Bekal Berselancar Terbebas dari Terorisme

Masih segar dalam ingatan masyarakat ketika seorang wanita ditangkap saat akan meledakkan bom dalam kemasan panci di depan Istana Negara, Jakarta, beberapa waktu lalu. Dialah Dian Yulia Novi, seorang mantan Tenaga Kerja Wanita, yang dipilih menjadi ‘martil’ dalam rencana aksi bom bunuh diri. Usianya masih muda, menjadi radikal dan nekat memilih jalan sesat akibat teradikalisasi melalui media sosial.

Kisah serupa tapi berbeda terjadi pada sosok Ivan Ramadi Hasugian, remaja tanggung di Medan, Sumatera Utara, yang melakukan penyerangan terhadap jemaat gereja di tengah peribadatan yang tengah berlangsung. Ivan adalah contoh kasus pemuda yang termakan bujuk rayu radikalisme di media sosial, tergiur melakukan ‘jihad’ ke Timur Tengah, dan melampiaskan kekecewaannya gagal berangkat di daerah tempat tinggalnya sendiri.

Kita sedang bicara pengaruh buruk media sosial yang menjadikan penggunanya berfikiran dan bersikap radikal. Masih banyak contoh kasus selain Dian Yulia Novi dan Ivan Ramadi Hasugian, yang semuanya adalah korban atas ketidakmampuan, atau mungkin ketidakmengertian bagaimana memanfaatkan internet dan produk-produknya dengan baik.

Darurat Literasi

Secara harfiah literasi dimaknai kemampuan individu memahami sebuah informasi untuk menulis dan membaca, serta aktifitas lainnya. Seseorang yang terliterasi memiliki kemampuan lebih membaca informasi dan menjadikannya semakin baik ke depan, atau mengantarkanya menghasilkan sebuah karya tulis yang bermanfaat untuk liyan.

Di tengah kemajuan teknologi saat ini Indonesia adalah pasar. Kenapa demikian? Merujuk laman katadata.co.id, jumlah pengguna telepon seluler di negeri kita ini sekarang mencapai 371,4 juta orang. Angka itu adalah 142 persen dari populasi masyarakat Indonesia sebanyak 262 juta jiwa. Sebagaimana kita ketahui di tengah kemajuan teknologi, mendapatkan informasi bak semudah menemukan jamur di musim hujan. Ketersediaannya sangat banyak dan beragam. Dengan menggenggam gawai, informasi apapun ada di tangan kita.

Sayangnya kemampuan masyarakat memiliki telepon seluler dan ketersediaan informasi yang mudah dan beragam ini tidak dibarengi dengan gelaran literasi yang cukup. Akibatnya, banyak masyarakat yang tergelincir saat berselancar dengan gawainya, terperosok ke dalam pusaran informasi palsu atau hoax, bahkan ada yang terlibat pada jaringan kejahatan seperti terorisme.

Literasi Digital

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme sebagai lembaga yang ditunjuk dengan tugas pokok mengkoordinir penangulangan kejahatan terorisme, terus berupaya melakukan serangkaian aktifitas bersifat pencegahan dan penindakan. Kegiatan bersifat lunak (soft approach) salah satunya, yaitu literasi digital. Melalui kegiatan ini, BNPT mencoba memberikan pemahaman ke masyarakat bagaimana mengenali hoax dan cara menghindarinya, meningkatkan rasa nasionalisme, serta memanfaatkan gawai secara positif. BNPT juga ingin mendorong masyarakat bisa memanfaatkan gawainya secara lebih positif, daripada sekedar untuk berkomunikasi via panggilan suara, chat dan video.

Literasi digital dilaksanakan oleh BNPT dengan menggandeng pihak-pihak berkompeten di bidangnya, antara lain Dewan Pers Republik Indonesia. Setelah di awal kegiatan peserta diberikan pembekalan peningkatan nasionalisme dan informasi bahaya radikalisme terorisme, perwakilan Dewan Pers akan berbicara tentang bagaimana keterkaitan informasi dengan terorisme. Penekananya adalah tentang hoax yang turut dimanfaatkan jaringan pelaku terorisme dalam aksinya. Mereka mencoba memutar balik fakta untuk mendapatkan simpati dan dukungan atas aksi yang dilakukannya, sekaligus menarik minat pembaca untuk bergabung. Kembali, Dian Yulia Novi dan Ivan Ramadi Hasugian adalah sebagian kecil contoh masyarakat yang menjadi radikal akibat gagal memahami informasi dengan baik.

Kontrapropaganda

Masyarakat pengguna telepon pintar mungkin sudah mahfum dengan aktifitas saling berbagi informasi dalam bentuk gambar, video, dan , karikatur. Tapi apakah masyarakat sadar jika informasi yang dibagikannya mengandung unsur radikalisme? Jawabannya hanya sebagian yang mengetahuinya.

Peredaran meme, info dan video grafis, saat ini tidak murni berisikan informasi positif. Jaringan pelaku terorisme turut serta memanfaatkannya untuk propaganda, menyebarluaskan apa yang diyakininya benar, antara lain berisikan ujaran kebencian, hasutan, hingga imbauan berlaku intoleransi. Biasanya mereka akan menyematkan kata “bagikan”, “viralkan”, dan sejenisnya di karya yang dibuat dan disebarkan, sehingga ada sebagian masyarakat, terutama yang belum terliterasi, akan dengan mudah membagikan ulang. Kelatahan inilah yang menjadikan radikalisme semakin tersebarluas, hingga tidak menutup kemungkinan mengundang terjadinya aksi terorisme.

BNPT tidak menghadang propaganda radikalisme tersebut hanya dengan aktifitas lisan dan tulisan, imbauan agar masyarakat cerdas membaca informasi. Kontrapropaganda juga dilakukan, termasuk dengan melibatkan masyarakat pengguna telepon pintar.

Di literasi didigital misalnya, BNPT menggandeng sejumlah pihak untuk memberikan pelatihan bagaimana telepon pintar tidak hanya bisa untuk menelpon serta mengirim dan menerima pesan. Sebaliknya, aplikasi-aplikasi sederhana dan mudah penggunaannya bisa disematkan untuk mendesain meme, info dan video grafis. Melalui aktifitas ini masyarakat diajak untuk tidak hanya menerima informasi dalam bentuk gambar, video dan karikatur serta membagikannya ulang, tapi juga memproduksi sebagai balasan jika informasi yang diterima sebelumnya mengandung unsur penyesatan.

Melalui ikhtiar kecil ini masyarakat diharapkan memiliki bekal yang cukup ketika hendak berselancar dengan telepon pintar yang digenggamnya. Bahkan masyarakat juga diharapkan dapat berselancar dengan liukan-liukan menarik lewat karya grafis yang dibuat dan dibagikannya, sebagai wujud keterlibatan dalam kontrapropaganda terhadap radikalisme dan terorisme.