Doktrin Dalam Islam Merupakan Pandangan Hasil Pemikiran dan Perenungan

Surakarta – Semua rumusan doktrin dalam Islam, termasuk akidah tauhid, merupakan ra’yu, yakni sesuatu yang dipilih atau menjadi preferensi setelah berfikir dan merenung. Dengan kata lain semua doiktrin dalam islam ini adalah pandangan hasil pemikiran dan perenungan.

Hal tersebut dikatakan Wakil Ketua Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, Dr. Hamim Ilyas dalam paparannya bertema Isu-isu Penting Pardamaian Dalam Islam pada acara Workshop Pencegahan Radikalisme dan Terorisme di Kalangan Guru Sekolah Menengah di Surakarta yang diselenggarakan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bekerjasama dengan Magister Ilmu Pemerintahan, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (MIP UMY) dan Program Doktor Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) ini digelar di Hotel Aston, Surakarta pada, Rabu (18/7/2018)

“Selama ini yang populer disebut sebagai ra’yu hanya pemikiran yang menggunakan penalaran logis dan penalaran empirik, sementara pemikiran yang menggunakan penalaran tradisional dan penalaran ideologis tidak dipandang sebagai ra’yu,” ujar Dr. Hamim Ilyas.

Menurutya, bukti dari ke-ra’yu-an yang disebut terakhir adalah pandangan Muhammad bin Abdul Wahab, revivalisme dan fundamentalisme sangat jelas dalam rumusan mereka tentang 3, 7 dan 20 ajaran dasar akidah tauhid. “Berdasarkan kenyataan ini, ra’yu yang berkembang dalam pemikiran tentang doktrin akidah atau kalam (juga fikih atau hukum), dapat dibedakan menjadi tiga.

“Pertama, ra’yu khafi, ra’yu tersebunyi. Ra’yu ini dikembangkan berdasarkan asumsi-asumsi teologis tentang Tuhan dan kehidupan yang tidak komprehensif dan dikembangkan dengan pemaknaan literal yang mengabaikan tolok ukur kebenaran korespondensi dan koherensi sehingga anti realitas dan perkembangan sejarah,” ujarnya.

Dengan ra’yu ini menurutnya,semua doktrin agama menjadi dogma yang kebenarannya tidak perlu dibuktikan dalam relitas kehidupan. “Pemikiran akidah yang termasuk jenis ra’yu ini adalah pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab (Wahabi) dan Muhammad Hassan ( revivalisme),” ungkapnya.

Lalu ra’yu yang kedua yakni ra’yu dhahir ‘aqli atau ra’yu terang logis. Ra’yu ini dikembangkan berdasarkan asumsi-asumsi rasional tentang Tuhan dan kehidupan yang bisa jadi komprenhesif dan dikembangkan dengan pemaknaan logis yang mengabaikan tolok ukur kebenaran korespondensi, namun memenuhi tolok ukur kebenaran koherensi sehingga ingin menciptakan realitas dan perkembangan sejarah.

“Dengan ra’yu ini semua doktrin agama dibuat rasional untuk merubah realitas menjadi sesuai dengan ideologi yang dianut. Pemikiran akidah yang termasuk jenis ra’yu ini adalah pemikiran Mu’tazilah, al-Asy’ari (Asy’ariah), Ibnu Taymiah, Muhammad Abduh (Modernisme ), Hasan al-Banna (al-Ikhwan al-Muslimun), al-Maududi (Jama’ah Islamiyah) dan Ismail Raji al-Faruqi (IIIT)},’ ujarnya.

Kemudian ra’yu ketiga yaitu ra’yu dhahir waqi’i, ra’yu tentang empirik. Dimana Ra’yu ini dikembangkan berdasarkan asumsi-asumsi etis tentang Tuhan dan kehidupan yang komprehensif dengan pemaknaan fungsional yang memenuhi tolok ukur kebenaran korespondensi dan koherensi sehingga kompromistis dengan realitas dan perkembangan sejarah.

