Mencoba Memahami Keinginan: Sekilas Psikologi Deradikalisasi

Mencoba Memahami Keinginan: Sekilas Psikologi Deradikalisasi

Kajian dan analisis tanpa dialog seperti wayang tanpa dalang. Saat terjadi serangan teroris masyarakat selalu digiring dalam suasana kebingungan, panik dan beberapa pertanyaan; Apa  yang mereka (baca: teroris) itu cari? Apa yang mereka inginkan ? Di mana otak mereka ? Apakah mereka tidak punya keluarga ? Coba bayangkan bagaimana kalau keluarga mereka yang menjadi korban? Betapa bisa manusia seperti mereka begitu kejam sehingga menganggap manusia selain kelompok mereka sama seperti binatang?  Alangkah sadisnya mereka? Manusia atau iblis ? dan berbagai pertanyaan lain yang mereprentasikan perasaan takut, panik dan bingung.

Umpatan, sumpah serapah dan caci makipun terlontar atas berbagai kejadian yang sesungguhnya sangat tidak masuk akal dan logika manusia yang berfikiran sehat. Betapa hanya dalam hitungan detik saja harta benda serta nyawa orang  yang tidak berdosa hilang.  Walaupun kita juga menyadari bahwa itulah esensi makna dan arti  “teror” yang  pelakunya kita sebut ” teroris” itu.                Pertanyaan, kebingungan, panik dan ketakutan itu pulalah yang menjadi objek pengamatan para pengamat dan jurnalis untuk menganalisa dan membuat anasir tentang teror dan teroris secara utuh.

Kajian tanpa Data Menyuburkan Konspirasi

Tatkala kita membaca makalah atau menonton berita di media tentang teroris pada kolom pojok, isu keamanan, analisa kriminal, pendapat masyarakat dan dialog live pasca serangan teroris sebenarnya sangat sering kita melihat dan mendengar pengamat dan jurnalis mencoba menjelaskan secara komprehesif motif dan sebab aksi teror. Lazimnya, bahasan akan berkisar seputar perilaku teroris, model interaksi sosial yang diusung oleh teroris, dan keterpengaruhan sosial. Ada pula media dan jurnalis yang secara ekslusif membahas analisa tipologi serangan perilaku mulai dari bom rakitan sampai penabrakan truk, hubungan keperibadian anti-sosial dan sadisme teroris, potensi gangguan psikososial teroris, anggapan tentang penyakit tertentu yang mendorong motif kekerasan teroris, kajian dampak keterpurukan ekonomi terhadap tumbuh berkembangnya terorisme, kajian tentang stigmanisasi dan marginalisasi  keluarga teroris, kaitan teori pemukiman, dan psikotraumatis masa lalu buruk terhadap perilaku buruk teroris.

Kajian dan analisa tersebut secara umum sangat menarik untuk dibaca dan ditonton, tetapi sangat perlu juga untuk dicermati dan dikritisi.  Satu sisi berbagai kajian menjadi bacaan atau tontonan aktual yang sangat menarik, tetapi di sisi lain ia mempunyai  kelemahan. Kelemahan yang sangat dirasakan utamanya ulasan mencoba memotret program pendekatan lunak pemerintah khususnya program deradikalisasi pemerintah, atau para praktisi termasuk polisi yang melakukan penegakan hukum, serta orang-orang yang telah berinteraksi cukup lama dengan teroris eks teroris atau kerabat dekat teroris yang tidak terpapar radikalisme.

Banyak sekali ditemukan kekurangan yang mendasar yang perlu disempurnakan sebelum dijadikan produk tulisan dan tontonan menarik yang dapat disajikan dan dinikmati publik secara obyektif.  Dan perlu dipahami bahwa kajian tentang sosiologis terorisme dan kriminal lain selain terorisme adalah dua hal yang sangat berbeda. Kesulitan utama dalam pengkajian terorisme adalah membangun kontak verbal untuk mendapat informasi dari sumber utama dalam bentuk  interview, wawancara terhadap pelaku ataupun mantan pelaku. Akibatnya, bahan media banyak mengadopsi atau mengambil dari sumber daring lain manakala tidak bisa mendapat dari sumber utama. Pada akhirnya, dialog dan tulisan tentang teroris yang disajikan lebih mengedepankan persfektif pandangan pribadi pengamat atau jurnalis.

