Deradikalisasi dalam Tiga Dimensi

Banyak negara yang memberikan apresiasi kepada Indonesia atas hard approach; upaya penindakan dan penegakan yang dijalankan oleh aparat keamanan, satuan tugas detasemen khusus 88 anti teror Polisi Republik Indonesia dan satuan tugas penanggulangan terorisme Tentara Nasional Indonesia dan satuan tugas anti teror Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan aparat penegak hukum lainnya dalam menanggulangi terorisme. Semua aksi teroris dapat ditangani dengan mengantarkan para terduga pelaku teror ke hadapan majelis hakim, hingga pelaku teror mendapatkan vonis yang berketetapan hukum dan menjeratnya ke dalam lembaga pemasyarakatan.

Berhasil, sukses, sigap dan bekerja cepat, demikian simpulan yang dialamatkan banyak masyarakat dan media lokal, regional dan internasional kepada seluruh upaya dan kerja keras kepolisian, meski tidak sedikit anggota kepolisian yang gugur dalam menangani tindak pidana terorisme di Indonesia. Namun perlu dipahami bahwa terorisme bukan kejahatan biasa, terorisme adalah kejahatan luar biasa, kejahatan kemanusiaan dan kejahatan lintas negara, juga kejahatan terhadap ideologi negara.

Patah satu tumbuh seribu, demikian nampaknya semangat dan militansi yang dimiliki oleh para pelaku teror yang dengan lihai mengemas aksi kejahatan dengan bahasa dan simbol keagamaan yang seolah oleh masyarakat awam dinilainya sebagai sebuah aksi suci, upaya jihad yang disyariatkan dalam Islam. Padahal Islam dan juga agama lainnya tidak memiliki paham radikal anarkis, apalagi aksi bom bunuh diri.

Namun demikian, keberhasilan aparat penegak hukum menindak pelaku teror, tidak diikuti dengan upaya mencegah munculnya aksi kejahatan kemanusiaan tersebut, penanaman kebencian – inhate speech masih saja terus menyebar di tengah masyarakat, upaya cuci otak masih gencar terjadi di kalangan generasi muda terutama kaum terpelajar di sekolah menengah, hingga perguruan tinggi. Ratusan generasi muda yang berhasil direkrut yang akhirnya bersimpati kepada aksi anarkisme, radikal ekstremis dan bergabung ke wilayah konflik terjadinya aksi kejahatan yang massiv di Suriah dan Irak.

Tim densus 88 AT kembali menahan perekrut anggota dan pendukung ISIS di wilayah Bekasi Jawa Barat, Rabu tanggal 28 September 2016, terduga melakukan perekrutan khusus  wanita, pada tanggal 22 September 2016 aparat keamanan berhasil menggagalkan rencana mereka untuk memberangkatkan warga negara Indonesia menuju Suriah dan Iraq.

Deradikalisasi : Solusi Alternatif

Upaya mengimbangi keberhasilan aparat penegak hukum menindak terduga teroris, pemerintah melalui BNPT melaksanakan deradikalisasi atau pembinaan kepada masyarakat yang terpengaruh dengan bujuk rayuan perekrut anggota ISIS, ajakan dan godaan anggota jaringan radikal anarkis, yang terus dilancarkan baik dengan cara konvensional yaitu ajakan bergabung bersama kelompok radikal anarkis dari rumah ke rumah, maupun dengan cara yang lebih canggih yang saat ini lebih kencang dipergunakan yaitu melalui media sosial.

