DERADIKALISASI: UPAYA MEMBUMIKAN SYARI’AT ISLAM (Bag 1)

“Tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak paham”, ungkapan singkat tersebut banyak dialami masyarakat Indonesia, terutama mereka yang menyuarakan penerapan syari’at Islam. Pada prinsipnya, semua hamba tuhan wajib menerapkan Syari’at Allah SWT di manapun berada, sesuai dengan kondisi, kemampuan, dan kapasitas yang dimilikinya. Syari’at Islam memiliki karakteristik elastis yang sesuai dengan setiap perkembangan zaman dan tempat; tidak kaku, tidak menyeramkan, humanis, liberal, dan akomodatif dengan perkembangan.

Karakteristik yang dimiliki syari’at Allah tersebut dapat dirasakan, disuarakan, dipahami dan diamalkan jika hal itu dikaji, didalami dan dianalisa dengan berbagai strategi pendekatan, di antaranya dengan memahami bahasa Arab dengan berbagai macam cabang keilmuannya, mendalami ilmu-ilmu alquran, menguasai epistimologi hukum Islam (‘Ilmu Ushul al-Fiqh) serta tidak mengabaikan ilmu kemasyarakatan (sosiologi) dan juga dari sisi antropologi.

Bila diperhatikan dan diamati lebih dekat, program deradikalisasi  –dengan berbagai tantangan dan kekurangannya– yang dilaksanakan oleh pemerintah Republik Indonesia melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) merupakan salah satu strategi ampuh untuk membumikan syari’at Allah SWT. Dalam program ini, semua orang yang pernah termakan radikalisme dirangkul dan dituntun untuk kembali ke jalan yang benar.

Meski demikian, niat dan usaha yang baik ini ternyata masih rawan disalahpahami oleh masyarakat. Sebagian masyarakat di Indonesia nyatanya masih belum mengetahui hakekat, tujuan, serta sasaran program deradikalisasi, sehingga muncul kesalahpahaman di tengah-tengah masyarakat. Bahkan tidak jarang, berbagai fitnah menyeruak tanpa melalui proses klarifikasi (tabayyun) terlebih dahulu.

Tudingan yang banyak muncul di berbagai media terkait dengan program deradikalisasi antara lain adalah; anggapan bahwa deradikalisasi adalah upaya mengadu domba sesama umat Islam, deradikalisasi dimaknai secara serampangan seagai DeIslamisasi, deradikalisasi sebagai proyek amputasi syari’at Islam dan memecah belah umat, deradikalisasi sebuah proyek barat merubah sikap umat muslim di Indonesia, deradikalisasi adalah pendangkalan akidah, dll. Deretan praduga yang dialamatkan kepada program deradikalisasi ini dilakukan dengan tanpa pernah sedikitpun melakukan strategi ‘tabayun’ (QS al-Hujurat 49 : 6).

Deradikalisasi adalah upaya meluruskan ide, sikap dan cara pandang radikal yang cenderung memaksakan kehendak atas nama agama dan mengemasnya dengan bahasa agama yang diinterpretasi secara sempit, parsial, subjektif, serta menyalahkan pihak yang tidak sepaham dengannya. Kelompok radikalisme terlalu gampang mengkafirkan kelompok lain yang berseberangan pandangan, mereka menanamkan kebencian, menebarkan permusuhan, serta sangat eksklusif dan ekstrim dalam memahami dan mengamalkan agama, hal mana sangat dilarang Allah SWT (QS. Al-Maidah : 77).

Perilaku radikal seperti itulah yang perlu diwaspadai oleh seluruh rakyat Indonesia, terutama generasi muda yang menjadi harapan agama, bangsa dan negara. Harapannya, agar mereka tidak menampilkan wajah agama dengan tampilan yang menyeramkan, karena seharusnya agama dipahami dan diamalkan dengan cara-cara sopan nan elegan. Tidak disesaki dengan ajaran permusuhan dan penghancuran.

Perilaku beragama yang ekstrim terjadi manakala semangat beragama tidak dibarengi dengan pemahaman beragama yang kaffah, holistic, ‘radikal’, komprehensif dan kritis akomodatif. Di sinilah pentingnya komunikasi produktif, koordinasi, kolaborasi, kontribusi serta komit (istiqomah) dalam menghadapi problematika umat, termasuk persoalan bangsa dan Negara, serta saling mencerahkan satu sama lainnya sebagai warga negara yang bermartabat, berkeadilan dan beradab.