Maluku Utara masih bebas dari radikalisme dan terorisme

Sebagai povinsi yang dihuni masyarakat yang cukup plural, Maluku Utara hingga saat ini masih dapat dikatakan bebas dari penyebaran paham radikalisme dan terorisme, meski di sisi lain potensi munculnya paham yang mengusung ajaran kekerasan itu masih tetap ada. Hal ini disampaikan oleh Dr. Nam Rumkel, S.Ag., M.H. dalam diskusi panel pada dialog pencegahan radikalisme dan terorisme bagi tokoh agama di provinsi Maluku Utara hari ini (Minggu, 18 Oktober 2015) di Ternate.

Potensi munculnya radikalisme di Maluku Utara dimulai dengan kekhawatiran pemahaman yang berbeda tentang agama akibat adanya 3 aliran baru yang sedang berkembang di Malut, khususnya di kabupaten Morotai. Ketiganya adalah Ahmadiyah, Noci, dan Fotodokuya. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Nam, ketiga aliran baru tersebut membawa ajaran dan melakukan aktifitas yang berbeda dari kepercayaan yang diyakini oleh masyarakat Morotai selama ini.

Ketiga aliran di atas mulai menimbulkan keresahan pada masyarakat lokal, karena selain bukan aliran dari masyarakat lokal (dibawa oleh orang luar), aliran tersebut juga melakukan aktifitas yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Meski demikian, Nam Rumkel yakin bahwa potensi radikalisme tidak akan dapat bertahan lama di Morotai, karena selain pemahaman agama yang kuat,  masyarakat setempat memiliki solidaritas yang sangat kuat dengan mengedepankan nilai-nilai budaya asli Morotai.

Sementara itu  Drs. Ansar Tohe dalam kesempatan yang sama menyatakan bahwa terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan terhadap peradaban yang menjadi ancaman bagi segenap bangsa serta musuh bagi semua agama. Menurutnya, meskipun terorisme selalu disangkut-pautkan dengan agama Islam, namun Islam sejatinya adalah agama yang memberikan keamanan, kenyamanan, ketenangan dan ketenteraman bagi semua makhluknya.

Ia lantas mengutip Hassan Hanafi (2001) yang menyebut paling tidak ada dua sebab untuk kemunculan aksi kekerasan dalam Islam masa kini. Pertama, adanya tekanan rezim politik yang berkuasa, dimana kelompok Islam tertentu tidak mendapat hak kebebasannya untuk berpendapat. Keduia, kegagalan-kegagalan ideologi sekuler rezim yang berkuasa, sehingga kehadiran radikalisme dianggap sebagai alternatif ideologis satu-satunya dalam melawan ketertindasan dan keterpurukan yang disebabkan oleh rezim sekuler. Kelompok ini lantas beranggapan bahwa mereka tidak punya pilihan lain selain melakukan aksi terorisme demi melawan rezim sekular.

Tohe meyakini bahwa Ideologi selamanya tidak akan mati, tidak peduli seberapa besar usaha yang dilakukan untuk menghapusnya dari sejarah manusia. Karenanya ia menekankan pentingnya pendekatan yang humanistik dalam menangangi masalah radikalisme dan terorisme. Pendekatan ini dianggapnya mampu mereduksi atau bahkan mengeliminasi iklim yang menyuburkan paham radikal dan teror.