Deradikalisasi

Definisi

Deradikalisasi berasal dari kata “radikal” dengan imbuhan “de” yang berarti mengurangi atau mereduksi, dan kata “asasi”, di belakang kata radikal berarti proses, cara atau perbuatan.  Jadilah deradikalisasi adalah suatu upaya mereduksi kegiatan-kegiatan radikal dan menetralisasi paham radikal bagi mereka yang terlibat teroris dan simpatisannya serta anggota masyarakat yang telah terekspose paham-paham radikal teroris, (Deradikalisasi Nusantara, ASB)

Deradikalisasi merupakan semua upaya untuk mentransformasi dari keyakinan atau ideologi radikal menjadi tidak radikal dengan pendekatan multi dan interdisipliner (agama, sosial, budaya, dan selainnya) bagi orang yang terpengaruh oleh keyakinan radikal. Atas dasar itu, deradikalisasi lebih pada upaya melakukan perubahan kognitif atau memoderasi pemikiran atau keyakinan seseorang. Dengan demikian, deradikalisasi memiliki program jangka panjang. Ia bekerja di tingkat ideologi dengan tujuan mengubah doktrin dan interpretasi pemahaman keagamaan teroris (Barrett & Bokhari, 2009; Boucek, 2008; Abuza, 2009).

Sebagai program kegiatan, implementasi deradikalisasi dapat berbentuk upaya identifikasi, rehabilitasi, reedukasi, dan resosialisasi bagi individu atau kelompok masyarakat yang terpengaruh oleh keyakinan radikal dengan mengedepankan prinsip pemberdayaan, Hak Asasi Manusia, supremasi hukum dan kesetaraan.

Tujuan umum deradikalisasi adalah untuk membuat para teroris atau kelompok yang melakukan kekerasan bersedia meninggalkan atau melepaskan diri mereka dari aksi dan kegiatan terorisme.  Secara khusus, tujuan deradikalisasi adalah: pertama, membuat para teroris mau meninggalkan aksi terorisme dan kekerasan. Kedua, kelompok radikal mendukung pemikiran yang moderat dan toleran. Ketiga, kaum radikalis dan teroris dapat mendukung program-program nasional dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

 

Praktek Deradikalisasi di Berbagai Negara

Di Inggris, program ini telah dan masih terus digalakkan. Di negara tersebut telah berdiri Dewan Cendekiawan Muslim (DCM), satu wadah atau organisasi yang memprioritaskan gerakannya untuk memperkenalkan Islam yang sejati kepada komunitas non-Muslim di Inggris. Tugas pokok DCM adalah memikirkan langkah-langkah deradikalisasi warga negara muslim Inggris.

Yaman dianggap sebagai pionir dalam program deradikalisasi. Negara ini mulai menjalankan program deradikalisasi pada tahun 2002 dengan membentuk Komite untuk Dialog (Committee for Dialogue). Program ini memprioritaskan dialog dan debat intelektual, dengan tujuan untuk meyakinkan kepada para aktivis kekerasan atau mereka yang tersangkut terorisme bahwa pemahaman yang mereka miliki adalah salah. Pelopor program ini adalah Hamoud al-Hittar, yang beranggapan bahwa “Jika anda mempelajari terorisme di dunia, Anda akan melihat bahwa ada teori intelektual di belakangnya. Dan segala bentuk ide intelektual juga bisa dikalahkan oleh intelektual.” Inilah yang menjadi argumentasi ilmiah model deradikalisasi dengan konsep dialog di Yaman.

Arab Saudi mendesain model program deradikalisasi yang lebih komprehensif dibanding yang dilakukan Yaman, melalui apa yang dikenal dengan istilah PRAC (Prevention, Rehabilitation and After Care) (pencegahan, rehabilitasi dan perawatan pasca program), yang dilakukan oleh suatu lembaga Lajnah al-Munashahah (Komite Penasihat). Lembaga ini dibentuk pada tahun 2003 dan bernaung dibawah Departemen Dalam Negeri (di bawah pimpinan Deputi II Kabinet dan Menteri Dalam Negeri, Pangeran Nayif bin Abdul Aziz) dan Biro Investigasi Umum. Tugas utama Lajnah al-Munashahah adalah memberikan nasihat dan berdialog dengan para narapidana kasus terorisme di penjara-penjara Arab Saudi. Lajnah al-Munashahah terdiri dari 4 komisi atau sub komite, yaitu: Lajnah Ilmiyyah (Komisi Ilmiah); Lajnah Amniyyah (Komisi Keamanan) Lajnah Nafsiyyah Ijtima’iyyah (Komisi Psikologi dan Sosial) dan Lajnah I’lamiyyah (Komisi media atau Penerangan).

Pemerintah Arab Saudi melaporkan, hampir 3.000 tahanan berpartisipasi dalam program deradikalisasi, dan sekitar 1.400 telah meninggalkan keyakinan radikal dan telah dibebaskan. Namun, 20 % dari mereka yang lulus melalui program ini telah kembali ke terorisme.[1] Marisa L. Porges, berpendapat bahwa meskipun banyak yang dihasilkan dari program deradikalisasi narapidana terorisme di Arab Saudi, namun masih mengambarkan ketidaksempurnaan. Meskipun demikian, program rehabilitasi seperti yang berlangsung di Arab Saudi tetap memiliki tempat dalam upaya yang lebih besar untuk menangani ancaman teroris.

