Diam Belum Berarti Damai: Membaca Strategi Hibernasi Kelompok Terorisme

Sebagaimana telah diperhitungkan oleh para peneliti dunia mulai dari dari Eropa, Amerika sampai domestik bahwa Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) atau Daesh pada 2017 atau 2018 akan kalah. Prediksi itu sepertinya telah menjadi kenyataan. ISIS di Iraq dan Suriah sudah tidak melakukan perlawanan berarti.

Propaganda-propaganda kekejaman sudah jarang bahkan nyaris tak terdengar. Nyanyian indah kelompok radikalis tentang indahnya kawin paksa dan nikah jihad telah sirna. Youtube bernuansa jingga merah darah mewarnai lantai yang diakibatkan oleh pemenggalan kepala dengan cara menggorok dengan belati yang membuat kita mual telah tidak ada lagi.

Saat ini yang ada tinggal nyanyian dan seruan serta penyesalan dari testimoni para returnees yang pernah menjadi bagian dari ISIS pada tahun 2015an diperdengarkan oleh beberapa negara seperti halnya juga di Indonesia. Sepertinya tidak ada lagi ruang bagi ISIS melakukan aktifitasnya di dunia ini.

Dengan melihat kondisi terakhir itu, apakah boleh kita terjemahkan bahwa ISIS telah mati? Sungguh sangat sulit menjawab pertanyaan ini. Betapa tidak, belum lama ini telah diumumkan oleh pihak Filipina melalui seorang security analyst, Rommel Banlaoi, yang telah mengidentifikasi bahwa sedikitnya saat ini ada  22 group yang secara diam-diam telah membentuk faksi-faksi perlawanan terhadap pemerintah Filipina paska rontoknya ISIS di walayat Marawi.

Dalam rilis itu dinyatakan secara mengejutkan bahwa telah lahir pendukung baru ISIS sebut saja ;1) Ansar Dawlah Fi Filibbin (ADFF), 2) Rajah Solaiman Islamic Movement (RSIM), 3). Al Warakarul Islamiyah Battalion, 4). Jama’at Ansar Khilafa, 5). Bangsamoro Islamic Freedom Fighters (BIFF),  6). Ansharul Khilafa Philippines Battalion, 7). Bangsamoro Justice Movement, 8) Khilafa Islamiya Mindanao (KIM), 9). Abu Sayyaf Group (Hapilon Faction), 10). Syuful Khilafa Fi Luzon, 11). Jama’atul Tawheed Wal Jihad (IS Lanao in Butig),  12). Ma’rakah Al-Ansar Battalion, 13). Dawla Islamiyyah Cotabato, 14). Dawlat Al Islamiya Waliyatul Masrik, 15), Ansar Al-Shariah Battalion, 16). Jamaah Al-Tawhid wal Jihad Philippines, 17). Jundul-Tawhid Battalion (ASG Sulu), 18). Abu Dujanah Battalion, 19). Abu Khubayn Battalion, 20). Jundallah Battalion, 21). Abu Sadr Battalion, dan 22). Jamaah Al Muhajirin Wal Anshor (Philipina). Munculnya beberapa faksi tersebut menunjukkan bahwa kelompok pecahan ISIS bukan mati, tetapi sedang pada masa hybernasi. Ibarat orang yang pura-pura sedang tidur, tetapi mereka sambil tiarap untuk tidak bergerak dulu. Pada saatnya kemudian mereka akan teriak: ayo kita siap-siap untuk bangun secara serentak.

Muncul pertanyaan berikutnya adakah pertanda dan indikasi teroris mulai bangun? Ketika penulis sedang memutar ide-ide tentang kasus teror kekinian yang mau dijadikan acuan dalam tulisan ini, tiba-tiba saja penulis dikejutkan oleh berita luar negeri dari salah satu channle, CNN , yang menyiarkan kasus terbaru penyanderaan di supermarket Super U di Prancis. Kejadian ini dikabarkan menewaskan 3 orang,  16 orang  terluka dan 2 orang di antaranya mengalami luka yang sangat serius.

