Memutus Narasi Radikalisme-Terorisme di Yogyakarta

Radikalisme sejatinya telah menghinggapi sebagian orang di Indonesia sejak lama, bahkan mungkin sejak indonesia belum merdeka, namun saat itu sifatnya masih sembunyi-sembunyi. Radikalisme baru mulai tampak dipermukaan ketika reformasi telah berhasil ditegakkan, hal ini ditandai dengan peledakan bom di Atrium Senen, Jakarta. Sejak itu tercatat berbagai tindak radikalisme-terorisme yang menjadi warna suram dalam perjalanan bangsa ini.

Ratusan korban telah berjatuhan akibat aksi tidak berperikemanusiaan yang dilakukan oleh gerombolan orang yang mengamalkan agama dengan cara kekerasan. Pola keberagamaan seolah telah mengalami pergeseran, agama mulai kerap digaungkan dengan sumpah serapah dan kecenderungan untuk memandang kelompok lain yang berbeda pandangan sebagai kelompok yang salah.

Hal ini tentu mengkhawatirkan, karena di Indonesia agama sejatinya tidak pernah berdiri sendirian sebagai entitas tunggal. Karenanya agama tidak pernah menjadi ‘barang asing’ di negeri ini lantaran selalu berdampingan dengan budaya dan tradisi masyarakat. Gerakan radikalisme merupakan upaya untuk memisahkan hubungan antara agama dan negara. Melalui radikalisme-terorisme,gerombolan ini mengajak masyarakat untuk menjalankan agama dengan menghancurkan negara.

Generasi muda, terutama kalangan pelajar/mahasiswa, kerap disasar untuk dijadikan target utama perekrutan anggota. Otak generasi muda ini disesaki dengan hasutan-hasutan yang membuat mereka tidak lagi segan untuk melakukan kekerasan.

Sebagai salah satu kota pelajar terbesar di Indonesia, Yogyakarta diketahui menyimpan benih-benih intoleransi yang dibawa masuk oleh orang-orang yang tidak bertanggujawab untuk kemudian disebar dan dijejalkan kepada pelajar dan mahasiswa yang membludak jumlahnya di Yogyakarta. Hasil penelitian yang dilakukan oleh BNPT dan FKPT DIY pada 2013 lalu menunjukkan potensi radikalisme di Yogyakarta telah menjadi momok yang menakutkan, karena benih-benih ini dapat pecah kapan saja dalam bentuk aksi kekerasan hingga terorisme.

Yogyakarta yang dulu dikenal sebagai kota toleransi mulai mengalami pergeseran, beberapa pengamat menyatakan bahwa toleransi di kota ini mulai sarat dengan berbagai kepentingan. Mereka menyebutnya ‘toleransi bersyarat’ atau lazy tolerance, hal ini disebabkan oleh semakin menguatnya sentimentasi terhadap penerimaan golongan lain (liyan) yang tidak lagi terbuka seperti sebelumnya. Penekanan terhadap golongan “Kita” dan golongan “Mereka” makin menguat.

Bentuk radikalisme yang ada di Yogyakarta ditunjukkan melalui adanya keyakinan sejumlah pihak yang menyatakan bahwa berbagai keterpurukan yang menimpa bangsa ini disebabkan oleh pengamalan Islam yang tidak total (kaffah). Wacana tidak berdasar dan terkesan mengada-ada ini dijadikan senjata untuk menghasut warga agar bersedia melakukan berbagai cara dalam mendirikan syariat Islam (tentu saja Islam versi mereka).

Namun untungnya, hasil penelitian yang sama juga menunjukkan bahwa narasi radikalisme sebenarnya mengalami kesulitan dalam melakukan penetrasi di masyarakat Yogyakarta, terutama dikarenakan kondisi sosio-kultural masyarakatnya yang kalem dan sangat menghindari kekerasan. Meski demikian tidak berarti bahwa gerombolan penggila kekerasan ini menyerah begitu saja, mereka melakukan berbagai cara untuk membuat Yogyakarta jauh dari aman.

Negara tentu tidak akan tinggal diam dengan ulah para radikalis-teroris ini, karenanya  hari ini Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) kembali menyambangi Yogyakarta untuk berjumpa dan berdialog bersama sekitar 250 orang yang merupakan tokoh pemuda dan perempuan lintas organisasi dan profesi yang tersebar di 4 kabupaten dan 1 kota madya DI Yogyakarta.

Kegiatan yang diselenggarakan atas kerjasama BNPT dengan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) DIY ini mengangkat tema “Penguatan Keluarga dalam Pencegahan Terorisme dan Radikalisme”. Narasumber yang hadir dalam kegiatan ini antara lain Kolonel Dadang Indrayuda (BNPT); Dr Muhtasar Samsuddin (Dekan Fakultas Filsafat UGM, peneliti Terorisme dan Radikalisme); Alisa Wahid (pegiat toleransi dan intelektual muda NU); serta KH Abdul Muhaimin (Ketua FKPT DIY dan pegiat kerukunan umat beragama).

Bertempat di Convention Hall UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, kegiatan yang telah dimulai sejak pukul 8.00 WIB pagi tadi akan terus berlanjut hingga pukul 17.00 WIB sore ini. BNPT sengaja memilih tema keluarga karena keluarga adalah institusi sosial terdekat bagi generasi muda, sehingga dapat menjadi benteng sosial yang tangguh dalam membendung berkembangnya narasi dan aksi terorisme, radikalisme, dan ekstremisme.