Mengais Semangat Perdamaian dan Persaudaraan dari Konflik di Tolikara

Peristiwa kerusuhan yang melibatkan pembakaran rumah, kios dan mushala yang terjadi di Karubaga, Kab. Tolikara, beberapa waktu yang lalu harus menjadi pembelajaran untuk kita semua, terutama dalam kaitannya dengan usaha membangun perdamaian antara umat beragama di negeri yang paling kita cintai, Indonesia.

Kejadian rusuh di atas sempat beredar cepat di dunia maya. Banyak pihak yang menyesalkan, banyak pula yang mengutuk. Sayangnya, lebih banyak lagi pihak-pihak yang ikut memperkeruh suasana dengan memberi komentar-komentar yang kontraproduktif terhadap upaya penyelesaian konflik.

Dalam konteks ini, kasus yang membawa-bawa nama agama memang lebih mudah menyulut emosi. Padahal emosi dalam bentuk apapaun tidak pernah menyelesaikan masalah. Komentar bernada; lawan, balas, bakar, dan jihad bukan merupakan solusi yang kita cari, karena hal ini justru akan memperkeruh apa yang sudah terjadi.

Sejarah pahit kasus Ambon di tahun 1999 lalu seharusnya menjadi pelajaran. Perkelahian antara dua pemuda dari etnis dan agama yang berbeda pada perayaan Idul Fitri itu ‘didadani’ sedemikian rupa hingga kemudian membesar menjadi konflik sosial dengan nama agama. Akibatnya, ribuan korban jiwa melayang dan menyisakan pengungsi yang hidup dalam ketidakjelasan. Kita tentu tidak ingin kasus itu terulang kembali.

Apa yang terjadi di Tolikara tentu sangat disesalkan. Namun dengan pengalaman yang telah kita miliki, kita seharusnya tidak mudah lagi terprovokasi dengan menganggap bahwa kerusuhan di Tolikara adalah murni urusan agama. Semua agama, apapun itu, mengajarkan cinta, kedamaian dan penghargaan.

Dalam konteks masyarakat Papua, mayoritas penduduknya memang memeluk agama Kristen, namun masyarakat Muslim di Papua juga sangat banyak. Islam kemudian tidak hanya menjadi agama bagi ras Austronesia namun juga dianut oleh ras Melanesia.

Sebagai daerah yang berada di ujung timur Indonesia, masyarakat Papua memang kerap berhadapan dengan persoalan, seperti masalah ekonomi, sosial, pendidikan, hak asasi, dll. Dengan fakta ini, beberapa masyarakat di Papua bahkan dengan terang menyebut keinginan berpisah dari Indonesia. Namun dari sekian banyak pembicaraan yang saya alami langsung dengan masyarakat Papua yang saya jumpai, tidak pernah sekalipun ada perbincangan yang dikaitkan dengan kebencian terhadap agama. Tidak ada sama sekali!

Cerita dari beberapa kawan Muslim yang pernah datang ke Papua pun hampir sama. Mereka bercerita tentang perlakuan baik yang mereka terima selama berada di Papua. Masyarakat Papua memiliki kearifan lokal yang menjunjung tinggi penghormatan diatas perbedaan dalam hal keyakinan. Karenanya ada banyak cerita tentang toleransi beragama yang berasal dari pulau kaya ini.

Gesekan antar warga mungkin memang ada, namun agama tidak pernah menjadi persoalan utama. Karenanya muncul spekulasi tentang adanya grand design yang ditujukan untuk memecah bangsa Indonesia. Kenapa menggunakan isu agama? tentu karena sentimen ini pernah berhasil digunakan untuk memecah Indonesia di Ambon dan Poso.

Sekretaris Konferensi Wali Gereja Indonesia, Romo Benny, mengungkapkan bahwa dalam sejarahnya, selama ini tidak pernah ada konflik antar warga yang disebabkan masalah agama yang terjadi di Papua. Hal ini karena masyarakat Papua sangat memegang teguh nilai kearifan lokal mereka. Hal sama diungkapkan pula oleh Pater Neles Tebay, Koordinator Jaringan Damai Papua. Menurutnya, budaya Papua tidak mengajarkan orang untuk mengganggu apalagi membakar tempat ibadah. Pembakaran mushala di Tolikara adalah peristiwa pertama dalam sejarah Papua di mana sebuah tempat ibadah dibakar.

Masalah orang Papua bukan masalah agama. Masalah mereka adalah ketidakadilan, diskriminasi, ekonomi, kemiskinan, pendidikan, infrastruktur, kecemburuan sosial, nasionalisme ganda, serta prilaku represif aparat terhadap masyarakat Papua. Filep Jacob Samuel Karma atau yang dikenal sebagai Filep Karma, aktivis kemerdekaan Papua dalam bukunya, Seakan Kitorang Setengah Binatang (2014) bahkan sama sekali tidak menyebut bahwa Islam dan Kristen adalah permasalahan di Papua.

Upaya damai telah dilakukan. Kedua belah pihak telah dipertemukan. Kasus di Tolikara cukup berhenti di Tolikara. Tidak perlu ada efek domino yang terjadi di daerah lain. Agama mengajarkan kita untuk hidup damai dan saling menghargai. Di sinilah saatnya ajaran itu diimplementasikan.

Seharusnya kita bisa belajar dari sejarah, bahwa konflik yang mengatasnamakan agama seringkali berakhir tragis karena umat beragama tidak lagi berfikir jernih. Agama pada dasarnya adalah korban dari setiap konflik yang bernamakan agama. Agama hanya alat yang digunakan. Agama dimanipulasi untuk kepentingan kelompok tertentu.

Cukuplah kita belajar dari kasus-kasus konflik bertemakan agama yang terjadi di Indonesia. Jangan lagi ada upaya untuk menjadikan konflik Tolikara sebagai sebuah babak baru konflik bernuansa agama di Indonesia. Penting untuk kemudian menahan diri dan jangan sampai terprovokasi. Apalagi ikut membagi berita di sosial media yang kesannya mengintimidasi dan memancing terjadinya konflik baru.