Secara umum sajian dan bacaan media bisa diterima logika bagi orang awan. Tapi bagi teroris atau praktisi dan polisi yang terlibat langsung ketika menyaksikan dan mendengar berita akan merasa jengah karena hal-hal yang signifikan justru tidak dibahas. Bahkan salah satu amir senior pelaku bom Bali  yang dipidana seumur hidup di Lapas Jawa Timur pernah berkomentar terhadap ulasan media dengan mengatakan banyak pengamat yang “sok tewe”.

Saya kira pernyataan amir itu tidak berlebihan. Pendapat yang sama penulis juga dapatkan dari eks teroris di Bekasi.  Ia pernah didatangi oleh seorang akademisi senior yang membawa mahasiswa program pasca sarjana berkunjung ke rumahnya.  Secara terang-terangan dan jujur beliau menolak dijadikan objek penelitian dan dialog.

Tatap muka dan dialog langsung dengan teroris merupakan bagian yang paling sulit dalam memperoleh informasi tentang motif dan latar belakang. Secara umum teroris, mantan teroris bahkan keluarganya tidak mau ditemui media atau peneliti dan orang di luar komunitasnya (out group ). Mereka masih menganggap masih belum sepenuhnya diterima oleh masyarakat. Tabu bagi mereka untuk menceritakan sejarah buruk masa lalunya. Bertobat bagi mereka bukan berarti membuka aib sendiri. Bagi yang masih radikal, sungguhpun tidak lagi ada aksi tetaplah mereka menganggap melompok mereka sebagai kelompok komunitas ideologis ekslusif. Sehingga seperti penulis katakan tadi sangatlah sulit untuk berinteraksi dan berdialog dengan mereka. Mereka akan cenderung tertutup dan menutup diri.

Salah satu contohnya adalah kita masih ingat pasca peristiwa Bom Legian Kuta Bali 2002 lalu, ada salah seorang pengamat intelijen yang mengatakan bahwa peristiwa bom Bali itu sejatinya merupakan skenario negara besar yang ingin menghancurkan Indonesia. Dikatakan dalam berbagai media mainstream bahwa dalam kasus teror tersebut bomnya sangat mungkin dibuat mini Nuclear atau minimal rocket missile sebagaimana yang digunakan dalam perang. Inti kesimpulan konspiratif tanpa data menghasilkan opini peristiwa itu sengaja dirancang oleh negara besar untuk mengganggu keamanan Indonesia yang saat itu dalam kondisi relatif stabil.

Hampir sebagian besar masyarakat kala itu percaya. Kehancuran masif yang menimpa Bali sebagai ikon destinasi wisata dunia sepertinya memang dikehendaki untuk merontokan perekonomian dan pertahanan keamanan Indonesia. Namun, seiring dengan perjalanan waktu aparat penegak hukum ternyata telah membuktikan bahwa terorisme di Indonesia adalah sebuah fakta dan kenyataan. Dari peristiwa itu Indonesia dikagetkan dengan fakta betapa jaringan radikalisme teroris global, ekses dari bergabungnya ideolog NII dan Al Qaedah pasca mundurnya Rusia dari Afganistan telah hadir juga di nusantara.

Ideologi yang ingin dijadikan pengganti Pancasila ternyata telah dirancang sejak beberapa tahun Indonesia merdeka. Tahun 1949 Kartosuwiryo sampai NII dan JI terpisah tahun 1993 di Lukmanul Hakim Johor Malaysia. Perlawanan terhadap pemerintah dengan berbagai sebutan pun dapat dirinci secara periodisasi, mulai dari perbuatan makar terhadap negara, tindakan suversif dan tindak pidana terorisme telah mampu diidentifikasi dan ditelisik tuntas oleh negara. Empat generasi terorisme  telah ditangkap hàmpir 2000 dan telah teridentifikasi mulai recruiter sampai follower serta simpatisan. Pergerakan ideologi homegrown, domestik dan regional dengan mengkolaborasikan sel  seidiologi di negara sahabat yang berhasil ditelisik telah mampu menjelaskan kepada masyarakat bahwa terorisme itu memang ada, nyata dan dilakukan oleh organisasi yang mempunyai tujuan merubah ideologi negara.

