Korban Terorisme, Literasi Digital dan Sosial Perempuan Harus Terus Ditingkatkan

Jakarta – Akhir-akhir ini kasus terorisme yang terjadi di Indonesia banyak melibatkan kaum perempuan. Kasus bom bunuh diri Surabaya, bom Sibolga, bom panci Bekasi, rencana penyerangan Mako Brimob, dan terakhir penangkapan perempuan terduga teroris di Klaten, menjadi bukti, kaum perempuan telah aktif dalam gerakan kelompok radikal. Fakta itu sangat miris mengingat perempuan seharusnya bisa menjadi seorang ibu yang bisa melindungi keluarga dan ibu pertiwi yang melindungi bangsanya.

Komisioner Komnas Perempuan Siti Khariroh, MA mengakui dalam kurun 10 tahun terakhir, peran perempuan dalam jaringan terorisme mengalami pergeseran. Kalau dulu perempuan lebih banyak berkiprah sebagai pendukung di balik layar seperti peran mendidik anak menjadi teroris baru dan menyembunyikan suami mereka, serta peralatan terorisme, kini perempuan berada di garda terdepan aksi terorisme dengan menjadi martir dan pengantin bom.

“Saya melihat ada proses penggunaan perempuan untuk tujuan terorisme sehingga perempuan kemudian menjadi pelaku. Karena kalau kita lihat profil perempuan yang terjerat terorisme, terutama yang sudah sudah dipidana, kalau kita lihat siklus kehidupannya rata-rata mereka adalah korban, meski faktanya pelaku,” ujar Siti Khariroh di Jakarta, Jumat (22/3/2019).

Menurut Khariroh, ada hal-hal yang menyebabkan perempuan kemudian digunakan sebagai garda terdepan aksi terorisme. Seperti kasus bom panci di Bekasi dengan pelaku seorang perempuan bernama Dian Yulia. Sejak awal dinikahi oleh suami terorisnya melalui nikah online, ia terus mendapatkan doktrin ideologi radikal, termasuk janji-janji masuk surga, termasuk relasi yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan di kelompok jaringan terorisme yang mengharapkan kepatutan mutlak istri terhadap suami, seolah-olah suami adalah wakil Tuhan.

Contoh lainnya, lanjut dia, Umi Delima, istri Santoso (Mujahidin Indonesia Timur/MIT). Ia sebenarnya hanya korban karena sejak dinikahi usia 16 tahun ia terus dicekoki ideologi radikal. Kemudian karena dia memakai cadar, ia tidak diterima di masyarakat sekitar, sehingga ia pun menyusul suaminya ke gunung.

“Dari situ perempuan-perempuan itu mengubah konsep diri mereka, kemudian terjebak, dan ditambah doktrin dari suami dan kelompoknya. Intinya, mesi berada di garda terdepan, perempuan sebenarnya adalah korban dari struktur di jaringan terorisme, yang memang ingin menggunakan perempuan untuk tujuan ideologis, politisdari terorisme itu sendiri,” ungkap Khariroh.

Sebenarnya, lanjut Khariroh, dari beberapa perempuan yang terlibat terorisme, mereka awalnya adalah perempuan yang aktif di masyarakat baik itu di kegiatan sosial maupun pengajian. Namun mereka kemudian menikah, dan ironisnya yang dinikahi bagian dari jaringan terorisme. Dari survei yang pernah dilakukan, 90 persen istri narapidana terorisme (napiter) awalnya tidak tahu tentang terorisme. Mereka baru tahu ketika ada proses penangkapan.

Selama berkeluarga itulah, mereka mendapat pengajaran tentang dominasi laki-laki dalam rumah tangga, ditambah doktrin keagamaan yang diajarkan sangat menglorifikasi peran laki-laki serta doktrin jihad juga Islam yang ditindas.

Namun kondisi itu berubah setelah kejadian bom Sibolga, dimana istri terduga teroris ternyata lebih radikal dibandingkan suaminya. Ia bahkan tidak bersedia menyerah dan memilih meledakkan diri di dalam rumah bersama anaknya. Khariroh menilai, fakta ini harus terus dikaji. Apalagi kalau melihat fenomena deportan dari Suriah, dimana peran perempuan ternyata memang lebih kuat dalam mendorong suaminya untuk bergabung dengan ISIS.

“Banyak dari perempuan itu kemudian terpapar di media sosial, tertipu dengan janji dan propaganda ISIS. Dia yang aktif mencari informasi di internet, padahal dia sebenarnya terpedaya propaganda ISIS bahwa kehidupan lebih baik, rumah sakit gratis, hidup lebih enak, seperti yang terjadi pada keluarga mantan pejabat Otorita Batam dulu,” jelas Khariroh.

Ia menilai, terlalu mudahnya perempuan ‘termakan’ propaganda kelompok radikal karena memang propaganda mereka di media sosial (medsos) sangat canggih. Kondisi itu ditambah para perempuan pengguna internet digital literasinya sangat kurang.

