Fenomena Gagap Teknologi dan Radikalisasi Anak

Tidak bisa dipungkiri kita memang mengalami kesenjangan antar generasi. Laju perubahan zaman dan perkembangan teknologi memunculkan fenomena anak dan ibu yang berbeda generasi. Bagi kita yang lahir pada tahun 60an atau tahun 70an sudah akrab dengan permainan layang-layang, gasing, paku lele, mobil-mobilan dari jeruk Bali,  egrang, dan  permainan meniup suling di atas punggung kerbau.  Semuanya merupakan permainan yang biasa dan sangat mengasikkan pada zamannya. Begitupun main masak-masakan, manten mantenan  sama asiknya bagi anak anak perempuan pada masa lalu.

Coba bayangkan kalau di kota saat ini ada anak-anak yang masih mempertahankan permainan lama tersebut. Tentu akan menjadi lucu dan aneh bagi anak anak yang lahir pada tahun 2000an. Ada perubahan yang berbeda 180 derajat. Kalaupun permainan itu masih ada, tetapi telah dimodifikasi dengan kecanggihan teknologi. Apapun permainan entah itu mobil-mobilan, layang layang, sepak bola, perang-perangan semua dilakukan dengan electric model.

Hadirnya permainan baru itu menyebabkan ruang gerak anak-anak menjadi lebih sempit, cukup di atas sofa,  berhadapan dengan layar LED di depan layar komputer atau gadget. Keuntungannya bahwa banyak kreasi jenis permainan  sebagai pilihan. Ada ratusan bahkan ribuan. Dan tidak sulit untuk mengganti sebuah permainan bila bosan. Psikomotorik dan kecerdasan anak kian bertambah maju pesat. Namun, dampak buruknya adalah munculnya ketergantungan anak-anak pada permainan elektrik dan cenderung tidak menyukai permainan yang memerlukan kehadiran fisik. Imbasnya, berkurangnya keinginan anak-anak untuk bersosialisasi dengan komunitasnya. Lihatlah fenomena sekarang di mana anak-anak seakan asyik dengan gadgetnya sendiri  ketimbang berkomunikasi langsung dan bercanda bersama.

Ibu pada posisi lain. Melihat anaknya tidak keluyuran di luar,  duduk manis sambil bermain gadget dan di depan komputer, banyak ibu-ibu yang justru merasa lebih tenang dari pada melihat anak-anaknya berlari-larian di luar rumah. Akibatnya ada pembenaran dan pembiaran oleh ibu terhadap anaknya yang memilih untuk mengasingkan diri bersama komputer dan gadgetnya. Bagi sebagian ibu yang cukup disiplin, dia akan batasi bermain gadget dan menyuruhnya istirahat dan masuk kamar. Tetapi, setelah masuk kamar tanpa sepengetahuan ibunya, sang anak telah beselancar jauh menyusuri dunia maya tanpa batas dengan gadget. Dan bila ditegur, sang anak akan menyembunyikan gadgetnya di bawah bantal dan bermain lagi saat ibunya pergi.

Inilah persoalan anak di tengah terkaman zamannya. Siapkah Ibu menghadapi situasi komunikasi global ini?

Ibu-ibu Indonesia yang lahir tahun 60an atau tahun 70an, khususnya yang bekerja hanya sebagai ibu rumah tangga, seperti penulis ungkapkan tadi, sebetulnya masih banyak yang belum berjalan seiring dengan kemajuan teknologi komunikasi saat ini. mereka masih banyak yang hanya menggunakan gadget sebatas untuk menelpon, sms chat dan kirim foto dan gambar di antara ratusan fitur yang disiapkan oleh ponsel. Di sinilah, ada kesenjangan kemampuan berkomunikasi  antara generasi ibu dan anak yang berbeda generasi tersebut. Manakala sang anak bertanya tentang fungsi fitur banyak tidak paham.

Di lain pihak anak kelas 5 SD saja saat ini sudah mampu melanglang buana di dunia maya, berkomunikasi dalam forum chatting, messenger, Imo, Skype serta hidden fitur dan konten lain. Tentu saja kesenjangan itu semakin lebar ketika anak sekarang sudah melek teknologi, sementara ibu-ibu yang seharusnya mengawasi dan membimbing anaknya masih ada yang sangat gagap teknologi. Padahal sudah lazim diketahui bersama bahwa konten-konten negatif dan radikal saat ini mudah ditemui di dunia maya. Dalam situasi ini,  harus bagaimana proses kontra radikalisasi dilakukan oleh ibu terhadap anak-anaknya.

Radikalisasi Anak dan Model Parental Control

Banyak pertanyaan timbul tentang bagaimana  para ibu bisa mengawasi anak-anaknya dalam system parental control terhadap anak yang sedang bermain dan berselancar di dunia maya sementara sang ibu sendiri belum begitu melek teknologi komunikasi?

Penulis bukan bermaksud mendikotomikan kemampuan ibu dan anak yang berbeda generasi, namun harus jujur kita akui bahwa baru sebagian kecil saja para ibu yang sudah melek teknologi telekomunikasi.  Bagi mereka yang yang telah mengenal dan biasa berselancar di dunia maya dipastikan lebih mudah berakselerasi dan bersosialisi dengan dunia anak terkini.  Mereka akan lebih mudah masuk dan bergabung menjadi teman, punya pertemanan, lawan chating seperti halnya  dalam WA, instagram, facebook, serta forum forum chating sekaligus mengawasi aktifitas maya anak. Bahkan ibu bisa berchating dengan anaknya sendiri sambil melakukan kontrol melekat.