Menyimak berita tersebut walaupun konteksnya adalah kasus penyanderaan, namun  penulis sangat yakin bahwa kasus tersebut adalah aksi terorisme.  Kenapa? Karena sebagaimana dalam kasus-kasus penyanderaan, di situ selalu ada tuntutan. Apa yang menjadi tuntutannya? Orang atau pembebasan orang. Siapa orang? Napi. Napi kasus apa? Terorisme. Siapa terorisnya? Dia adalah  Abdesalam tersangka bom bunuh diri dan penyerangan penembakan masal yang terjadi di stadion olah raga, gedung konser dan restoran yang menewaskan 130 orang di Paris pada tiga tahun lalu, tepatnya 2015.

Abdeslam dan kawan-kawan berasal dari kelompok ISIS yang kebetulan masih hidup dan berada di penjara. Pelaku penyanderaan adalah Redoaune Lakdim berumur 26 tahun yang sejatinya adalah pemain kejahatan kecil-kecilan di jalanan. Ia sebenarnya tidak masuk dalam list teroris. Apa yang menjadi menarik bahwa terjadi proses radikalisasi yang masif yang menyasar ke kelompok muda rentan, entah melalui proses pertemanan (friendship) atau ketokohan (leadership) bisa juga meradikalisasi diri (lonewolf). Apakah ini pertanda ISIS belum mati dan kembali bangkit? Wallahu’alam.

Pertanyaan penting dari prediksi dan kalkulasi kebangkitan ISIS tersebut adalah bagaimana seharusnya negara bersikap? Kasus di beberapa negara dan pelajaran berharga dari Filipina diamnya kelompok teror bukan berarti ia sedang punah dan sirna. Kelompok radikal justru melakukan hibernasi untuk diam sejenak untuk menunggu momentum yang tepat untuk bangkit.

Dari berbagai pengalaman berdialog dengan sesama aparat counter terrorism (CT) di berbagai negara, baik bilateral maupun multilateral, ada beberapa sikap yang menurut penulis harus dilakukan. Pertama; melakukan inventarisasi dan mengidentifikasi ulang jaringan terorisme lama. Sungguhpun para pelakunya sudah bebas dan selesai menjalani hukuman, tetapi perlu dipahami bahwa idiologi senantiasa ada dan tidak pernah mati. Karena itu, penting untuk mengawasi jaringan sebagai pintu penyebaran ideologi agar sulit berkembang.

Kedua; hendaknya kita senantiasa memonitor perkembangan terorisme negara tetangga khususnya yang pernah memiliki link dengan jaringan di Indonesia seperti Malaysia, Filipina, Afganistan, dan Thailand termasuk memonitor perkembangan Myanmar dan al Qaedah Bangladesh. Dalam berbagai pengalaman, jaringan terorisme yang bersifat global selalu memiliki imbas signifikan terhadap kondisi dalam negeri. Hal ini terungkap dari dinamika Filipina yang berimbas pada kondisi dalam negeri.

Ketiga; perkuat kolaborasi bilateral utamanya sharing informasi, memberikan akses seluas-luasnya untuk investigasi dan deradikalisasi terkait WNI yang terlibat di luar dan orang asing yang terlibat di Indonesia.

Keempat; peningkatan kapasitas personil penegak hukum dan intelijen.

Kelima; sharing informasi yang berimbang dengan negara sahabat.

Keenam; membangun kerjasama melalui MoU yang memberi kemanfaatan bagi pengungkapan jaringan dan investigasi dan senatiasa dievaluasi sesusai kebutuhan bersama.

Sekali lagi, tidak mudah memahami pergerakan terorisme. Diam bukan berarti mati. Mati bukan berarti habis. Untuk itu, perlu kewaspadaan nasional, regional dan global yang diikat dalam kerjasama kawasan.

Semoga bermanfaat