Kreatifitas Anak Millenial versus Generasi Micin

Kreatifitas Anak Millenial versus Generasi Micin

Sungguh begitu terharu kala mendengarkan seorang anak muda berorasi sambil meneriakkan yel-yel sambil mengusung panji perdamaian.  Pemuda dan pemudi yang baru berumur rata-rata 19an itu berorasi bergantian dalam bahasa Inggris yang begitu fasih.  Mereka mengekspresikan perasaan mereka tanpa ada sekat-sekat birokrasi dan perasaan ewuh pakewuh.

Anak muda ini adalah Duta Damai Dunia Maya yang terdiri dari generasi muda penggiat dunia maya yang dirangkul oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) melalui Pusat Media Damai (PMD) sebagai mitra strategis dalam kontra narasi radikalisme dan promosi perdamaian. Mereka menggunakan bahasa kekinian.  Bahkan, mereka juga mampu memukau para perwakilan kedutaan asing yang diundang untuk mendengarkan orasi anti hoak dan anti radikalisme dalam bingkai media damai BNPT tersebut.

Sekalikali sang orator berhenti, menarik nafas, kemudian memberikan komando yel-yel energetik,  yang serta merta diikuti oleh peserta yang menggema dan membahana seolah-olah ingin memecah gedung.  Mirip koor pada konser paduan suara dengan genre Riang dan semangat.  Ini adalah gambaran apa yang terjadi yang Penulis lihat di Ballroom Hotel Novotel Tangcity dalam rangka kegiatan kontra propaganda PMD BNPT dalam membentuk Duta Damai Dunia Maya dengan menghimpun remaja dari kemampuan bloger, Desain Komunikasi Visual dan  Informasi Teknologi di Tangerang Banten (24/4/2018).

Now dan Generasi Millenial

Sungguh Penulis tidak menyangka. Walaupun sesungguhnya datang agak terlambat pada acara itu dan baru masuk pada orator yang ke empat, namun Penulis sangat menikmati suguhan orasi-orasi kreatif  itu. Pada sesi keempat, tepatnya saat baru masuk, Penulis melihat seorang anak muda kurus kucel berkaca mata minus mengatakan; “kenapa rasa kesatuanmu dicabik hanya sekedar karena ada berita bohong yang dishare oleh orang yang sama sekali tidak kau kenal, kemudian saudaramu kau anggap sebagai musuh yang harus kau perangi dan musuhi?”. Kemudian dia meneruskan dengan pertanyaan  “apakah kita begitu bodoh hai pemuda ? Hanya karena berita-berita yang sungguh bohong itu? akan kau bawa kemana bangsa ini? Indonesia ini?”.

Suasana komunikasi satu arah yang  sungguh membuat Penulis terkagum. Sekali lagi,  inilah satu- satunya orasi yang membuat Saya merinding. Anak muda ini dengan ekspresi pidatonya memperlihatkan betapa muaknya mereka dengan berbagai isu bodoh, hoaks dan radikalisme. Mereka katakan-mereka sebagai anak millenial tidak perlu melakukan perlawanan dengan fisik. Kita gunakan kreasi, otak dan narasi.  Kita lakukan kontra narasi daring dengan topik pilihan perlawanan hoaks dan kekerasan.

Tak lupa, para remaja komunitas damai ini juga membuat komik-komik kreatif perdamaian. Dalam tulisan mereka menyesalkan aktifitas “kids zaman now” yang cenderung buruk dan tidak bijak di media sosial  dengan menyebutnya sebagai “generasi micin “. Mereka adalah generasi yang tumbuh dengan kekayaan informasi dan teknologi tetapi tidak disertai dengan kekayaan kapasitas dan kecerdasan dalam menggunakan media sosial. Menjamurnya “budaya sharing sebelum saring” merupakan ciri khas dari generasi micin.

Berbagai kreasi inovatif juga mereka tunjukan dalam tayangan video pendek yang sangat menarik,  artistik dan menggelitik. Sambil mendengarkan, menonton dan menyeruput kopi hangat, Penulis mencoba mencari tulisan dan produk kreatif mereka dalam webs yang telah mereka umumkan melalui para orator.  Melalui dawai telekomonikasi memang Penulis harus akui bahwa perbedaan generasi akan melahirkan perbedaan paham dan pandangan.

Melawan Narasi Kekerasan dengan Bahasa Zaman Now

Kita generasi senior kadang gagal paham. Banyak istilah kekinian yang didapatkan dalam blog mereka yang bermakna olok-olok,  kebodohan dan kekonyolan orang yang percaya hoaks seperti;  sorry I am LOL (Laughing Out Loud) untuk mengekspresikan bahwa dia sedang tertawa terbahak-bahak atas ketololan persepsi yang nyinyir tentang hoaks.  Atau dia merasa sedang menertawakan sesuatu yg super lucu atas sebagai tanggapan terhadap kekonyolan kelompok radikal yang mau bunuh diri. Dia katakan;   Kawan, I am ROTFL (Rolling on The Floor ) yang bermakna dia sampai guling-guling di lantai sangking lucunya. Sungguh bacaan yang lucu, realistis dan konstruktif.

Kemudian Penulis mencoba membaca webs lain. Di situ kembali ditemukan kelompok anak muda yang saling mentwit atas berbagai tanggapan. Kental sekali di situ Penulis melihat bahwasanya ada beberapa kritik yang tidak berdasar atas kebijaksanaan pemerintah yang belum mereka pahami  secara benar.  Ada yang membuat meme plesetan tentang pejabat negara. Ada pula yang mengungkapkan perasaan galau atas situasi politik. Adapula yang menjurus dan menyerempat ke arah pornografi. Ada pula yang mengekpresikan perasaan intoleransi terhadap etnik dll.

Itulah gambaran model komunikasi anak millenial. Ketika Penulis mencoba masuk ke dunia mereka menjadi warganet kumpulan bloger yang saat itu sedang mengikuti kegiatan Duta Damai Dunia Maya BNPT, hal yang membuat Saya bangga adalah anak-anak muda yang berada di hadapanku saat itu bukanlah kelompok hoakers. Mereka adalah pembenci dan orang yang muak terhadap intoleransi dan radikalisme. Dan mereka melakukan perlawanan terhadap isu negatif itu.

Dunia maya di tangan mereka bukanlah sarana untuk mensuarakan kebencian. Dunia maya di tangan mereka bukan arena saling menghasut, menghujat, mencaci maki apalagi mengajak kekerasan. Media maya dalam pandangan mereka adalah arena permainan yang menyehatkan dan mencerdaskan. Dunia maya bagi Duta Damai Dunia Maya BNPT adalah ruang kontestasi baru untuk menangkal berbagai isu dan konten negatif. Kontestasi itu mereka lakukan dengan gaya dan kreasi bahasa sesuai generasi mereka.

Ayolah anak-anak millenial zaman now, Kita lawan generasi micin ini.