LPSK Harap PP Pemberian Kompensasi Korban Terorisme Segera Disahkan

Jakarta – Sesuai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme, korban terorisme sekarang juga harus mendapat perhatian pemerintah. Atas dasar itu, diterbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban. Namun sejauh ini, PP itu dalam tahap revisi.

Kondisi ini membuat Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) berharap revisi PP Nomor 7 Tahun 2018 segera disahkan.

“Kita punya harapan yang sama PP ini segera disahkan,” kata Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi melalui video telekonferensi, Selasa (30/6/2020) dikutip dari Kompas.com.

Menurut Edwin, LPSK bersama sejumlah kementerian dan lembaga terkait lainnya sudah membahas draf revisi PP tersebut. Pembahasan terakhir dilakukan pada akhir tahun 2019.

Selain LPSK, pertemuan tersebut juga dihadiri antara lain oleh pihak Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Kementerian Keuangan, Kejaksaan Agung, dan BNPT.

Pada pembahasan itu, salah satu isu yang menjadi perdebatan terkait mekanisme pemberian kompensasi bagi korban peristiwa terorisme yang terjadi setelah UU Nomor 5 Tahun 2018 disahkan.

“Jadi ada pandangan dari Kejagung yang meminta agar pelaksanaan eksekusi kompensasi dilaksanakan setelah putusan dinyatakan berkekuatan hukum tetap,” ucap dia.

Edwin menuturkan, pemberian kompensasi di UU Terorisme tersebut hanya mensyaratkan putusan pengadilan tanpa frase berkekuatan hukum tetap. Setelah Desember 2019, Edwin mengaku belum mendapatkan perkembangan mengenai pembahasan PP.

Maka dari itu, pada Maret 2020, LPSK sempat meminta kepada Wapres Ma’ruf Amin serta Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko agar PP segera disahkan.

“PP sangat penting karena mengatur syarat serta pelaksanaan pemberian kompensasi bagi korban tindak pidana terorisme yang terjadi sebelum UU Nomor 5 Tahun 2018 disahkan,” jelasnya.

Pada Pasal 43L ayat (4) menyebutkan korban masa lalu dapat mengajukan permohonan kompensasi, bantuan medis atau psikologis maksimal tiga tahun sejak UU berlaku. Artinya, waktu yang tersisa hanya sekitar satu tahun hingga Juni 2021 bagi korban masa lalu untuk mengajukan kompensasi.