalisasi dapat dilakukan serentak simultan dan paralel dengan kegiatan kontra radikalisasi di berbagai komunitas sampai dengan kampus. Dalam hal ini peranan tokoh mantan teroris menjadi sangat sentral untuk menceritakan testimoni mereka kepada masyarakat agar mewaspadai ideologi dan rekrutmen jaringan terorisme.

Semoga bermanfaat

Bersama kita cegah terorisme