“Digital literasi jadi sangat penting karena apa yang dikonsumsi di internet, tidak semua benar. Ada informasi yang menyesatkan, termasuk taktik rekrutmen kelompok radikal di internet, memang menyasar perempuan,” tukasnya.

Apalagi, ungkapnya, dengan semakin hancurnya ISIS, pimpinan mereka menyerukan agar jihad tidak hanya kaum laki-laki, tetapi juga perempuan. “Kalau dulu jihadnya di rumah mengabdi pada suami, mendidik anak, yang disebut jihad zhohir atau jihad kecil, tapi kemudian ada panggilan bahwa perempuan itu bisa melkaukan jihad khabir dengan berada di baris terdepan menjadi pengantin bom,” tutur Khariroh.

Meski saat ini propaganda itu semakin berkurang, perempuan tetap harus diberikan perlindungan. Salah satunya dengan mengoptimalkan peran perempuan sebagai penggerak dan agen perdamaian. Apalagi di Indonesia, peran perempuan dalam meredam konflik seperti di Ambon, Poso, dan Aceh, sudah terbukti manjur. Ini penting karena kalau terjadi kondisi konflik, kelompok paling dirugikan sebagai korban adalah perempuan dan anak-anak.

“Perempuan dengan bakat alamiahnya untuk jaga perdamaian itu harus terus ditingkatkan, termasuk juga peran perempuan dalam masyarakat. Kalau perempuan sangat aktif di kegiatan sosial, mereka akan lebih dekat keluarga atau anak, sehingga perempuan bisa digunakan sebagai agen untuk melakukan deteksi dini karena perempuan memiliki insting lebih kuat mendeteksi masalah-masalah keluarga dan lingkungan,” jelas Khariroh.

Terkait banyaknya kaum perempuan yang terlibat kasus penyebaran hoak dan ujaran kebencian jelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, Khariroh menilai, dari apa yang terjadi sebenarnya para para perempuan itu tidak mengerti dunia politik. Namun mereka terus dicekoki dengan informasi hoaks, seperti pemerintah akan melegalisasi zina, perkawinan sejenis, dan lain-lain yang sangat sensitif di masyarakat.

“Itu salah satu taktik kampanye politik dengan cara-cara kotor. Meski informasi salah, tapi kalau dilakukan berulang-ulang akan dianggap sebuah kebenaran. Ini sangat memprihatinkan. Ini taktik politik yang sangat kotor. Buat kita itu bagian dari kekerasan berbasis gender, menggunakan perempuan dengan informasi palsu, kemudian mereka diminta untuk menyampaikan. Mereka tahu perempuan bisa memperngaruhi tetangga hanya dengan sekadar ngobrol,” pungkas Khariroh.Jakarta – Akhir-akhir ini kasus terorisme yang terjadi di Indonesia banyak melibatkan kaum perempuan. Kasus bom bunuh diri Surabaya, bom Sibolga, bom panci Bekasi, rencana penyerangan Mako Brimob, dan terakhir penangkapan perempuan terduga teroris di Klaten, menjadi bukti, kaum perempuan telah aktif dalam gerakan kelompok radikal. Fakta itu sangat miris mengingat perempuan seharusnya bisa menjadi seorang ibu yang bisa melindungi keluarga dan ibu pertiwi yang melindungi bangsanya.

Komisioner Komnas Perempuan Siti Khariroh, MA mengakui dalam kurun 10 tahun terakhir, peran perempuan dalam jaringan terorisme mengalami pergeseran. Kalau dulu perempuan lebih banyak berkiprah sebagai pendukung di balik layar seperti peran mendidik anak menjadi teroris baru dan menyembunyikan suami mereka, serta peralatan terorisme, kini perempuan berada di garda terdepan aksi terorisme dengan menjadi martir dan pengantin bom.

“Saya melihat ada proses penggunaan perempuan untuk tujuan terorisme sehingga perempuan kemudian menjadi pelaku. Karena kalau kita lihat profil perempuan yang terjerat terorisme, terutama yang sudah sudah dipidana, kalau kita lihat siklus kehidupannya rata-rata mereka adalah korban, meski faktanya pelaku,” ujar Siti Khariroh di Jakarta, Jumat (22/3/2019).

Menurut Khariroh, ada hal-hal yang menyebabkan perempuan kemudian digunakan sebagai garda terdepan aksi terorisme. Seperti kasus bom panci di Bekasi dengan pelaku seorang perempuan bernama Dian Yulia. Sejak awal dinikahi oleh suami terorisnya melalui nikah online, ia terus mendapatkan doktrin ideologi radikal, termasuk janji-janji masuk surga, termasuk relasi yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan di kelompok jaringan terorisme yang mengharapkan kepatutan mutlak istri terhadap suami, seolah-olah suami adalah wakil Tuhan.

Contoh lainnya, lanjut dia, Umi Delima, istri Santoso (Mujahidin Indonesia Timur/MIT). Ia sebenarnya hanya korban karena sejak dinikahi usia 16 tahun ia terus dicekoki ideologi radikal. Kemudian karena dia memakai cadar, ia tidak diterima di masyarakat sekitar, sehingga ia pun menyusul suaminya ke gunung.