Dengan mencermati berita dari media tentang  pendapat pengamat ahli tentang bom Legian Kuta Bali,  kaitannya dengan tata kerja intelijen, maka teori konspirasi pun semakin pupus.  Apalagi setelah Ali imron sang pelaku perangkai Bom bali menceritakan secara terbuka bahwa dialah yang merakit Bom Bali tersebut. Dia juga menceritakan secara runtut bagaimana Jama’ah Islamiyah al Qaedah Indonesia merencanakan, mempersiapkan dan melaksanakan eksekusi.

Usaha perlawanan terhadap pemerintah dalam setiap periode pun mulai terkuak. Sejalan dengan dinamika perkembangan waktu dan dinamika ancaman yang terjadi, perubahan regulasi sejak kita merdeka sampai saat inipun dapat diidentifikasi dengan baik latarbelakangnya. Pada zaman Orde Lama  di saat merasakan udara kemerdekaan, teroris saat itu dikategorikan kelompok makar dan pemberontak terhadap negara sampai tahun 1963. Sejak tahun 1963, kegiatan teror kemudian disebut sebagai tindakan suversif. Barulah dengan ketetapan MPR kita menyebutnya dengan “Terorisme”.

Empat generasi terorisme (dengan  berbagai sebutan sesuai eranya) telah teridentifikasi dan para pelaku ditangkap. Dokumentasi dan data tersimpan serta tertata dengan baik. Pergerakan ideologi homegrown, domestik, regional dan model kolaborasi jaringan antar negara tetangga ternyata telah mampu menjelaskan kepada masyarakat bahwa terorisme itu memang ada dan nyata dilakukan oleh organisasi yang bergerak clandestein.

Sulitnya Mencari Fakta

Dengan kemajuan teknologi komunikasi global sàat ini informasi daring sangat mudah kita dapatkan.   Hanya dengan satu tangan dan jari jari diatas dawai kita dapat mencari dan mengakses informasi dengan mudah. Menghimpun dan menyampaikan kembali dalam bentuk tulisan dan tontonan berbagai informasi tersebut bukanlah hal yang sulit. Akan tetapi tulisan dan tontonan itu akan menyesatkan secara signifikan manakala tidak didukung oleh kumpulan data lapangan yang sebetulnya hanya bisa didapat dari sumber utama.  Kegiatan dialog dan wawancara terhadap sumber utama dari orang  yang terlibat (pelaku atau mantan pelaku) adalah bagian yang paling penting.

Dalam situasi kekinian, analisa pribadi dan sumber daring secara open source yang diambil secara potong kompas sangatlah tidak bijak. Akibat paling patal yaitu bacaan dan tontonan tidak menceritakan sebenarnya. Adapula yang menganggap data yang didapat dari daring sebagai informasi intelijen. Padahal sebagaimana diketahui sejatinya informasi intelijen sangat mengedepankan rangkaian proses yang teliti dan cermat. Informasi intelijen bukanlah kumpulan kliping koran dan googling, tetapi data yang dimulai dari pengambaran, pengamatan, surveillance dan undercover yang dilanjutkan dengan pengamanan informasi dan upaya penggalangan. Hasil tersebut kemudian discoring. Pengkategorian atas temuan informasi yang  spesifik terhadap informasi intelijen diberi simbol huruf dan angka, misalnya temuan mutlak disebut A1 dan sebagainya.

Jadi asumsi dan anggapan Individu tidak berlaku dalam informasi Intelijen. Ada kolerasi penting antara data primer dan data sekunder. Bagaimana memperoleh data sekunder tersebut? Jawabnya adalah interview dan dialog tatap muka langsung kepada pelaku, komunitas pelaku ataupun mantan pelaku. Siapa saja mereka itu? Mereka adalah teroris di dalam tahanan, mantan teroris yang telah selesai menjalani hukuman (mantan napi), keluarganya, dan komunitasnya.

