Deteksi Dini dan Respon Cepat Wajib Dilakukan Untuk Lumpuhkan Aksi Terorisme

Jakarta – Jelang akhir tahun 2016 ini, ancaman terorisme di Indonesia dan di seantero dunia makin meningkat. Beruntung berkat deteksi dini dan respon cepat aparat, beberapa rencana teror berhasil digagalkan dan pelakunya ditangkap. Mulai tiga kasus lone wolf di Medan, Mapolres Surakarta, penyerangan polisi di Tangerang, kemudian terungkapnya rencana aksi bom panci yang menggunakan model baru dengan menjadikan wanita sebagai ‘pengantin’, serta disergapnya kelompok teroris dengan lima bom siap ledak di Serpong, Tangerang, Rabu (21/12/2016).

Guru Besar Psikologi Universitas Indonesia Prof. Dr. Hamdi Muluk, MSi menilai deteksi dini dan respon cepat (terrorism early warning and terrorism early respon) aparat itu adalah cara terbaik untuk mencegah terjadinya aksi terorisme di Indonesia. Namun deteksi dini dan respon cepat terkait ancaman terorisme itu harus terus ditingkatkan terutama menjelang akhir tahun. Begitu juga tahun depan, Hamdi meyakini ancaman terorisme transnasional ke Indonesia akan makin besar akibat faktor ketegangan internasional.

“Itu pasti akan berimbas ke Indonesia. Akan banyak amaliyah dan seruan aksi teror di tanah air oleh kelompok radikal, khususnya ISIS. Intinya deteksi dini dan respon cepat harus selalu dilakukan menghadapi masuknya serangan paham transnasional seperti ISIS ke Indonesia,” ujar Hamdi Muluk di Jakarta, Rabu (21/12/2016).

Sebenarnya, lanjut pakar derakalisasi ini, dari dulu baik zaman Al Qaeda, Jamaah Islamiyah, dan sebagainya, bentuk paham transnasional tidak jauh beda. Mereka hanya berganti kulit, sementara ideologinya sama. Mereka juga sama bertujuan membuat negara Islam atau khilafah islamiyah, jihad, amaliyah, perekrutan, dan menggalang dana.

Namun, kata Hamdi Muluk, ancaman terorisme makin besar dengan adanya internet (dunia maya). Saat ini dunia maya telah menjadi tempat perekrutan, bertemu, dan penyebaran ajaran. Karena itu, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) wajib memberikan perhatian khusus ke dunia maya. Bentuknya, BNPT harus mengembangkan deteksi dini dan respon cepat. Selain itu, BNPT harus punya pusat data yang terintegrasi, baik itu untuk proses pemantauan, analisa, dan mengamati gerakan kelompok teroris.

“Faktanya jelas aksi-aksi terorisme yang terjadi di Indonesia akhir-akhir pelakunya teradikalisasi lewat dunia maya. Seperti ‘pengantin’ wanita kasus bom Panci di Bekasi, Dian Yulia. Ia belajar lewat facebook dan Sosmed saat jadi TKW di Hongkong dan Singapura, yang kemudian berhubungan dengan jaringan Bahrunnaim. Ia terus teradikalisasi lewat chatting melalui telegram, bahkan menikah pun dilakukan melalui dunia maya. Fakta inilah yang menjadikan dunia maya harus mendapat perhatian khusus,” ungkap Prof. Hamdi.

Ia menegaskan, dengan adanya sistem deteksi dini dan respon cepat yang terintegrasi di BNPT, maka pengambil kebijakan akan cepat tanggap mengeluarkan keputusan. Intinya, urusan terorisme harus direspon cepat. Namun ia menyadari, tugas BNPT ke depan akan sangat berat. Pasalnya tidak hanya penanggulangan terorisme dari sisi deteksi dini dan respon cepat itu, peran besar BNPT dalam program deradikalisasi juga banyak diharapkan masyarakat.

“Kedepan pencegahan terorisme polanya multi stakeholder. Artinya tidak bisa pencegahan terorisme hanya tanggungjawab BNPT. Tapi BNPT tetap menjadi badan yang bertugas mengkoordinasikan, membuat blueprint, sinkronisasi, monitoring, dan evaluasi,” tutur Prof. Hamdi.

Seperti diketahui, BNPT akan melakukan Memorandum Of Understanding (MoU) dengan 25 Kementerian dan Lembaga dalam melakukan program pencegahan terorisme awal tahun depan. Langkah itu sebagai bentuk penguatan penanggulangan terorisme dengan melibatkan seluruh stakeholder dan juga masyarakat. Menurut Prof. Hamdi Muluk, MoU ini dinilai akan menjadi momentum untuk meningkatkan kerjasama penanggulangan terorisme yang diperluas dan lebih baik sehingga masing-masing kementrian dan lembaga memiliki tanggungjawab masing-masing, dengan BNPT sebagai koordinatornya.

Contohnya, untuk pendidikan kebangsaan dan pencegahan masuknya paham radikal mulai dari SD sampai perguruan tinggi menjadi wilayah Kemendiknas dan Kemendikti. Kementrian Agama membawahi pendidikan pesantren. Menkominfo harus menyeleksi itu konten radikal di website. Ini juga bisa menjadi deradikalisasi dunia maya. Selain itu, Ormas-ormas seperti NU, Muhammadiyah, Persis, dan lain-lain harus dirangkul untuk memantau anggotanya agar tidak terjangkit paham radikal.

“Hanya dengan cara itu, peluang radikalisme dan terorisme berkembang bisa dipersempit ruang geraknya,” tukas Prof. Hamdi Muluk.