Atas semua upaya perekrutan tersebut, deradikalisasi memiliki tiga dimensi, pertama deradikalisasi sebagai strategi, kedua deradikalisasi sebagai program dan ketiga deradikalisasi sebagai institusi kelembagaan. Banyak upaya yang telah dirumuskan, direncanakan, dilaksanakan, dimonitoring dan dievaluasi dalam menjalankan deradikalisasi, namun belum maksimal, belum utuh dan terutama belum adanya sinergitas kelembagaan dalam melaksanakan deradikalisasi baik sebagai strategi maupun sebagai program yang menyeluruh, komprehensif dan holistik integral. Deradikalisasi dalam tiga dimensi yakni;

Pertama, Deradikalisasi sebagai strategi memiliki dua upaya kongkrit, pertama kontra radikalisasi dan kedua disanggagement. Kontra radikalisasi ditujukan kepada masyarakat secara umum, seluruh komunitas yang belum terpapar oleh paham radikal anarkis, sasaran utamanya adalah generasi muda yang sedang menuntut ilmu pengetahuan pada sekolah menengah, lembaga pendidikan keagamaan dan lembaga pendidikan tinggi universitas dan institut.

Selain kaum terpelajar pada tingkat pendidikan tersebut, perlu pula melakukan kontra radikalisasi kepada para wanita, sebab perekrut yang beraksi di Bekasi yang tertangkap pada 28 September 2016 sasarannya adalah kaum hawa. Tempat melakukan aksi bisa di mana saja, bisa di rumah tinggal, bisa juga di tempat kost, ada juga di sekolahan dan kampus, bahkan tidak segan menyebarkan virusnya di masjid dan di pesantren.

Kontra radikalisasi merupakan upaya meningkatkan imunitas dan daya tahan masyarakat untuk tidak dengan mudah terpengaruh oleh bujukan perekrut baik secara konvensional maupun melalui media sosial. Paham radikal anarkis laksana virus yang merusak jaringan otak ideologi manusia, bila daya tahan masyarakat kuat, pemahaman keagamaan dan kesadaran berbangsa serta kewaspadaan dini yang tangguh dan kokoh, maka serangan virus ideologi radikal anarkis tidak akan menyerang keutuhan, meronrong persatuan dan kesatuan masyarakat dalam beragama, berbangsa dan bernegara.

Sementara disanggagemen merupakan cara kedua dari deradikalisasi, langkah ini berupaya menanggalkan paham radikal anarkis, melepaskan diri dari jeratan ideologi negara agama dan tetap mengokohkan ideologi negara bangsa.

Ada juga pandangan yang lebih mengutamakan proses penanggalan paham radikal tersebut, tetapi deradikalisasi lebih dalam mengantarkan jiwa, mindset dan aksi seorang radikalis anarkis. Jika disanggagement baru sampai pada pelucutan paham radikal dan kembali kepada ideologi negara bangsa dan meninggalkan serta menanggalkan ideologi negara agama, maka deradikalisasi selain meninggalkan paham radikaal anarkis diikuti dengan upaya mengajak jaringan mereka untuk kembali pada jalan yang benar. Terlepas dari cara memahami dan memaknai kedua istilah tersebut, tidak ada kata salah dalam mengoptimalkan upaya mencegah, dan yang tidak boleh salah adalah upaya penindakan, salah tangkap atau salah tembak, jelas tidak memiliki SOP.

Kedua, Deradikalisasi sebagai program memiliki dua rumusan program, yaitu rumusan program deradikalisasi secara nasional dan yang kedua rumusan program deradikalisasi secara kelembagaan. Secara nasional deradikalisasi dapat diperankan oleh semua kementerian dan lembaga, dalam blue print deradikalisasi telah dirinci di setiap kementerian dan lembaga yang dapat direalisasikan dalam program masing-masing K/L. Posisi BNPT berperan sebagai lembaga sipil negara yang mengkoordinasikan upaya pencegahan, koordinasi penegakan hukum dan peningkatan hubungan kerja sama internasional.

Adapun program derasikalisasi secara internal kelembagaan dalam hal Ini BNPT pada kediputian I terdapat direkturat deradikalisasi dengan sasaran utama adalah pembinaan dalam lembaga pemasyarakatan bagi narapidana teroris, dan pembinaan di dalam masyarakat bagi para mantan teroris, mantan napi teroris, keluarga dan jaringan radikal anarkis.

