Deradikalisasi : Pembinaan Wawasan Keagamaan

Bahasa dakwah yang sejuk, damai, penuh kasih sayang, merupakan pilihan alternatif yang tepat dipergunakan dalam melakukan deradikalisasi (pembinaan) dan penguatan wawasan keagamaan yang lebih membumi bagi para mantan warga binaan lembaga pemasyarakatan teroris dan keluarga yang tersebar di seluruh wilayah negara kesatuan republik Indonesia.

Mereka yang telah menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan dengan vonis yang bervariasi mulai dari 4 tahun hingga vonis hukuman 20 tahun, bahkan tidak sedikit yang divonis seumur hidup dan hukuman mati seperti yang diterima trio bom bali 1.

Sanksi yang diputuskan di pengadilan dan dijalani dalam lembaga pemasyarakatan, belum menyelesaikan masalah, vonis tersebut baru merupakan pendekatan hard approach.

Langkah selanjutnya adalah pendekatan soft approach, terutama bagi mereka yang telah menjalani hukuman, pendekatan yang humanis, pendekatan dengan hati yang lembut dan penuh kasih sayang, pendekatan yang mendahulukan hati dan pikiran atau winning heart and mind.

Dipahami bersama bahwa yang menyebabkan seseorang menjadi radikal anarkis kemudian meningkat jadi teroris adalah paham radikal. Fenomena paham radikal muncul dan lahir dari proses antara kondisi kehidupan yang tidak menentu, galau dan bahkan stress dengan adanya paham-interpretasi keagamaan yang tidak holistik integral dan semesta.

Gabungan dari kedua kondisi tersebut memaksa lahirnya perilaku yang anarkis dengan menjadikan bahasa dan tafsiran keagamaan sebagai kemasan dan simbol pembenaran.

Istilah radikalisme agama tidak sesuai dengan nilai, moral dan etika kehidupan, antara kata radikalisme dan kata agama tidak bisa digandengkan atau disebut sebagai satu kesatuan yang memiliki makna yang melambangkan prilaku anarkisme buah dari kejahatan melawan negara dan kejahatan menghancurkan kemanusiaan.

Radikalisme merupakan sikap yang ingin mewujudkan perubahan dengan cepat –tanpa memahami kondisi bangsa dan masyarakat– tetapi menggunakan segala macam cara, menggunakan kekerasan dan mengatasnamakan agama. Jika sebuah sikap yang ingin melakukan perubahan dengan strategi yang cepat, semua pihak dapat menerima, namun jika menggunakan kekerasan dan membawa-bawa nama agama. Di sinilah letak permasalahannya yang membutuhkan sinergitas antar semua pihak dalam menghadapi, mengatasi agar dapat meminimalisir perkembangan dan penyebaran radikalisme dalam masyarakat.

Sedangkan istilah agama merupakan kumpulan nilai dan etika yang dapat menuntun manusia untuk hidup lebih teratur, tenang, damai dan tenteram sejahtera. Tatanan yang menuntun kehidupan manusia agar memiliki tata karama, prilaku dan akhlak yang terpuji, menghargai hidup dan kehidupan sesama ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa.

Agama hadir dalam kehidupan manusia untuk saling menghargai perbedaan, bukan memaksakan perbedaan, bukan pula menyamakan pendapat tetapi saling memahami bahwa dalam pandangan yang diyakini benar memiliki potensi salah, demikian pula sebaliknya jika dianggap pihak lain salah harus diyakini bahwa pandangan orang lain memiliki potensi yang benar.

Membangun opini dan mengembalikan pemahaman yang benar berdasarkan nilai sakral banyak agama dan nilai universal kemanusiaan, perlu ditingkatkan dalam semua level usia dan tingkat pendidikan yang dapat mewujudkan harapan hidup yang diliputi kasih sayang dan impian hidup yang dinafasi perdamaian.

Penanaman nilai-nilai agama yang sesuai dengan kondisi keberadaan kita sebagai bangsa Indonesia harus terus digalakkan, agar tidak terjadi distorsi pemahaman dan distorsi aflikasi yang tidak seirama dengan nilai-nilai kearifan lokal bangsa Indonesia.

Hal tersebut dapat pula mengikis interpretasi monopolis tentang banyak istilah yang suci dalam kitab suci di antaranya jihad dan hijrah,  namun ditelanjangi dengan pemaknaan yang menakutkan, terbatas, kaku, dan sempit.

Deradikalisasi mantan warga binaan pemasyarakatan teroris dengan penguatan wawasan keagamaan harus dilakukan oleh semua pihak yang berkompeten, tokoh agama, Majelis Ulama Indonesia, memiliki tanggung jawab moril untuk menyampaikan nilai Islam yang lebih membumi.

MUI secara struktur organisasi dan kultur kemasyarakatan harus pro aktif menjalankan peran dan fungsinya untuk selalu menuntun dan membimbing masyarakat Indonesia menuju suasana kehidupan  keberagamaan pluralis yang damai dan tenteram, serta mewujudkan suasana kehidupan kebangsaan yang tangguh dan kokoh.

Pemerintah dalam hal ini direkturat deradikalisasi BNPT sebagai badan sipil negara yang bertugas mengkoordinasikan  pencegahan, penegakan hukum dalam  penanggulangan terorisme, membangun komunikasi dan memperkuat kerja sama yang produktif dalam mencerahkan para mantan teroris, matan nara pidana teroris, keluarga dan jaringan yang menyebar luas di dalam masyarakat dan telah menjalani proses tahanan dalam lembaga pemasyarakatan.

 

Penyuluh Agama Perekat dalam Masyarakat

Kementerian agama RI yang memiliki struktur organisasi pada tingkat propinsi (kanwil agama), kabupaten (kandepag) hingga pada level kecamatan (KUA) dengan alat pelengkap lainnya seperti penyuluh yang berjumlah 60 ribu orang penyuluh keagamaan, dapat bersinergi dengan BNPT dalam memaksimalkan program deradikalisasi.

Sinergitas antara direkturat deradikalisasi dengan program deradikalisasi dan pembinaan dijalankan dalam bentuk memaksimalkan peran penyuluh keagamaan berperan memberikan penyuluhan dan pendampingan kepada para mantan napi teroris dan keluarganya yang telah kembali ke dalam masyarakat, meski masih ada diantara mereka yang ditolak oleh masyarakat di tempat mereka berdomisili.

Peran penyuluh agama, majelis ulama Indonesia dan tokoh agama di daerah bukan hanya menyampaikan dakwah secara umum, saling menasehati, saling beramar ma’ruf dan nahi mungkar.

Namun para penyuluh juga memiliki peran ganda untuk menjadi ‘perekat’ antara para mantan napi teroris dengan masyarakat secara umum untuk saling memahami, menerima dan berbaur menjadi satu masyarakat Indonesia, masyarakat yang hidup dalam naungan falsafah negara pancasila, masyarakat yang menyatu dalam keragaman dan beragam dalam persatuan, masyarakat yang hidup dibawah naungan nilai-nilai agama dan selalu menghargai martabat kemanusiaan.

Para penyuluh keagamaan pada level kantor urusan agama di kecamatan tentu harus memiliki wawasan keagamaan yang pluralis akomodatif, modernis akademis dan komprehensif holistik.

Harapan tersebut dapat diwujudkan dengan strategi sharing informasi, belerja sama bukan sama-sama kerja dengan direkturat deradikalisasi BNPT yang telah memiliki informasi dan identifikasi sasaran pembinaan.