Memahami Radikalisasi sebagai Proses Sosial (Bagian. 1)

Tak bisa dipungkiri bahwa sejatinya terorisme merupakan proses kristalisasi dari benih-benih radikalisme yang dibiarkan tumbuh subur. Membiarkan radikalisme berkeliaran dengan narasi-narasi yang menyesatkan masyarakat sama halnya membiarkan bom waktu terorisme berkembang tanpa kendali. Namun, hal menarik yang perlu kita cermati bahwa proses radikalisasi tidak tunggal. Ada banyak faktor yang menyebabkan seseorang menjadi radikal. Karena itulah dalam tulisan ini saya menegaskan dengan postulat awal bahwa radikalisasi merupakan proses sosial.

Sebagai proses sosial, radikalisasi sejatinya merupakan konstruksi sosial yang melibatkan banyak faktor dan aktor sosial. Semata faktor saja tidak cukup, begitu pula semata aktor saja belum memadai. Hadirnya aktor sosial yang membidani proses radikalisasi harus pula disertai dengan hadirnya faktor-faktor sosial yang mengakselerasi proses radikalisasi. Aktor sosial, katakanlah kelompok dan jaringan terorisme, tidak akan pernah berhasil jika masyarakat tidak memiliki faktor-faktor kerentanan sosial. Faktor kerentanan itu bisa banyak macamnya seperti balas dendam, kemiskinan, pendidikan, budaya dan lainnya.

Sebelum penulis mengurai tentang proses radikalisasi, hal terpenting untuk memberikan background dalam tulisan ini adalah memahami sejarah radikalisasi di Indonesia. Saya ingin mengatakan bahwa proses radikalisasi di Indonesia cukup unik. Unik dalam hal ini mengimplikasikan ada perbedaan dengan proses radikalisasi di negara-negara lain.

Melirik Radikalisme di Indonesia

Ibarat membuka sebuah buku hikayat dan sastra, membuka halaman, menelusuri alenia dan bab  secara urut merupakan suatu keharusan. Tidak mungkin seseorang yang membaca halaman tengah langsung mendadak paham jika langsung pada bab penutup.  Data dan fakta harus didapat secara utuh sesuai dengan alur dan tata urut ceritanya bila ingin mendapat esensi isi secara utuh. Begitupun dalam memahami radikalisme di Indonesia.

Ditinjau dari pendekatan sejarah terorisme di Indonesia, sejak Indonesia merdeka tahun 1945 sesungguhnya ada tiga kelompok kekerasan radikalisme yang pernah terjadi di Indonesia.  Pertama; kelompok separatis yang berkeinginan memisahkan diri dari NKRI  dengan cara melakukan pemberontakan di berbagai daerah. Kedua;  kelompok Ideolog yaitu  kelompok yang melakukan pemaksaan ideologi agama sebagai pengganti Ideologi Negara  Pancasila. Dan ketiga;  kelompok dengan motif kriminal umum.

Ketiga kelompok radikalis kekerasan tersebut telah mewarnai sejarah radikalisme domestik Indonesia dan telah menyumbangkan tools pemecah belah kesatuan bangsa. Ideologi Negara yang sejatinya menjadi alat perekat dan pemersatu segenap elemen bangsa, ternyata belum dijadikan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara oleh seluruh masyarakat. Tidak jarang pula konflik yang sangat domestik dan lokal, seperti pertikaian kecil antar pemeluk agama kemudian melahirkan solidaritas agama dan fanatisme yang kaku  yang seterusnya  menjalar, kian meluas, dan menjadi konflik nasional.

Ada pula penyusupan kelompok prominent radikal pada komunitas damai yang bertikai, misalnya  dalam kasus Ambon dan Poso. Kasus yang semula merupakan konflik antar individu di tengah komunitas yang selama ini damai, yang secara kebetulan berbeda agama, kemudian berkembang, melebar dan menjadi konflik antar kampung, dan terus meluas sampai ke tingkat Kabupaten. Pada akhirnya secara massif konflik tersebut meluas menjadi konflik nasional.

Kelompok radikal terorisme atau kelompok radikal agama pro kekerasan, masuk ke “capital conflict”  dengan  alasan kausalitas dan solidaritas agama yang tertindas. Kelompok yang sebelumnya tidur tiarap “hybernate cell” kemudian melakukan aktifitas amaliah dengan menggandeng LSM dan ormas keagamaan. Sementara di sisi lain kelompok “prominent inti” mencoba masuk ke pusaran konflik agama tersebut melalui proses “marriage system” yakni dengan mengawini anak tokoh agama atau tokoh masyarakat yang berpengaruh di sekitar pusaran konflik. Akibatnya masyarakat terseret dalam arus solidaritas sempit keagamaan yang pro kekerasan itu. Konflik pun semakin membesar, sulit dipadamkan dan tanpa bisa dihindari mengakibatkan pertumpahan darah.

Alasan balas dendam dan solidaritas sempit keagamaan telah mewujud dalam aksi kekerasan. Masih kita ingat betapa serangan masif dilakukan terhadap berbagai tempat ibadah. Sedikitnya ada 38 gereja yang diledakkan pada malam Natal dan Tahun baru pada tahun 2000 yang diledakkan yang justru tidak  pada “capital conflict”. Ada pula konflik yang sebetulnya bukan konflik antar agama, tetapi dijadikan simbol pembenaran ajang balas dendam dan radikalisme, seperti konflik antar suku dayak dan Madura di Kalimantan yang menjadi sarana provokasi kelompok teroris.

