Antara Cinta dan Psiko-Traumatis sebagai Penyebab Terorisme

(Tulisan Pertama dari Dua Tulisan)

Kekuatan Cinta

Sering diungkap dalam berbagai literatur, bacaan bebas, karya sastra, puisi, novel fiksi, bahkan sejarah betapa cinta itu bisa mengalahkan segalanya, termasuk mengalahkan logika dan akal sehat.  Betapa cinta itu agung,  besar, mesra dan terkadang sedih cerita tentang cinta kasih itu. Misalnya cerita kisah; Maria Antoinete, Ken Arok, Kendedes dan Tunggul Ametung, Lady Diana Charles dan Al Fayad, hikayat Lacodai dan Sariwegading dalam hikayat Ilagaligo, Rama dan Shinta bahkan cerita tentang Romeo dan Yuliet.

Begitupun cerita tentang cinta dan sayang ibu terhadap anak ataupun anak gadisnya. Mungkin masih lekat dibenak masyarakat khususnya yang konsen terhadap HAM yang menitiskan air mata siapapun yang mendengarnya. Kasus itu berawal dari pelarian Warga Korea Utara menuju ke China karena tidak tahan terhadap penindasan penguasa komunis Korea Utara, pimpinan Kim Jong Un. Dia adalah Yeonmi Park yang kasusnya viral di media sosial dan membuat netizen terkesima dan menangis. Saat pelarian Yeonmi masih anak- anak yang berusia 13 tahun. Saat tertangkap bersama ibunya dia nyaris diperkosa.

Betapa besarnya cinta sang ibu, sehingga seketika ia menangis sambal bersimpuh di kaki orang yang hendak memperkosa anaknya. Dia memohon dengan mengatakan  “silahkan kalian perkosa aku semau kalian, tapi jangan kalian perkosa anakku, akulah pengganti anakku”. Padahal ia sendiri telah terlebih dulu kehilangan suami dan ayah anaknya yang dikubur secara diam-diam karena takut ketahuan oleh rezim penguasa. Itulah yang disebut kekuatan cinta yang membuat orang mengorbankan harga diri dan bahkan nyawanya.

Cinta Seorang ibu pada Anaknya

Ini adalah kisah lain dari cerita Yeon, panggilan Yeonmi, yang mau diperkosa dan digantikan oleh ibunya.  Ini kisah tentang pengorbanan seorang ibu terhadap kedua anaknya yang yang merelakan tubuhnya ditembus peluru demi menyelamatkankan nyawa sang buah hati. Kejadian tersebut terjadi saat sebuah gereja katolik koptik Saint Mina di Kairo mesir  saat diserang oleh teroris tanggal 29 Desember 2018 lalu.

Nermin Sadik nama ibu itu. Saat ditembak di gereja koptik itu umurnya baru 32 tahun. Ia mendorong sekeras-kerasnya anaknya, Nesma, yang baru berumur 11 tahun dan Karin yang baru berumur 7 tahun agar tidak terkena peluru. Untuk itu dia merelakan tubuhnya sendiri yang ditembak. Teroris menyerbunya dengan sasaran yang terbuka langsung menembak tubuhnya.  Namun kedua anaknya sudah terlempar terlebih dahulu karena didorong keras oleh sang ibu.

Mereka – kedua anak itu – sejatinya mau dibunuh juga. Teroris sudah mengarahkan moncong senjata ke arah mereka. Salah satu pelaku bahkan sempat memukul sadis terlebih dahulu. Dalam keadaan sekarat setelah peluru menembus tubuhnya sang ibu dipeluk kedua anaknya yang berhamburan meraung-raung histeris menghampirinya.  Maksudnya – Ia ingin melindungi anaknya – walaupun dia sendiri telah meregang nyawa.

Melihat kondisi seperti itu  para teroris mengurungkan niatnya. Akibat serangan itu sepuluh tewas di tempat dan sembilan mengalami luka-luka. Penembakan pertama dilakukan persis setelah misa–tepatnya di depan pintu gereja. Tapi sebetulnya sebelum menuju gereja para teroris itu telah terlebih dahulu menyerang sebuah toko milik Nasrani yang menewaskan dua kakak-beradik yang sedang berada di toko itu.

Diperoleh juga informasi bahwa saat menyerang gereja koptik seorang teroris membawa bahan peledak dan sebuah senjata dengan 150 amunisi. Petugas akhirnya dapat menembak dan menangkap salah seorang pelakunya. Begitupun bom tas pinggang atau sabuk berhasil dijinakkan.

Antara Cinta dan Masuk Syurga Bersama

Cerita di atas adalah fakta betapa besar arti cinta dari sudut pandang  cinta orang tua  kepada anaknya saat penyerangan gereja koptik di Kairo.  Seorang ibu yang berusaha menyelamatkan dua buah hatinya untuk tetap bertahan hidup, sungguhpun dia harus meregang nyawa. Tapi di luar konteks ini -diluar sana- dalam komunitas radikal agama pro kekerasan, sebetulnya ada juga kasus yang justru orang tuanya menginginkan anaknya untuk segera mati.  Kematian mereka jadikan sebagai tujuan dan cita-cita menuju Jannah, surga.

