Mari Gunakan Medsos Untuk Hal Sinergis dan Edukatif, Jangan Memecah Belah

Jakarta – Hoax telah menjadi ‘senjata’ bagi kaum radikalisme untuk merusak mental dan moral bangsa melalui berita-berita bohong. Tidak hanya itu, hoax bahkan bisa membuat perpecahan antar anak bangsa yang bisa mengganggu persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

“Hoax sudah menyebar dan menimbulkan keresahan di masyarakat. Bahkan banyak keluarga tak harmonis, perkawanan putus, dan terjadi kerusuhan di berbagai daerah akibat ‘termakan’ berita hoax. Karena itu kami mengimbau marilah kita sama-sama menggunakan media sosial (medsos) untuk hal-hal yang sifatnya sinergis dan edukatif, jangan saling memecah belah,” ujar Ketua Masyarakat Indonesia Anti Hoax (MIAH) Septiaji Eko Nugroho di Jakarta, Rabu (25/1/2017).

Seperti diketahui, saat ini bangsa Indonesia tengah menghadapi berbagai macam ancaman. Tidak hanya ancaman terorisme, bangsa Indonesia juga diuji keteguhan sebagai bangsa dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Utamanya seiring dengan pelaksanaan Pilkada serentak yang banyak menimbulkan percikan perbedaan dan perpecahan di tengah masyarakat. Kondisi itulah yang dimanfaatkan, pihak-pihak yang ingin merusak kedamaian Indonesia, dengan membuat berita hoax, baik di media massa, maupun medsos. Ironisnya, masyarakat Indonesia masih rentan dalam menghadapi serangan hoax ini.

Septiaji menjelaskan, meski masih seumur jagung, MIAH sudah melakukan gerakan nasional anti hoax ke seluruh Indonesia. Langkah pertama, MIAH lebih bermain di hulu dari masyarakat ke masyarakat. Gerakan ini lebih banyak gerakan moral untuk menyadarkan masyarakat tentang bagaimana menyikapi keberadaan media dan medsos untuk digunakan secara positif. Kedua mengajarkan dan mengajak masyarakat untuk memahami bahaya penyebaran hoax dari sisi hukum, agama, kesusilaan, dan kesopanan.

Kegiatan di hulu ini lebih banyak melakukan edukasi, literasi, sosialisasi, dan silaturahmi dengan berbagai lembaga pendidikan, ormas, tokoh lintas agama, profesi, budaya, pendidikan. MIAH juga mensinergikan kekuatan relawan dari berbagai daerah untuk bersama menjadi pendorong sebagai duta anti hoax.

Dari sisi hilir, lanjut Septiaji, pemerintah sebenarnya sudah menyuarakan antisipasi hoax ini. MIAH sendiri telah beraudiensi dengan Polri dan diterima langsung Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Diharapkan kedepan, ada sinergi antara Polri dan MIAH untuk mensosialisasikan penyebaran ditinjau dari sisi hukum karena di Indonesia sudah ada KUHP tentang fitnah dan hasut, serta UU ITE Pasal 28 tentang penyebar berita bohong yang menyesatkan. MIAH juga telah bertemu dengan Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) Rudiantara. Kedepan MIAH dan Kemenkominfo akan bersinergi untuk memberi masukan ke kementerian tentang kelemahan-kelemahan yang harus diperbaiki.

Menurutnya, hoax ini menyebar karena banyaknya akun anonim. “Kami ingin dari pemerintah dalam hal ini Kominfo minimal bisa meminta dan memberikan ketegasan operator agar tidak menjual kartu perdana tanpa identitas yang jelas. Saat ini sudah ada mekanisme tapi kenyataanya masih ada yang bisa mendapatkan kartu perdana tanpa memberikan identitas. Ini masalah awal yang harus ditangani pemerintah,” terang Septiaji.

Kedua, lanjut Septiaji, pemerintah harus berani menekan penyedia media sosial seperti facebook, google, twitter, instagram, untuk serius menangani konten yang menyesatkan. Seperti di Jerman, sudah ada rancangan undang-undang untuk mendenda berita hoax di media sosial dengan ancaman denda Rp7 miliar.

MIAH juga telah beraudiensi dengan Wantimpres. “Kami berharap bisa sinergi dengan Kemendikbud dan Kemenag untuk memasukkan konten-konten bagaimana bermedsos secara positif dan menghindari hoax melalui kurikulum pendidikan. Kedua kementerian itu kami rangkul karena memiliki jaringan ke sekolah dan madrasah, dan mungkin jaringan ke pendakwah besar. Kami juga mencoba kolaborasi dengan komunitas NU, Muhammadiyah, dan hobi untuk sama-sama menyuarakan isu ini,” terang Septiaji.

Sejauh ini, MIAH di berbagai daerah telah melakukan deklarasi anti hoax. Di awali Solo, 11 Desember, kemudian deklarasi digelar serentak di Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang, Solo, Wonosobo, 8 Januari, diikuti Yogyakarta, Batam, 22 Januari, juga Tuban, Bogor, Purwakarta.

“Gerakan kami lebih banyak literasi, membaca, dan menulis di medsos supaya masyarakat tidak main share, tanpa tahu berita itu benar atau tidak, tapi bisa memilah mana berita benar, mana yang tidak. Kalau bisa masyarakat bisa mengambil informasi dari berita itu untuk membuat tulisan lagi yang menginspirasi,” pungkas Septiaji.