Apakah itu mudah dilakukan? Sangat sulit. Individu dari kelompok radikal, sekalipun sudah tidak aktif dalam kelompoknya mereka sangat peka terhadap kehadiran orang luar (out group). Pertanyaan  dan statemen sensitif seputar ideologi akan senantiasa dihindari. Untuk mendekati orang dalam kelompok tanzim ziry seperti itu memerlukan waktu panjang, kesabaran dan teknis tertentu.

Adalah bohong besar kalau ada pengamat yang sekali bertemu langsung mendapatkan informasi lengkap. Pendekatan emosional personal sangat diperlukan. Membangun empati dan simpati adalah prasyarat penting walau hanya sekedar untuk berdialog.  Gelar akademis, pangkat dan jabatan ataupun media populer tidaklah membuat kelompok radikal tunduk dan mau diajak bertemu. Apalagi berdialog.

Penulis pernah menginformasikan  bahwa ada tiga komponen penting yang dapat diandalkan dalam menghadapi  kelompok atau individu radikal. Pertama;  ulama tertentu yang terpilih. Ulama yang sangat terkenal saja belum tentu menjamin bisa diterima kelompok radikalis. Kedua; mantan teroris yang dengan dasar kesadaran atas kekeliruan pada masa lalu telah kembali ke ideologi negara yang biasa kita sebut  “insider”. Ketiga; aparat yang sudah berinteraksi lama dan berkomunikasi yang konstruktif saat teroris tersebut ditangkap dan menjalani proses peradilan pidana sampai keluar ia penjara di mana aparat tersebut masih senantiasa berhubungan. Intinya, mereka sangat peka.

Pernah suatu waktu mantan tokoh senior jaringan teroris bercerita kepada penulis bahwa dia telah didatangi seorang akademisi, namun dia tolak mentah mentah.  Artinya kajian dan analisa tanpa didukung oleh fakta dan testimoni dalam wawancara adalah sebuah kekeliruan. Sebagian besar teroris atau mantan teroris alergi untuk diwawancarai. Apalagi untuk tujuan akademis dan pemberitaan.

Ada beberapa kasus yang menjadi catatan Penulis tentang penolakan mantan teroris untuk bertemu dengan pengamat. Di Bekasi kala salah seorang tokoh senior didatangi dalam rangka penyelesaian program pasca sarjana. Kunjungan di sebuah Lapas di Jawa Timur yang berbuntut pada permasalahan hukum. Begitupun untuk wawancara media. Tahanan teroris di semarang, Makasar, Cirebon adalah sebagian contoh di mana awak media mencoba bertemu untuk sebuah pemberitaan eklusif, tetapi ditolak.

Sangat sedikit mantan teroris yang mau berbicara bebas di media seperti Ali imron, Khoirul Gozali, Nasir Abas, dan Sufyan Tsauri. Elit pemimpin atau Amir dipastikan tidak mau terekpose media. Alasannya supaya tidak membuka luka dan aib lama. Penulis pernah menanyakan pada tokoh senior JI yang sudah bebas menjalani hukuman yang tinggal di Bekasi, tokoh eks Pejuang Wakalah Solo dan Poso, serta yang masih di dalam penjara seperti di Lapas semarang, Sidoarjo, dan Medan, Jambi dan tokoh teroris remaja di lapas Makasar.

Penulis berusaha bertanya kepada mereka apakah pernah diwancarai oleh pengamat yang sering tampil di tv dan media? Apakah bersedia diwawancarai? Hampir sama disemua tempat mereka  menyatakan “tidak pernah” serta”  tidak bersedia”. Kemudian timbul pertanyaan kritisnya, bagaimana Penulis bisa berkomunikasi dengan hangat dan erat? Jawabnya sederhana – yaitu karena penulis berinteraksi dengan mereka dalam kurun waktu yang cukup lama. Penulis sudah berinteraksi dengan sebagian besar pelaku di seluruh  Indonesia yaitu; pasca penyelidikan atau penangkapan,   saat program Deradikalisasi Densus 88 dan sekarang deradikalisasi dan kontra radikalisasi yang dilaksanakan oleh BNPT.