Ketiga, Deradikalisasi sebagai institusi kelembagaan, sejak akhir tahun 2010 Badan Nasional Penanggulangan Terorisme memiliki struktur deradikalisasi sebagai institusi pada level direkturat, berdasarkan peraturan Presiden RI Nomor 46 Tahun 2010 direkturat deradikalisasi membawahi sub direkturat penangkalan dan sub direkturat resosialisasi rehabilitasi.

Kepala kepolisia Republik Indonesia, Jenderal Polisi Drs Tito Karnavian, Ph D, saat menjabat sebagai Kepala BNPT menjadikan deradikalisasi sebagai program unggulan dalam menanggulangi terorisme, hal tersebut ditindaklanjuti dengan dicantumkannya program deradikalisasi dalam naskah akademik perubahan Undang-Undang RI. Nomor 15 Tahun 2003 tentang tindak pidana terorisme yang saat ini masih belum selesai dibahas oleh komisi 3 DPR.

Upaya lain Jenderal Tito Karnavian dalam penanggulangan terorisme adalah merumuskan grand design deradikalisasi, sebuah upaya holistik menyeluru dari hulu ke hilir, grand design deradikalisasi meliputi 5 aspek. Pertama perekrut, kedua ideologi, ketiga sasaran perekrutan, keempat media yang dipergunakan, kelima konteks masyarakat. Upaya holistik yang dirintis saat ini oleh pelanjut Jenderal Tito Karnavian adalah program Pesantren Bersinar dan penguatan koordinasi dengan sentra masyarakat sipil.

Kedua langkah strategi tersebut dinahkodai langsung oleh Kepala BNPT saat ini, Komisaris Jenderal Drs. Suhardi Alius, MH. Kedua upaya tersebut diharapkan menjadi pilot project pada penentuan program kementerian dan lembaga negara pada tahun anggaran selanjutnya.

Masih terkait dengan deradikalisasi sebagai institusi, penguatan kelembagaan – strengthening institution dapat dilakukan dengan dua cara; pertama berupaya merekonstruksi sub direkturat di bawah direkturat deradikaalisasi, berupa perubahan nama dan penambahan subdit menjadi tiga serta memperkuat dengan jabatan kepala seksi di bawah subdit, usulan tersebut adalah Pertama subdit pembinaan dalam lapas dengan kepala seksi identifikasi napi kepala seksi  pembinaan napi. Kedua subdit pembinaan dalam masyarakat dengan kepala seksi identifikasi dalam masyarakat dan kepala seksi pembinaan dalam masyarakat. Ketiga subdit pemberdayaan masyarakat dengan membawahi kepala seksi penelitian, pengkajian dan monev dan kepala seksi pelibatan masyarakat.

Penguatan kelembagaan yang kedua adalah kementerian pemberdayaan aparatur negara dan reformasi birokrasi bersama bappenas, badan administrasi kepegawaian negara serta kementerian keuangan menjadikan direkturat deradikalisasi sebagai sebuah kedeputian dengan membawahi tiga direkturat, hal tersebut sangat sejalan dengan harapan semua komponen bangsa yang selalu menjadikan isu deradikalisasi sebagai topik yang mengemuka serta bahasan yang menarik oleh semua kalangan.

Bahkan saat Jenderal Tito menjabat sebagai Kepala BNPT, ia menegaskan bahwa deradikalisasi merupakan core bussiness BNPT dan beliau telah merumuskan grand design deradikalisasi yang telah penulis sebutkan di atas dengan lima sasaran pembahasan. Penguatan kelembagaan tersebut baik solusi yang pertama maupun solusi yang kedua bukan pada penting tidaknya dikuatkan akan tetapi terletak pada kemauan para penentu kebijakan untuk berbuat lebih luas dan membawa pengaruh besar terhadap upaya penanggulangan terorisme demi keutuhan NKRI dan ketahanan nasional yang tangguh dan kokoh.