Program Singapura terdiri dari beberapa komponen, yaitu rehabilitasi psikologis, rehabilitasi agama, rehabilitasi sosial, serta keterlibatan masyarakat dan dukungan keluarga. Proses rehabilitasi psikologis dimulai di penjara dengan mengevaluasi narapidana secara teratur. Sebagaimana program deradikalisasi di Yaman dan Arab Saudi, program deradikalisasi Singapura mencakup pula unsur dialog teologis, di mana narapidana terorisme terlibat dalam suatu dialog teologis. Untuk tujuan ini, pihak berwenang meminta bantuan dari komunitas Muslim Singapura yang memiliki mandat dan otoritas yang diperlukan. Dalam kaitan ini, pada tahun 2003 di Singapura didirikan Religious Rehabilitation Group (RRG).

Konsep dialog teologis dengan tujuan meruntuhkan persepsi teroris yang salah dan melakukan konstruksi ulang ideologi yang mendasari tindakan radikal juga dilakukan oleh Pemerintah Mesir. Program deradikalisasi terhadap anggota JI Mesir dilakukan oleh pemerintah dengan memfasilitasi pertemuan diantara para tokoh JI Mesir dengan ulama-ulama Al-Azhar. Hasilnya, inisiatif untuk menghentikan aksi kekerasan pun muncul di kalangan para pemimpin JI Mesir. Inisiatif ini dikenal dengan istilah al-mubadarah liwaqfil unfi (proposal atau maklumat penghentian aksi kekerasan). Pada tahap selanjutnya, maklumat deradikalisasi di atas dijadikan sebagai buku utuh yang membongkar ulang sejumlah doktrin keagamaan yang kerap dijadikan sebagai pijakan dan pembenaran oleh kelompok-kelompok teroris dalam menjalankan aksinya. Tokoh-tokoh JI Mesir juga menerbitkan “serial buku” pertobatan yang lain seperti Hurmatul Ghuluw fi Ad-din wa Takfiril Muslimin (Pengharaman Radikalisme Keagamaan dan Pengkafiran Sesama Umat Islam), Tas1iythu1Adhwa’Ala ma Waqaa fi Al Jihad min Akhta’ (Mengungkap Kesalahan dalam Memahami Jihad), An-Nushuh wa At-Tabyin fi Tashihi Mafahimi AI-Muhtasibin (Nasehat Deradikalisasi dalam Penegakan Amar Makruf dan Nahi Mungkar) dan lydlahul Jawab ‘an Su’alati AM Al-Kitab (Jawaban atas Pertanyaan tentang Agama-Agama Samawi) (Deradikalisasi Nusantara, ASB).

Deradikalisasi di Indonesia

Secara spesifik, strategi di bidang deradikalisasi diarahkan kepada pencapaian dua tujuan utama: 1) Kelompok Inti dan Militan meninggalkan cara-cara kekerasan dan teror dalam memperjuangkan misinya; 2) Kelompok Inti, Militan dan Pendukung memoderasi paham-paham radikal mereka sejalan dengan semangat kelompok Islam moderat dan cocok dengan misi-misi kebangsaan yang memperkuat NKRI (Jakstra Deputi I BNPT).

Tujuan Program Deradikalisasi yang dilakukan oleh BNPT adalah:

  1. Membina narapidana terorisme agar meninggalkan pandangan, pemikiran, sikap, dan tindakan radikal terorisme melalui pendekatan agama, sosial, budaya, dan ekonomi;
  2. Memberikan pencerahan pemikiran kepada narapidana terorisme dengan pengetahuan agama yang damai dan toleran serta wawasan kebangsaan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  3. Membina kemandirian kepada narapidana terorisme berupa pembekalan keterampilan, keahlian, dan pembinaan kepribadian;
  4. Mempersiapkan narapidana terorisme sebelum kembali dan hidup berdampingan dengan masyarakat;
  5. Membina dan memberdayakan keluarga narapidana terorisme dan masyarakat agar dapat menerima kembali mantan narapidana teroris untuk dapat bersosialisasi di tengah masyarakat;
  6. Memberdayakan mantan narapidana terorisme, keluarga, dan masyarakat dengan pendekatan agama, sosial, pendidikan, budaya, dan ekonomi;
  7. Memberdayakan masyarakat dalam rangka meninggalkan paham dan sikap radikal terorisme yang berkembang di tengah masyarakat;

Pelaksanaan deradikalisasi di Indonesia dirumuskan sebagai suatu program yang utuh, integratif, dan berkesinambungan dengan dua klasiifikasi, yaitu Deradikalisasi di Luar Lapas dan Deradikalisasi di Dalam Lapas. Deradikalisasi di Luar Lapas mencakup tahap identifikasi, pembinaan kontra radikalisasi, dan monitoring dan evaluasi. Sementara Deradikalisasi di Dalam Lapas meliputi tahap identifikasi, rehabilitasi, reedukasi, resosialisasi, dan monitoring dan evaluasi. Program Deradikalisasi dilaksanakan secara bertahap agar tujuan dan sasaran dapat dicapai secara efektif.

Deradikalisasi di dalam Lapas memiliki sasaran para Narapidana tindak pidana terorisme yang tersebar di berbagai lapas di Indonesia. Sementara, deradikalisasi di luar Lapas memiliki sasaran :

  1. Individu, yaitu seseorang yang diindikasikan berpikiran radikal-teroris;
  2. Kelompok, yaitu sekumpulan orang yang bergabung dalam oraganisasi yang diindikasikan berpikiran radikal-teroris;
  3. Keluarga, yaitu keluarga inti dari individu atau kelompok yang terindikasi radikal. Keluarga ini juga dapat diperluas pada keluarga terdekatnya jika dipandang bahwa keluarga terdekat tersebut juga terindikasi berpaham radikal atau memberikan dukungan terhadap paham/aksi radikal terorisme;
  4. Mantan Napi Teroris, yaitu orang yang telah bebas dari lapas sebagai napi teroris. (Blueprint Deradikalisasi, BNPT)

 

[1] Leila Ezzarqui, Opcit, hal. 27