Hubungan emosional telah terbangun sejak tahun 2007 sampai saat ini. Dengan pertemuan yang sangat intens, mereka tidak pernah lagi menganggap Penulis sebagai out group atau aparat yang “thogut ” seperti saat penulis dilibatkan dalam proses penegakan hukum dulu. Artinya apa? Untuk mengenal kondisi psikologis dan akar masalah terorisme diperlukan kontak verbal dan komunikasi yang intensif. Tulisan, Kajian, analisa yang kemudian jadi dijadikan obyek berita tanpa pendalaman dialog kontak verbal terhadap pelaku dan tokoh secara langsung akan melahirkan kesimpulan yang keliru dan dapat menyesatkan masyarakat dengan informasi yang akurasinya sangat rendah. Bahkan informasi tersebut akan melahirkan kekurangpercayaan masyarakat terhadap langkah-langkah strategi negara.

Memahami  Tujuan dan Cita-cita Teroris.

Tidak sedikit masyarakat yang keliru dalam menganggap kelompok teroris adalah kumpulan orang gila. Orang-orang yang memiliki IQ rendah, orang-orang bodoh, orang yang memiliki kepribadian anti sosial atau orang yang secara psikologis sakit. Sebaliknya sangat sedikit orang yang menilai bahwa kelompok teroris itu adalah kumpulan orang-orang yang hebat, kuat, bermental baja. Coba bayangkan orang yang minim pendidikan formal ternyata mampu membuat dan merangkai bom  dengan hitungan formula kimia yang  rumit.  Padahal mereka tidak pernah belajar kimia dan fisika secara spesifik.

Bagaimana mereka bisa mengkoneksikan perintah daring menggunakan forum dan  group messenger pada dawai komunikasi. Komunikasi mereka mampu diikuti oleh jaringan regional dan global. Bahkan ada di antara yang mereka yang piawai menggunakan broser web. Menjelajah dunia gelap maya dengan Tor (onion ruter) untuk menggerakkan organisasi dan pengadaan persenjataan gelap via darkweb. Ditemukan pula  betapa seorang anak muda ternyata mampu melakukan pengeboman sebuah mall di Jakarta hanya karena tuntutannya untuk memasukan sejumlah bitcoin dalam waletnya tidak dipenuhi.

Apakah mereka kumpulan orang-orang bodoh? Apakah karena berani mati untuk sebuah tujuan ideologi kita sebut gila? Penulis kira tidak. Penulis berpendapat sebaliknya bahwa mereka adalah kelompok orang yang cerdas.  Mereka orang-orang yang sangat kuat keyakinan dan kuat pendiriannya. Mereka direkrut oleh sebuah jaringan tamzim ziri (sel tertutup ) kemudian mereka membentuk sebuah pemahaman tentang hal yang diyakini sebagai kebenaran (padahal secara syar’i nyata sesat). Orang yang berbeda ideologi mereka katakan kafirin. Orang yang seideologi namun berbeda aliran mereka sebut murtadin. Murtadin dan kafirin adalah musuh yang wajib diperangi.

Cita-cita teroris adalah merubah ideologi negara melalui perang (qital). Perang adalah satu-satunya cara dan jalan untuk memperoleh kebenaran dalam mengalahkan ideologi negara. Dalam perang, meninggal adalah kehormatan dengan status suhada.  Pertanyaannya sederhana timbul, bukankah syarat perang adalah adanya musuh yang memiliki kekuatan bersenjata? Gunman to gunman? To kill or to be killed?

Bagi teroris, musuh yang harus diperangi adalah aparat negara dan representasi asing. Korban tidak menjadi persoalan penting. Masyarakat yang dalam susana damai, tidak bersenjata, sedang berbelanja di mall, sedang minum kopi dan aktifitas lainnya hanya dianggap ekses perang teroris terhadap ideologi negara. Bagi mereka, masyarakat akhirnya dianggap pro musuh karena menggunakan ideologi haram negara. Cara memerangi mereka salah satunya adalah bunuh diri. Mati dengan bunuh diri dianggap sangat sahid. Artinya mati bagi teroris adalah tujuan. Mati adalah cara untuk memperoleh status suhada demi sebuah idiologi.  Dengan mati akan terbuka pintu surga sebagai imbalan baginya, termasuk 72 bidadari.