“Dari situ perempuan-perempuan itu mengubah konsep diri mereka, kemudian terjebak, dan ditambah doktrin dari suami dan kelompoknya. Intinya, mesi berada di garda terdepan, perempuan sebenarnya adalah korban dari struktur di jaringan terorisme, yang memang ingin menggunakan perempuan untuk tujuan ideologis, politisdari terorisme itu sendiri,” ungkap Khariroh.

Sebenarnya, lanjut Khariroh, dari beberapa perempuan yang terlibat terorisme, mereka awalnya adalah perempuan yang aktif di masyarakat baik itu di kegiatan sosial maupun pengajian. Namun mereka kemudian menikah, dan ironisnya yang dinikahi bagian dari jaringan terorisme. Dari survei yang pernah dilakukan, 90 persen istri narapidana terorisme (napiter) awalnya tidak tahu tentang terorisme. Mereka baru tahu ketika ada proses penangkapan.

Selama berkeluarga itulah, mereka mendapat pengajaran tentang dominasi laki-laki dalam rumah tangga, ditambah doktrin keagamaan yang diajarkan sangat menglorifikasi peran laki-laki serta doktrin jihad juga Islam yang ditindas.

Namun kondisi itu berubah setelah kejadian bom Sibolga, dimana istri terduga teroris ternyata lebih radikal dibandingkan suaminya. Ia bahkan tidak bersedia menyerah dan memilih meledakkan diri di dalam rumah bersama anaknya. Khariroh menilai, fakta ini harus terus dikaji. Apalagi kalau melihat fenomena deportan dari Suriah, dimana peran perempuan ternyata memang lebih kuat dalam mendorong suaminya untuk bergabung dengan ISIS.

“Banyak dari perempuan itu kemudian terpapar di media sosial, tertipu dengan janji dan propaganda ISIS. Dia yang aktif mencari informasi di internet, padahal dia sebenarnya terpedaya propaganda ISIS bahwa kehidupan lebih baik, rumah sakit gratis, hidup lebih enak, seperti yang terjadi pada keluarga mantan pejabat Otorita Batam dulu,” jelas Khariroh.

Ia menilai, terlalu mudahnya perempuan ‘termakan’ propaganda kelompok radikal karena memang propaganda mereka di media sosial (medsos) sangat canggih. Kondisi itu ditambah para perempuan pengguna internet digital literasinya sangat kurang.

“Digital literasi jadi sangat penting karena apa yang dikonsumsi di internet, tidak semua benar. Ada informasi yang menyesatkan, termasuk taktik rekrutmen kelompok radikal di internet, memang menyasar perempuan,” tukasnya.

Apalagi, ungkapnya, dengan semakin hancurnya ISIS, pimpinan mereka menyerukan agar jihad tidak hanya kaum laki-laki, tetapi juga perempuan. “Kalau dulu jihadnya di rumah mengabdi pada suami, mendidik anak, yang disebut jihad zhohir atau jihad kecil, tapi kemudian ada panggilan bahwa perempuan itu bisa melkaukan jihad khabir dengan berada di baris terdepan menjadi pengantin bom,” tutur Khariroh.

Meski saat ini propaganda itu semakin berkurang, perempuan tetap harus diberikan perlindungan. Salah satunya dengan mengoptimalkan peran perempuan sebagai penggerak dan agen perdamaian. Apalagi di Indonesia, peran perempuan dalam meredam konflik seperti di Ambon, Poso, dan Aceh, sudah terbukti manjur. Ini penting karena kalau terjadi kondisi konflik, kelompok paling dirugikan sebagai korban adalah perempuan dan anak-anak.

“Perempuan dengan bakat alamiahnya untuk jaga perdamaian itu harus terus ditingkatkan, termasuk juga peran perempuan dalam masyarakat. Kalau perempuan sangat aktif di kegiatan sosial, mereka akan lebih dekat keluarga atau anak, sehingga perempuan bisa digunakan sebagai agen untuk melakukan deteksi dini karena perempuan memiliki insting lebih kuat mendeteksi masalah-masalah keluarga dan lingkungan,” jelas Khariroh.

Terkait banyaknya kaum perempuan yang terlibat kasus penyebaran hoak dan ujaran kebencian jelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, Khariroh menilai, dari apa yang terjadi sebenarnya para para perempuan itu tidak mengerti dunia politik. Namun mereka terus dicekoki dengan informasi hoaks, seperti pemerintah akan melegalisasi zina, perkawinan sejenis, dan lain-lain yang sangat sensitif di masyarakat.

“Itu salah satu taktik kampanye politik dengan cara-cara kotor. Meski informasi salah, tapi kalau dilakukan berulang-ulang akan dianggap sebuah kebenaran. Ini sangat memprihatinkan. Ini taktik politik yang sangat kotor. Buat kita itu bagian dari kekerasan berbasis gender, menggunakan perempuan dengan informasi palsu, kemudian mereka diminta untuk menyampaikan. Mereka tahu perempuan bisa memperngaruhi tetangga hanya dengan sekadar ngobrol,” pungkas Khariroh.