Khairul Ghazali: Dulu Khilafah Jadi Cita-Cita, Kini NKRI Harga Mati!

Deli Serdang – Mantan napi terorisme yang kini telah ‘banting setir’ kembali ke jalan yang benar, Khairul Ghazali, menyatakan bahwa dalam dirinya saat ini Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah harga mati. Melalui sebuah pantun, ia tegaskan bahwa dulu ia memang sempat mencita-citakan khilafah, namun kini ia pasang harga mati untuk NKRI.

Pernyataan ini ia sampaikan saat memberi sambutan dalam acara peresmian masjid dan dua ruang belajar di komplek pondok pesantren al Hidayah yang dikelolanya oleh kepala Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol. Suhardi Alius, M.H di Deli Serdang, Sumatera Utara, pagi ini, Jumat (24/02/17).

Ia mengaku sangat bersyukur bahwa upayanya untuk kembali ke jalan yang benar usai tersesat dalam radikalisme dan terorisme mendapat dukungan penuh dari pemerintah. Ia kini bahkan berkesempatan untuk mengajak rekan-rekannya mengikuti jejaknya, meninggalkan paham kekerasan dan kembali ke jalan kedamaian seperti yang diajarkan Islam.

Meski begitu, ia menegaskan bahwa radikalisme dan terorisme tidaklah sesuatu yang tiba-tiba terjadi. Ada proses panjang yang menyebabkan radikalisme dan terorisme lahir dan berkembang. Ini juga berarti bahwa penanggulangan terorisme tidak bisa dilakukan dengan singkat pula. Tambahan masjid megah dan dua ruang belajar untuk pesantrennya ia anggap sebagai bagian dari upaya penanggulangan terorisme yang tidak bisa dilakukan secara kilat tersebut.

“Radikalisme dan terorisme tidak terjadi mendadak, ia juga tidak akan habis dengan tiba-tiba; ada proses panjang yang perlu dilalui (untung menghabisi terorisme, red),” ungkapnya.

Secara lebih spesifik, bapak 10 anak ini memberi penekanan khusus kepada pentingnya melindungi anak-anak dari bahaya radikalisme dan terorisme.

“Saat ini, di sini saja, sudah ada 70 anak yang orang tuanya terlibat jaringan terorisme, baik langsung maupun tidak langsung. Saya dirikan pesantren ini untuk selamatkan anak-anak itu,” jelas Ghazali.

Anak-anak –terutama dengan orang tua yang memiliki keterkaitan dengan terorisme— dipandangnya sangat rawan terpapar radikalisme dan terorisme. Doktrin utama yang biasa diberikan orang tua kepada anak-anaknya untuk menjerat mereka dalam kubangan terorisme adalah dalih birul walidain, yakni perintah untuk mematuhi orang tua.

Hal ini yang diakuinya membuatnya serius untuk menyelamatkan anak-anak melalui pesantren yang ia kelola untuk anak-anak dari keluarga teroris. Hal utama yang ia lakukan adalah dengan memberikan pemahaman keagamaan yang baik kepada anak-anak tersebut. Sehingga ketika besar nanti, mereka bukan saja terhindar dari bahaya radikalisme dan terorisme, tetapi juga bisa mengajak orang tua mereka untuk menyadari kesalahan dan kembali ke jalan yang benar.

“Anak-anak ini nantinya akan tahu bahwa jihad itu membangun, bukan menghancurkan,” tegasnya.

Melalui pendidikan yang benar, anak-anak dari keluarga teroris akan mengerti bahwa jihad yang dilakukan oleh orang tua mereka salah.

“Sekarang kita lihat sendiri, gara-gara ‘jihad’ orang tauanya, anak-anak menjadi terlantar. Gara-gara jihad orang tuanya, pendidikan anak-anak putus,” lanjutnya.

Ghazali mendapat dukungan penuh dari pemerintah atas kerja kerasnya ini. Kepala BNPT Komjen Pol. Suhardi Alius, M.H, mengataka bahwa pihaknya akan terus mendampingi setiap proses yang dijalani pesantren yang kini memiliki 20 santri ini. “Nanti dari FKPT Sumut juga akan membantu membuat kurikulum pendidikan untuk pesantren ini,” ujar Suhardi di kesempatan yang sama.