Korban Tindakan Orang Tuanya, Anak Pelaku Terorisme Harus Dibina

Jakarta – Anak para pelaku terorisme merupakan korban sehingga harus dibina. Penegasan itu disampaikan Asisten Deputi Bidang Perlindungan Anak dalam Kondisi Khusus Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Elvi Hendrani.

“Mereka sebenarnya tidak terlibat dalam aksi teror, tetapi merupakan anak dari pelaku. Maka mereka akan sulit diterima kembali di masyarakat. Anak pelaku tindak terorisme merupakan korban harus dibina,” ujar Elvi dikutip dari situs Kemen PPPA, Rabu (21/4/2021).

“Seringkali mereka dianggap sebagai manusia tak berguna. Bahkan harus berganti identitas agar mendapatkan haknya kembali,” lanjut dia.

Ia mengatakan, anak-anak korban terorisme harus tetap dilindungi oleh negara. Mereka juga harus diberikan edukasi tentang pendidikan, ideologi, dan nilai nasionalisme. Kemudian konseling tentang bahaya terorisme, rehabilitasi sosial, dan pendampingan sosial. Hal tersebut sesuai amanat Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

“Untuk menjalankan tugas tersebut negara tidak bisa bekerja sendiri, diperlukan sinergi dari seluruh pihak bahkan anak itu sendiri untuk bergerak menyelamatkan dan melindungi anak dari ancaman terorisme,” kata dia.

Elvi pun mengingatkan agar semua pihak dapat mengubah cara pandang bahwa masih ada anak-anak yang harus diselamatkan karena mereka adalah generasi penerus bangsa. Baik anak pelaku, anak korban, maupun anak saksi, sesungguhnya adalah korban sehingga stigma yang kejam terhadap mereka harus disingkirkan.

Hal senada disampaikan Direktur Identifikasi dan Sosialisasi Detasemen Khusus (Densus) 88 Polri Moh Djafar Shodiq. Ia mengatakan, anak yang terjerat tindak terorisme merupakan korban dari lingkungan maupun orangtua yang salah.

“Biarpun masuk dalam tatanan unsur perbuatan melawan hukum tapi mereka merupakan korban yang harus diberikan pendekatan secara komprehensif,” kata dia.

Djafar mengatakan, pihaknya telah melakukan langkah terbatas dalam memutus mata rantai generasi terorisme. Antara lain melalui pendekatan humanis dan soft approach terhadap anak, istri maupun keluarga pelaku aksi teror.

“Kami memisahkan anak pelaku dari keluarganya untuk mencegah mereka terpapar paham ekstrem, kemudian memberikan assement pendampingan psikologis, serta menyekolahkan mereka di sekolah dengan pendidikan moderat,” ucap dia.

Dengan demikian maka diharapkan mereka dapat berubah menjadi agen perubahan dari generasi muda yang berpikir moderat dan terlindungi paham radikal dan aksi terorisme.