Itulah tujuan teroris yang diajarkan oleh guru mereka. Ajaran yang tidak boleh dilanggar dan ditinggalkan. Tinggallah masyarakat tak berdosa yang mereka kategorikan sebagai kumpulan kafirin dan murtadin yang terkorban. Mereka merasa bangga dengan ideologi yang mereka usung. Mereka merasa benar di tengah kesesatan.

Pendekatan Lunak  Multi Dimensi

Setelah kita memahami bahwa yang dicari oleh teroris adalah kematian dalam status suhada, kita semakin tahu bahwa mereka bukanlah takut akan kematian. Demi aqidah yang diyakini sebagai kebenaran mutlak justru kematianlah yang mereka cari. Untuk menegakan keyakinan, mati dengan meledakan diri sendiripun mereka lakukan. Mari kita bandingkan dengan kasus kejahatan narkotika. Mereka sangat menghindari kematian. Apapun akan dilakukan demi kemewahan. Berapapun akan mereka bayar untuk bertahan tetap hidup dan bebas.

Dalam kacamata ini dapat kita pahami bahwa sebenarnya kejahatan terorisme merupakan kejahatan luar biasa yang meniscayakan pendekatan berbeda. Para pelaku menyadari tindakannya sebagai sebuah kebenaran dan kematian dan hukuman bagi mereka bukan sesuatu yang akan membuat mereka ketakutan. Mereka tidak sedang mencari kemewahan di dunia, tetapi mereka terbuai dengan impian kebahagiaan lain. Lalu, bagaimana menghadapi kejahatan seperti itu?

Pertama; sesulit apapun membangun komunikasi, jurnalis media, pengamat dan aparat harus mencari peluang kontak verbal. Biasanya dengan keuletan dan pendekatan personal, kultur dan ideologis, pelan tapi pasti mereka akan membuka diri. Sikap emphati dan simpati adalah hal mendasar. Apabila sudah terbangun komunikasi (misalnya dengan napi), pertemuan dialog harus dilakukan secara intensif dan dilakukan dengan kunjungan dan besuk rutin.

Kedua;  saat komunikasi terbangun, komunikasi dengan keluarganya pun harus turut kita bangun. Tingkat kesulitan membangun komunikasi dengan keluarga adalah sama sulitnya dengan napi.  Namun biasanya bila di dalam penjara sudah terbuka komunikasi,  keluarganya pun akan lebih terbuka.

Ketiga; posisi kita yang paling baik adalah sebagai pendengar. Jangan sekali-kali kita membantah apa lagi debat kusir. Argumen yang tidak produktif akan menghilangkan ruang komunikasi yang konstruktif.

Keempat; cari pendamping yang tepat di antaranya ulama yang bisa diterima dalam kelompok, mantan teroris yang telah bertobat atau dari kalangan yang dianggap tidak membahayakan mereka.

Kelima; tentukan target capaian yang ingin kita capai. Termasuk di antaranya menggali keterangan jaringan dan target. Membuatnya kembali setia kepada idiologi negara adalah hal yang paling penting (investigative measure dan non radical measure).

Keenam;  carikan solusi alternatif pasca dia menjalani hukuman utamanya di bidang ekonomi, kesehatan dan sosial. Problem yang tidak kalah pentingnya dalam program deradikalisasi adalah pembinaan pasca keluar tahanan. Masa ini sangat krusial dan menuntut perhatian ganda dibandingkan dengan program di dalam lapas.

Ketujuh ; tidak boleh bosan dan harus ulet. Keterampilan komunikasi itu penting, tetapi menjaga kesinambungan komunikasi informal dalam menghadapi napi dan mantan teroris itu lebih penting.

Dengan begitu kita memahami betul akar masalah (root causes) mengapa dia terseret dalam komunitas radikal. Akan diketahui juga perjalanan pergerakan kelompok radikal. Dan tidak akan terjadi lagi  pengamat dan media membuat berita asal menarik dibaca publik dan potong kompas seolah menghadirkan fakta yang sebenarnya tetapi justru menghilangkan subtansinya.

Semoga bermanfaat