Media dan Terorisme di Asia Tenggara Pasca Marawi

Sepinya pemberitaan terorisme di tanah air di satu sisi merupakan hal yang melegakan bagi rasa aman nasional. Namun, di sisi lain dalam aspek pekerjaan penegakan hukum ada tantangan dan pertaruhan berat.  Hal ini sebagaimana Penulis sampaikan dalam tulisan terdahulu yang berjudul “Diam Belum Berarti Damai”, bahwa diamnya kelompok terorisme justru memiliki makna tentang pekerjaan sangat panjang yang belum selesai.

Sangatlah dipahami bahwa penanganan dan memonitor kegiatan terorisme memiliki prinsip bahwa “diam itu bukan berarti mati”, tidak pula berarti punah. Mati bukan berarti habis. Diam dan mati bukan berarti pupus. Aparat penegak hukum dalam memonitor jaringan dan gerakan teroris selalu  menterjemahkan situasi diam seperti sekarang sebagai hibernasi atau tiarap. Diam adalah bagian dari strategi kelompok teror.

Peran media dan Lahirnya Terorisme Baru Pasca Marawi

Masyarakat, teroris dan pemerintah adalah segitiga sama kaki yang posisi posisinya berimbang dalam proses tumbuh dan berkembangnya terorisme. Di titik tengahnya di situ ada Media. Tujuan teroris secara teoritis adalah menciptakan rasa takut dan konflik sosial yang berujung pada harapan terjadinya perubahan ideoligi negara. Tujuan bisa tercapai apabila masyarakat secara meluas menghetahui aktifitas mereka dan pada akhirnya mendukung ideoligi mereka.

Tidak perlu kekuatan dan kuantitas manusia yang besar untuk membuat ketakutan sosial. Perang bagi teroris cukup dilaksanakan dengan sekala kecil, efektif namun berdampak secara nasional, regional dan global. Itulah yang disebut konsep perang asimetrik. Persoalannya bagaimana dampak ketakutan itu bisa dirasakan masyarakat. Bagaimana pemerintah kemudian nampak menjadi lemah. Di situlah diperlukan adanya peran ” Media”.

Serangan terorisme yang dilakukan dengan bom misalnya, diharapkan oleh teroris dapat diketahui oleh masyarakat dan khalayak. Situasi itu serta merta akan melahirkan ketakutan dan kengerian publik.  Melalui sarana apa? Jawabnya ; medialah yang akan menyebarkannya. Nah, apabila sudah tercipta ketakutan yang meluas, masyarakat akan mendorong pemerintah untuk melakukan aksi penanganan, penindakan dan pencegahan terhadap aksi tersebut.

Disinilah berlaku teori “social contract“. Dalam suasana teror seperti itu pemerintah tentu akan melaksanakan berbagai kegiatan secara paralel mulai dari pencegahan, penindakan, penegakan hukum dan langkah strategis lain pasca penindakan. Pekerjaan inipun tidak bisa dilakukan efektif  tanpa peran media. Pemberitaan tentang ketegasan pemerintah dalam menangani terorisme perlu diketahui publik untuk menciptakan rasa aman dan membuat gentar para pelaku juga merupakan strategi yang penting.

Pada titik tersebut, media sangat diperlukan oleh pemerintah. Pemerintah selain melaui humas kementerian dan lembaga tetap menempatkan media pada posisi stategis untuk menyuarakan jaminan rasa aman masyarakat. Pesan yang dikemas dengan baik oleh pemerintah melalui media akan menjadi obat ketakutan sosial. Jaminan ini akan pula menciptakan daya cegah bagi terulangnya kembali aksi teror.

Pemberitaan yang bombastis tentang teror dan  pemberitaan yang berulang tentang persitiwa serta proses fabrikasi dan glorifikasi bertia justru akan menguntungkan teroris. Dalam hal ini media mainstream harus pula diberikan kesadaran sebagai mitra strategis pemerintah dan masyarakat dalam menangkal pengaruh luas terorisme. Media menjadi alat efektif bagi kelompok teroris, tetapi media menjadi alat cegah efektif untuk memangkas penyebaran ketakutan di tengah masyarakat.

Kewaspadaan Pasca Marawi

Secara nasional pasca runtuhnya kekuatan jaringan Abu Sayyaf, kelompok Moute, Bangsa Moro Independent Movement dan kelompok radicalis lain yang tersebar di Filipina selatan,  sebetulnya tidak terlalu memberikan dampak yang signifikan terhadap gerakan jaringan di Indonesia. Persoalan baru muncul  justru dari Induvidu radikal yang berempati terhadap gerakan tersebut. Dari berbagai tangkapan yang dilakukan dalam berbagai operasi oleh otoritas negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia terungkap bahwa radikalisme pro Marawi justru didapat dari proses radikalisasi diri atau self radicalization.

