Berebut Teks Suci

Dalam konteks propaganda paham radikal, ada dua isu penting yang menjadi sajian utama yang selalu disebarkan dengan tafsir yang negatif yaitu, Negara Kafir dan Hijrah. Dalam konteks, Negara kafir landasan tekstual yang selalu dirujuk adalah surah al Maidah : 44 “Barang siapa yang tidak berhukum dengan Hukum yang diturunkan Allah, maka termasuk kedalam golongan orang-orang kafir”.

Tentu saja ayat tersebut akan selalu dijadikan justifikasi setiap narasi yang dikembangkan dalam merongrong kedaulatan NKRI. Meskipun sudah dimafhum bahwa dalam konteks ayat tersebut ulama telah bersepakat bahwa Pancasila yang menjadi dasar Negara Indonesia telah mengadopsi nilai moralitas dan hukum-hukum yang tertuang dalam Al-Qur’an dan disadari secara penuh bahwa Indonesia bukanlah Negara yang berlandaskan Syariat Islam secara formal.

Konteks yang kedua adalah makna Hijrah yang ditafsirkan oleh kelompok radikal secara dangkal, bahkan tidak memahami asbabun nuzul dan asbabul wurud (sebab musabab dan urutan yang melatari turunnya Wahyu/Firman Allah kepada Nabi Muhammad). Dikatakan bahwa Hijrah adalah mendirikan Daulah Islam kemudian menerapkan hukum Syariat Islam. Sudah barang tentu ini adalah pemaknaan yang salah dalam konteks memaknai Hijrah yang sesungguhnya. Namun karena konteks Negara Kafir dan Hijrah yang disebarkan oleh kelompok radikal melegitimasi perkataan tokoh semisal dalam hal ini mantan pengurus MUI dan seorang akademisi, maka tafsir yang mereka sebarkan seolah sebuah kebenaran dan akan menyebabkan masyarakat cepat terpapar paham yang salah.

Metode propaganda dengan menggunakan suara tokoh yang pernah menjabat di organisasi keagamaan atau organisasi kemasyarakatan menjadi salah satu strategi kelompok radikal untuk semakin meyakinkan dan mempengaruhi masyarakat melalui tafsir-tafsir keliru yang mereka yakini. Dalam kasus ini misalnya perkataan salah satu tokoh yang mencomot ayat suci Al-Qur’an dengan mengatakan bahwa “karena presiden, karena menteri agama tidak mau berhukum Syariat maka Indonesia dicap Negara kafir oleh Al-Qur’an”.

Berebut tafsir kebenaran teks suci merupakan cara kelompok radikal untuk mempengaruhi masyarakat. Dan Narasi seperti yang dilontarkan oleh tokoh seolah menjadi justifiksi dan angin segar kelompok radikal. Mereka seolah menemukan pembenaran terhadap tafsir yang sejak lama mereka yakini.

Dalam konteks berebut makna teks suci ini, ada dua strategi yang mereka mainkan. Pertama, mereka melakukan pembenaran dengan memilintir komentar tokoh agama guna menguatkan tafsir mereka. Pernyataan tokoh dalam konteks tertentu dipotong dan diframing sedemikian rupa sehingga menjadi justifikasi pembenaran terhadap tafsir yang mereka yakini.

Kedua, memang ada tokoh radikal yang selama ini dijadikan legitimasi bagi setiap tafsir yang mereka lakukan. Tentu saja, ini patut menjadi perhatian kita bersama. Ada banyak postingan propaganda kelompok radikal yang menggunakan justifikasi tokoh dengan pemikiran keras. Banyak juga pengajian online dengan pemikiran yang keras yang mereka upload dengan tingkat pembaca yang tidak sedikit.

Salah satu ciri dari tokoh berpaham keras ini misalnya ketidakseganan mereka dalam melancarkan kritik keras terhadap ulama dan tokoh agama moderat. Bahkan sesekali fitnah ditebar untuk melegitimasi ketokohan ulama dengan pemikiran moderat.

Konteks perebutan makna dan tafsir teks suci di dunia maya memang sedang trend. Beberapa kelompok terus menggerus makna yang hakiki dengan menanamkan tafsir yang dangkal. Dalam konteks perebutan makna teks suci inilah, masyarakat khususnya generasi muda penikmat dunia maya harus lebih mengedepankan kehati-hatian dan tabayun untuk tidak menerima secara mentah apa yang didapatkan dari dunia maya.