Cegah Radikalisme & Intoleransi Kurikulum Pelajaran Agama Harus Ditinjau

Cegah Radikalisme & Intoleransi, Kurikulum Pelajaran Agama Harus Ditinjau

Yogyakarta – Pendiri Maarif Institute Prof. Ahmad Syafii Maarif menilai, radikalisme dan intoleransi sudah muncul di sekolah. Oleh sebab itu, perlu adanya pendekatan yang lunak untuk membendung penyebaran radikalisme yang lebih luas.

Hal itu dia sampaikan di sela-sela acara pembukaan pelatihan pengawas sekolah program penguatan kapasitas auditor dan pengawas sekolah dalam mempromosikan toleransi dan multikulturalisme di P4TK Matematika Kemendikbud, Jalan Kaliurang Km 6, Sleman, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogjakarta (DIY).

Radikalisme dan intoleransi di sekolah harus dibendung. Anak-anak harus disadarkan,” ujar Laki-laki yang akrab disapa Buya Syafii, seperti dikutip Kompas.com, Senin (25/3/2019).

Mantan Ketua PP Muhammadiyah itu menyebut cara mengatasi radikalisme di sekolah bukan dengan cara kekerasan. Namun dengan cara yang lebih lunak. Buya mengistilahkannya sebagai bahasa hati.

Baca juga : Cegah Radikalisme di Sekolah, Mendikbud & Menag Tinjau Ulang Kurikulum Pendidikan Agama

“Lebih lunak dengan bahasa hati. Dari yang saya ketahui, teror yang membunuh banyak orang itu bisa didekati dengan bahasa hati. Mereka sadar. Memang perlu kesabaran, tugas guru, pengawas, kepala sekolah menjadi sangat penting,” katanya.

Dia menilai, jika radikalisme maupun intoleransi dibiarkan tumbuh, maka tak hanya akan merusak bangsa. Namun juga sama saja menggali kebutuhannya sendiri.

“Kalau kita biarkan kelompok radikal kekerasan, bukan saja akan merusak bangsa tapi membunuh hari depan mereka sendiri. Sikap yang tidak toleran, tidak suka Bhineka Tunggal Ika, itu akan menggali kuburan masa depan mereka sendiri,” lanjut Buya.

Pelajaran agama di sekolah, lanjutnya, juga perlu ditinjau kembali. Supaya tak sekadar memenuhi pengetahuan saja, namun juga keefektifannya.

“Agama itu jangan hanya untuk memenuhi wilayah atau ranah kognitif pengetahuan. Tapi lebih pada efektif, kepada moral, etika, rasa, itu harus. Selama ini mungkin menjadi kering, karena lebih ke pengetahuan. Otak diisi tapi hati dibiarkan terlantar,” tutupnya.