Kelompok dan individu memilih bergabung dalam jaringan Marawi karena pengaruh sosial media. Mereka awalnya bergabung dalam group messenger. Hanya dengan berbekal perangkat gawai sederhana asal digunakan daring dengan  fitur messenger di dalamnya, mereka saling berkirim dan sharing informasi.  Dari lucu-lucuan sampai bisa berpose tentang cara membuat bom. Dari proses sederhana tersebut terbentuklah individu radikal yang bergerak secara mandiri (lone wolf ). Dalam waktu tertentu mereka daring untuk berbagi isu dan topik.

Intinya bahwa kalau pada fase terorisme yang konvensional, proses rekrutment lebih didominasi oleh keterpengaruhan hubungan antar manusia, face to face, dan verbal contact maka kini keterpangaruhan lebih pada kemampuan jelajah daya tarik rekrutmen via daring. Orang tidak harus  perlu bertatap muka dengan guru secara langsung. Inilah yang kemudian disebut sebagai gaya baru terorisme secara global.

Menyikapi situasi terkini khususnya di Asia Tenggata, hal yang harus dilakukan adalah Berkolaborasi. Caranya adalah berbagi informasi tentang jaringan baru yang berkembang  pada masing-masing negara. Apalagi kalau jaringan itu melibatkan negara tetangga lain. Informasi haruslah detail, apabila perlu identitas orang, karena strategi kelompok teroris itu selalu menggunakan nama samaran dan  tidak hanya menggunakan satu nama saja. Apabila diperlukan penting juga untuk menyertakan sarana identifikasi lain seperti informasi geligi dan sidik jari sampai DNA.

Seperti beberapa minggu lalu,Filipina  melansir 22 organisasi baru yang bangkit Pasca Marawi. Tetapi kita tidak menerima satupun identitas dalam konteks organisasi. Hal ini tentu akan mendorong peningkatan kewaspadaan semua negara tetangga, tapi kita tidak mampu menelisik kaitannya dengan Indonesia. Padahal beberapa waktu yang lalu ada beberapa WNI yang ditangkap ketika hendak berangkat ke Marawi.

Hal lain yang harus dilakukan oleh negara kawasan adalah saling memberikan akses kepada negara sahabat untuk mengunjungi tahanan yang ada di negaranya. Terlebih bila tahanan itu adalah berkewargaan Indonesia. Pemberian akses kunjung yang seluas-luasnya bagi Indonesia dalam konteks kepentingan penyelidikan menjadi sangat krusial. Setidaknya, ada dua kepentingan terhadap kunjungan atau besuk serupa itu, yakni dalam rangka investigasi dan interogasi untuk mengetahui dan memetakan jaringan dan dalam rangka mereduksi radikalisme tahanan atau napi sebagai program deradikalisasi.

Karena era sekarang dunia maya mendominasi sistem penyebaran informasi, maka masing-masing negara harus membangun sistem tangkal yang memadai termasuk di antaranya regulasi. Negara tidak perlu ragu lagi menutup laman-laman berisikan konten berbahaya. Pasal-pasal dalam hukum pidana harus ditegakan dalam kompliasinya dengan perbuatan yang potensi melahirkan terorisme.

Pengembangan fungsi penanganan terorisme dan otoritas keuangan harus mulai mencari sistem monitoring terhadap transaksi terinkripsi keuangan, blockchain, dan Bitcoin karena memang belum ada regulasinya. Kita masih ingat kasus bom Alam Sutra di mana pelaku meminta tebusan (ransom money) melalui blockchain.

Selain cryptocurrency, hal lain yang harus dilakukan adalah kita harus ikut menjelajah di dunia maya yang tidak umum dipakai yakni deepweb atau darknet. Kita harus mulai melatih personil yang piawai dan mahir menggunakan mesin pencari web ( broserweb) dengan mekanisme terinkripsi the onion rutor yang memungkin penjelajahan maya secara tersembunyi. Mengapa penting? hampir semua kejahatan serius seperti perdagangan wanita, perdagangan senjata ilegal, obat obatan dan carding dilakukan dalam system ini. Apakah teroris memanfaatkan ini? Jawabnya Iya. Namun kita belum familiar melakukan monitoring mendalam seperti ini.

Hal terpenting yang perlu dilakukan yang lain adalah kegiatan kontra propaganda dan upaya agitasi, kontra hoaks dan kontra radikalisasi melalui media lainnya. Media-media mainstream harus dipenuhi pesan damai yang bernuansakan kontra propaganda dan agitasi serta kontra hoaks. Begitu isu radikalisme dalam bungkus hoaks timbul, langsung segera dibuat kontra narasinya.

Langkah-langkah strategis pemerintah seperti mempertemukan korban dan mantan pelaku teror, testimoni para mantan FTF, berita tentang penjemputan teroris, deradikalisasi dan kontra radikalisasi harus diberitakan terus menerus secara massif. Dengan demikian, ruang gerak para radikalis dan calon radikalis bisa dihambat dan masyarakat yang belum teradikalisasi dapat dicegah secara dini.

Itulah sekedar pandangan seserhana tentang situasi Pasca Marawi dan kesiapsiagaan yang perlu dipikirkan oleh negara-negara di Asia tenggara.

Semoga bermanfaat.

Salam NKRI