“Dengan ra’yu ini semua doktrin agama diusahakan relevan dengan kehidupan yang terus meningkat sesuai dengan meningkatnya kemajuan dan ketinggian peradaban manusia. Pemikiran akidah yang termasuk jenis ra’yu ini adalah pemikiran Fazlur Rahman (Neo-Moderrnisme),” ungkap Hamim menjelaskan.
.
Hamim pun kemudian membahas tentang Akidah Tauhid. Menurutnya ajaran-ajaran fundamental yang menjadi dasar bagi ajaran-ajaran dan menjadi pangkal atau titik pijak pengamalan agama dalam tradisi Islam disebut akidah.

Akidah diserap dari ‘Aqidah dengan akar kata ‘, q dan d. Akar kata ini juga digunakan untuk membentuk ‘aqd (diserap menjadi akad). Sebagai kata yang dibentuk dari akar kata yang sama, dua istilah itu bertemu dalam arti mengikat. Akad mengikat secara eksternal dalam hubungan perorangan dan kelompok berwujud perikatan, perjanjian atau kontrak, seperti kontrak bisnis.

“Adapun akidah mengikut secara internal dalam batin orang berwujud kepercayaan dan keyakinan. Karena itu secara leksikal akidah berarti sesuatu yang mengikat hati dan suara hati dan sesuatu yang dianut dan diyakini orang,” ujarnya.

Dengan kata lain akidah menurutnya adalah sebutan untuk kepercayaan dan keyakinan selain perbuatan. Akidah dalam arti ini dapat meliputi tiga pengertian: pertama, keputusan hati yang mantap sehingga menjadi preferensi kepercayaan dan keyakinan; kedua, pandangan yang ditetapkan penguasa dan harus diikuti semua warga yang berada di bawah kekuasaannya (seperti ideologi negara); dan ketiga, prinsip yang menjadi dasar pendirian mazhab dan diterima kebenarannya oleh para pengikut mazhab sebagai aksioma.

“Akidah dalam Islam ini dikenal dengan akidah tauhid, akidah yang berpusat pada keesaan Allah. Sesuai dengan pengertian akidah di atas, akidah yang berkembang dalam pemikiran yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh Muslim dapat dibagi menjadi: sistem kepercayaan spiritual, sistem puritan, sistem kepercayaan ideologis, sistem kepercayaan semi etis dan sistem kepercayaan etis,” ujarnya.

Lalu kemudian akidah sebagai sistem ideologi yang menetapkan ajaran-ajaran yang menjadi sistem pemikiran tentang bagaimana menyelenggarakan kehidupan dalam segala bidang dan dengan segala levelnya. Akidah sebagai sistem ideologi ini di antaranya ditegaskan oleh Kamil asy-Syarif yang menyatakan bahwa akidah adalah dasar berdirinya bangunan sosial yang kompleks dan menghubungkan semua bagian bangunan itu, baik bagian kecil maupun besar.

“Akidah ini berperan dalam kehidupan pribadi, kelompok dan syariat; menjadi tolok ukur semua perilaku mereka; dan menguasai semua segi kehidupan. Bangunan sosial yang dibangun berdasarkan akidah Islam menurutnya adalah bangunan Masyarakat Prajurit (al-Mujtama’ al-Muharib) dengan ciri-ciri Masyarakat Tempur (Mujtama’ Harb) yang memerangi keterbelakangan dan kedhaliman, Masyarakat Utama, Masyarakat Adil, Masyarakat Merdeka, Masyarakat Syura dan Masyarakat Siaga,” ujarnya.

Dari pernyataan ini dapat diketahui bahwa akidah menurut Kamil asy-Syarif merupakan ideologi perlawanan dan permbebasan dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi dan hukum. Akidah tauhid sebagai sistem ideologi dalam pemikiran Islam modern berkembang di aliran revivalisme, fundamentalisme dan idealisme.

“Aliran-aliran ini berusaha untuk membuat hidup umat di zaman sekarang sama dengan hidup umat di zaman Nabi, sahabat dan tabi’in (generasi salaf atau as-Salaf ash-Shalih) dengan pertimbangan zaman mereka merupakan zaman terbaik yang wajib ditiru. Karena ada perbedaan dalam memahami realitas zaman terbaik dari generasi awal Islam yang dijadikan teladan itu, maka ideologi tauhid yang berkembang di tiga aliran tersebut terbagi menjadi ideologi tertutup dan ideologi terbuka,” ujanrya mengakhiri.