Ibu golongan ini juga akan lebih bijak dan juga akan lebih selektif mengarahkan  film, game, forum chatting mana yang boleh diikuti oleh anaknya. Mereka juga mampu mengidentifikasi jenis game yang tidak akan mempengaruhi  psikologis anak. Mereka juga mampu mengajak anaknya untuk berdiskusi hal-hal yang didapatkan dari dunia maya.

Apabila kita masuk ke dalam warnet dan menonton anak- anak yang sedang bermain game, banyak tema-tema heroisme dan maskulinitas serta fiksi khayal dimainkan oleh anak-anak tersebut.  Game-game berbahaya seperti  World of Warcraft, Call of Duty,Point Blank, Cross Fire, War Rock, Counter Strike, Mortal Kombat, Future Cop, Carmageddon, Shelshock, Raising Force, Atlantica, Conflict Vietnam, Bully, Grand Theft Auto, dan Smack Down adalah  jenis game populer. Tanpa disadari bahwa game tersebut ternyata memberikan dampak psikologis yang luar biasa pada anak. Karena setiap tampilan tokoh pemenang dalam game rata-rata menjadi pola peniruan perilaku  anak.

Tentu kita masih ingat pada tahun 2009, ada berita menggemparkan tentang anak yang dibanting oleh kakaknya sendiri setelah bermain game smackdown. Begitupun beberapa film youtube yang tanpa mampu kita bendung dengan sekat-sekat pembatas telah masuk ke kamar anak kita. Mungkin masih ingat tentang kelompok radikal teroris Poso yang sempat menyebarkan video youtube ” buyung katedo”. Video ini secara gamblang menggambarkan kekerasan antar kelompok agama  yang membangkitkan emosi orang yang menontonnya.

Yang paling hangat dan saat ini masih bisa ditonton semua anak-anak dan semua golongan usia video yang disebarkan oleh kelompok teror ISIS di youtube tentang herorisme anak-anak usia 5-6 tahunan yang memanggul senjata di Irak dan Syiria. Di situ juga diperlihatkan betapa anak-anak tersebut memiliki kemampuan menembak yang luar biasa. Bahkan, ada anak-anak yang menembak kepala orang dewasa. Dalam video tersebut juga ditampilkan anak-anak melalui rintangan laksana prajurit militer. Apa yang ingin saya tegaskan bahwa proses radikalisasi menyebar dengan masif di tengah masyarakat tanpa orang tua sadari dan ketahui.

Memang kita menyadari bahwa proses radikalisasi yang dialami oleh setiap anak tentu berbeda dengan radikalisasi yang dialami orang dewasa. Untuk orang dewasa pendekatan face to face dengan model pengenalan, identifikasi diri,  indoktrinasi, sampai tahapan aksi sangat mutlak memerlukan orang yang merekrut. Di situ harus ada proses meyakinkan target oleh instruktur atau guru untuk meyakinkan ajaran atau faham kekerasan.

Fakta yang sangat mengejutkan bahwa merujuk beberapa kasus yang pernah terjadi, rentang waktu radikalisasi dan rekrutmen anak-anak biasanya akan jauh lebih pendek apalagi yang berasal dari keluarga teroris. Ada beberapa faktor yang menjadi pemicu kekerasan dan radikalisasi anak.  Pertama, radikalisasi bisa terjadi karena ada proses peniruan terhadap karya heroik dan maskulinitas dalam game dan youtube. Proses ini terjadi di dunia maya dengan tanpa adanya kontrol orang tua terhadap bahan dan konten yang dinikmati oleh anak.

Kedua, ada pula kasus sang anak yang dendam dan sakit hati akibat penegakan hukum yang dilakukan oleh negara terhadap bapaknya yang seorang teroris. Betapa menyakitkan manakala sang anak melihat dan menyaksikan bagaimana bapaknya dibekuk, diborgol bahkan mungkin ditembak karena melakukan perlawanan. Dalam model ini anak teroris sangat potensial mengikuti jejak ayahnya karena rasa dendam. Proses radikalisasi akan cepat ketika anak menjumpai instruktur atau perjumpaan dengan bahan ajaran di dunia maya.

Ketiga, ada juga  seorang teroris wanita istri tokoh teroris Poso  yang melahirkan anaknya di penjara beberapa mingguyang lalu. Tentu sang anak yang tidak berdosa itu akan tumbuh berkembang sampai ibunya keluar dari penjara.  Artinya secara tidak langsung anak tersebut seakan menanggung kesalahan. Dalam kasus tersebut memang tidak bisa dihindari bahwa hak ibu juga kalau kemudian sang anak harus tetap dibwa dalam penjara atas keinginan sang ibu. Tidak ada aturan khusus tentang anak yang lahir dalam tahanan, karena rumah tahanan atau lapas sejatinya adalah tempat untuk membuat orang jera dan tidak melakukan perbuatannya kembali. Namun, dapat dibayangkan apabila anak tumbuh di sel kecil tanpa pandangan luas dan interaksi dengan hanya komunitas di dalam lapas tersebut.

Dari sini bisa dikatakan bahwa anak saat ini sangat rentan terpapar paham radikal dan ajaran kekerasan baik yang didapatkan langsung dari dunia maya maupun pengalaman psikologis yang didapatkan karena hubungan kekeluargaan. Keluarga dalam hal ini orang tua menjadi kunci utama dalam melindungi dan membentengi anaknya dari paparan paham radikal. Pendidikan dan pengawasan orang tua sekecil apapun adalah kunci untuk memutus regenerasi mata rantai terorisme.