Memahami Strategi Perang Siber ISIS

(Case Study United Cyber Caliphate (UCC) ISIS)

–Bagian 1–

Meredamnya berita-berita seputar ulah kelompok teroris internasional ISIS di media-media belakangan ini, baik nasional maupun internasional, tentu menjadi pertanda bagus. Masyarakat tidak lagi disuguhi dengan aksi-aksi propaganda kejam kelompok teroris asal Irak dan Suriah itu.  Meski begitu, tidak adanya berita soal ISIS memang bukan lantas berarti kelompok bengal tersebut telah mati, tetapi [aling tidak, berkurangnya aktifitas mereka menjadi penanda kuat bahwa gerombolan pimpinan Abu Bakar al Baghdadi tersebut tengah mengalami kemerosotan.

Kabar terbaru bahkan menyebut ISIS mulai kewalahan di dunia maya; dunia yang selama ini mereka gunakan sebagai corong utama dalam penyebaran paham dan ajakan untuk melakukan kekerasan. Adalah IDC Herzliya International Institute for Counter-Terrorism’s (ICT) cyberdesk yang mengungkapkan hal itu. Dalam laporannya, ICT menyebut ISIS mulai menggeser target serangan; tak lagi fokus pada hatespeech, tetapi serangan langsung ke pusat-pusat infrastruktur, utamanya yang berada di negara-negara Barat. Untuk melakukannya, ISIS mengaktifkan kembali pasukan siber mereka di bawah bendera United Cyber Caliphate (UCC) yang kini berisi hacker dari kalangan perempuan pula.

Laporan ICT juga menyebut ISIS menyediakan online support yang dijuluki Al Anshar Bank, tugas utamanya adalah membantu membuatkan akun-akun baru untuk anggota ISIS yang akun onlinenya telah ditutup atau dihapus oleh provider. Meski terkesan bergerak lambat, beberapa platform penyedia layanan daring seperti Facebook, Twitter dan Instagram diketahui memang mulai aktif menutup akun-akun yang mereka anggap menyebarkan konten bermuatan kekerasan. Facebook bahkan membentuk sejenis satgas khusus yang bertugas mencari dan membekukan akun-akun dengan konten radikal.

Akibatnya, banyak akun dengan muatan radikal diblok dari jagad dunia maya. Kelompok penggerus dunia maya seperti ISIS tentu merasakan dampak yang luar biasa dari kebijakan ini, karenanya mereka berusaha menemukan cara untuk tetap bisa menebar kebencian; hal terbaik yang bisa mereka kerjakan.

Dari Cyber Propaganda Menuju Cyber Attack

Hingga 2017, kelompok ISIS diketahui memiliki aktifitas propaganda yang begitu amsih di dunia maya. Laporan dari ICT bahkan menunjukkan fakta kelompok ISIS yang mengimpor elements of Western pop culture. Selain dimaksudkan untuk menyamarkan tujuan asli mereka, elemen Barat ditujukan untuk menarik calon-calon pengikut dari dunia Barat.

Namun setelah menelan kekalahan telak, dengan kehilangan kendali atas kota Raqqa pada Oktober 2017, ISIS mulai kehilangan pamor pula di dunia maya. Saat itu, ISIS tampaknya akan bangkrut dan gulung tikar dengan segera. Namun fakta berkata lain, keterpurukan ISIS hanya bertahan sementara. Laporan ICT menyebut ISIS segera membangun basis kekuatan baru, dan hal itu diawali dari ruang media. Di mana mereka melakukan rehabilitasi di system media mereka dan membangun konsolidasi dengan jaringan-jaringan media yang mereka miliki untuk kembali merebut perhatian netizen.

Sasaran utama dari cyberpropaganda adalah kalangan Muslim kelas menengah, utamanya yang tumbuh besar di negara-negara Barat. Dengan menjalankan cyberpropaganda, ISIS tak perlu jauh-jauh mendatangi mereka di Barat, mereka lah –kelompok sasaran—yang akan mendatangi ISIS; tak selalu dengan cara menempuh perjalanan jauh ke Irak dan Suriah, tetapi juga dengan cara menjadi lone wolf dengan melakukan aksi teror di manapun mereka berada.

Cara ini memang tampak efektif bagi ISIS. Banyak anak-anak muda Muslim yang berubah menjadi teroris hanya dalam waktu yang sangat cepat. ISIS pun sempat merasa jumawa dengan keberhasilan strategi ini. mereka boleh saja kalah dan dipermalukan di tempat asal mereka, Irak dan Suriah, tetapi ajaran dan semangatnya untuk membuat kehancuran telah diadopsi banyak orang di banyak tempat. (Bersambung)