Hampir sebagian besar propaganda dan provokasi kelompok teroris menjadikan video kekerasan pembantaian antar suku tersebut sebagai bagian dari isu perang agama. Digambarkan bahwa kelompok agama lain memenggal kepala masyarakat Islam. Padahal yang benar adalah saling penggal kepala antara Etnis Dayak dan Etnis Madura pada awal tahun 1990an. Kekerasan yang berjudul “buyung katedo” tentang poso misalnya, di dalamnya berisi video tentang konflik Dayak dan Madura Kalimantan.  Artinya kelompok teroris akan senantiasa mencari moment dan celah di mana mereka akan mempunyai porsi untuk melakukan amaliah dalam rangka menanamkan ideologinya.

Proses Radikalisasi : Dari rangkaian Kata-kata hingga Jpeg dan Mpeg

Sangat menarik untuk mencermati dan mempelajari dinamika sejarah radikalisisasi dan proses rekrutmen terorisme di Indonesia. Sejarah panjang terorisme di Indonesia yang dipaparkan sebelumnya akan membuat masyarakat selalu bertanya-tanya; kenapa masih ada orang Indonesia yang menjadi radikal? Kenapa masih ada masyarakat yang mudah tertarik dan terlibat pada dunia kekerasan terorisme? Sebenarnya paham kekerasan terorisme itu menyasar siapa saja? Lalu bagaimana terapi menekan radikalisme?

Pertanyaan-pertanyaan serupa itu selalu ada dan akan dipertanyakan lagi manakala ada kasus terorisme baru. Jawaban pertanyaan tersebut tentu tidak mudah. Butuh jawaban yang tidak eksak seperti kalkulasi hitung tambah matematika satu tambah satu menjadi dua.  Patron sosial, budaya, kebebasan beragama dan etnisitas diyakini sangat mempengaruhi model perekrutan dan proses radikalisasi klasik terorisme di Indonesia. Faktor seperti ketokohan, senioritas, kekerabatan atau keluarga, pertemanan dan tingkat pengehtahuan agama serta lingkungan juga memegang peran penting dalam pola rekrutmen dan proses radikalisasi.

Komunikasi yang mengharuskan kontak verbal yang intens dilakukan melalui dialog keagamaan merupakan cara konvensional yang efektif yang dilaksanakan oleh Al Jamaah al Islamiyah dalam menjaring anggotanya pada masa lalu. Proses seperti tatap muka melalui majlis taklim kecil, pertemuan  berulang secara tertutup yang diakhiri dengan berbai’at merupakan model konvensional dalam proses radikalisasi dan rekrutmen jaringan terorisme. Di situlah pada akhirnya ditemukan peran-peran seperti pendukung, pengikut, dan pelaku amaliah jihadis atau pengantin dengan janji surga atas kematian yang sesungguhnya justru sia-sia.

Berbeda dengan proses masa lalu, hari ini proses radikalisasi kekinian telah mengembangkan cara dan pola rekrutmen dengan menggunakan perangkat komunikasi yang lebih efisien dan sederhana namun efektif. Dengan memanfaatkan penggunaan fitur-fitur dialog dalam forum chatting, forum messenger, facebook, Whatsapp, telegram yang tergelar di sosial media, rekrutmen menjadi lebih mudah dan cepat. Perekrut dan yang direkrut bahkan tidak perlu bertemu dan bertatap muka. Yang ada adalah proses meyakinkan dan meyakini.

 Trust dibangun cukup melalui rangkaian kata-kata, visual dan audio visual. Aplikasi-aplikasinya sangat sederhana bertebaran dan dapat diakses oleh semua generasi, umur dan berbagai level pendidikan. Perkembagan komunikasi digital inilah yang pada akhirnya menjadikan jagat maya menjadi ramai laksana kampung besar “global village“.  Perubahan ini juga yang kemudian disebut “revolusi Komunikasi” yaitu  era komunikasi di mana ideologi bisa dikembangkan melalui tulisan, Jpeg dan Mpeg.

Amaliah Qital dan Perang Asimetris

Merekrut orang normal menjadi radikal memiliki kepentingan dan motif yang sangat beragam.  Bisa  jadi target yang ingin dicapai kelompok radikalis adalah perubahan  sosial,  perubahan politik,  perubahan sistem dan tata hukum, atau bisa juga karena faktor balas dendam. Di Indonesia Al Jamaah Al Islamiyah menjadi contoh menarik dari keinginan kelompok teroris yang ingin menjadikan agama sebagai basis ideologi Negara. Bom Bali pada tahun 2002 dan tahun 2005 misalnya, sangat terkait dengan motif ideologi di mana Bali merupakan destinasi tujuan wisata orang asing (baca: Barat) yang dianggap sebagai bangsa kafir (infidel) yang merupakan musuh Al Jamaah Al Islamiyah yang notabene underbow Al Qaedah saat itu.

Budaya asing di Bali bagi Al jamaah Al Islamiyah dianggap sangat bertentangan dan tidak sesuai dengan ajaran agama dan perjuangan mereka. Bali yang mayoritas penduduknya beragama Hindu selalu ramai dikunjungi wisatawan manca Negara. Mereka membawa budaya kafir seperti mabuk-mabukan, minuman haram, nudist dan seks bebas. Budaya, ideologi  dan perilaku yang tidak sejalan itu harus dilawan dan diperangi dengan gerakan pasukan “tanzim siri” yang akan membuat musuh, para kafir itu, menjadi tunggang langgang karena ketakutan. Merekapun meyakini bahwa ini adalah perintah Allah Swt. Cara yang harus dilakukan adalah serangkaian amaliah qital dengan perang secara asimetrik. Serangan kecil dengan satu ledakan mematikan saja, namun mampu menggetarkan dunia.

Bersambung bagian kedua