Untuk tujuan mencapai kebahagian akhirat itu banyak cara mati yang bisa digunakan, bisa menggunakan bom bunuh diri, bisa dengan kontak senjata dengan aparat, bisa menabrakan diri ke arah kerumunan orang yang mereka anggap musuh.  Kematian mereka artikan memiliki makna suhada dengan nilai tertinggi adalah saat eksikusi, saat konfrontasi dan saat aksi.  Hal itu harus mereka lakukan atas nama tujuan yang sesungguhnya sangat subyektif yang mereka sebut sebagai amaliyah agar segera bisa masuk syurga.  Tapi mereka justru lupa bahwa dalam agama apapun mencelakai orang apalagi membunuh adalah paham sesat yang tidak ada dalam ayat dan teks kitab suci manapun.

Contoh nyata terhadap kasus ini, kasus yang sarat dengan cinta terhadap anak, misalnya terungkap pada sebuah persidangan di Old Baily Inggris pada tanggal 4 Juni 2018 tahun lalu. Dalam sidang itu terungkap di mana seorang ibu dan dua anak putrinya atas nama cinta keluarga dihukum karena merencanakan serangan teror di Inggris. Safaa Boular nama gadis belia yang dilahirkan tanggal 29 maret tahun 2000, baru berusia 18 tahun.  Remaja yang sedang tumbuh berkembang itu dituduh dengan meyakinkan telah bersalah dengan melanggar lima tuduhan undang-undang tindak pidana terorisme TATC 2006.

Sementara saudarinya, Rizlaine Boulat, yang lahir tanggal 6 Januari 1996 – dalam usia 22 tahun – dan ibu mereka Mina Dich 44 tahun yang lahir pada tanggal 29 Januari tahun 1974 juga ditangkap atas pelanggaran salah satu pasal pada lima pasal Undang undang TATC.  Di luar ibu dan kedua anak tersebut ada seorang lainnya bernama Kawl Barghouthi berumur 21 tahun yang lahir tanggal 13 Febuari 1997 didakwa melanggar pasal 38 tindak pidana terorisme TATC tahun 2000.

Kasus Kawl justru terungkap saat penyelidikan terhadap Safaa yang ingin melakukan perjalanan ke Suriah. Ia ditangkap saat kembali dari Maroko dan setelah diinterogasi terungkap bahwa mereka berencana untuk bergabung dengan Isis.  Tanggal 22 Agustus 2016 Mina Dich sang ibu melaporkan bahwa kedua anaknya telah menghilang.  Faktanya, polisi kemudian berhasil menangkap Safaa dan Rizlaine bersembunyi di sebuah Asrama di London. Setelah dilakukan Investigasi mendalam dan introgasi diperoleh informasi akurat bahwa mereka berniat bergabung dengan Isis  bersama-sama dengan alasan yang tidak masuk akal “ ingin hidup damai “.

Mereka juga mencoba mengelak dengan menjelaskan bahwa mereka tidak ingin jadi teroris.   Dari pengembangan penyelidikan selanjutnya  serta dari komunikasi yang dikloning dari dalam konten hpnya dari alur jejak digital mengindikasikan bahwa sebetulnya Safaa ingin menikah. Dengan siapa? Dengan pejuang Isis berkewarganegaraan Inggris. Mereka juga telah juga mendiskusikan secara mendalam rencana teror menggunakan sabuk tas ikat pinggang untuk bom bunuh diri.   Safaa diidentifikasi telah menyebar konten propaganda Isis secara online.

Tanggal 12 april 2017 Safaa didakwa dengan pasal perencanaan dan persiapan aksi terorisme. Safaa terjebak perangkap batmannya sendiri, saat dalam tahanan dalam jaminan polisi dia masih berkomunikasi dengan jejaring di Suriah dan ingin tetap menikah dengan pejuang Inggris di Suriah.  Dia berdiskusi, berdialog dan bercurhat ria online yang dia yakini terinskripsi dengan aman. Padahal sebaliknya tanpa dia sadari dia justru berkomunikasi dengan penyelidik kepolisian Inggris yang sedang menggarap kasusnya.

Di dalam komunikasi Safaa membahas rencananya mendapatkan senjata api dan granat. Dia juga membahas target-target yang potensial di London.  Dia tidak hanya berkomunikasi dengan aparat yang menyamar pada jejaring online, tapi juga chating dengan dengan ibunya Mina Dich dan saudarinya Rizlaine yang juga sedang diawasi ketat oleh kepolisian. Pada akhirnya petugas menyimpulkan – dari hasil komunikasi Mina dan Rizleine tentang adanya rencana mereka yang akan melaksanakan “tea party” atau “pesta teh” sebagai kode untuk melaksanakan pesta teror.

Sungguh detail pembuntutan aparat.   Tanggal 25 april Mina Dich dan anaknya Rizlaine melewati landmark menuju area Westminter, diduga mereka sedang survey sasaran potensial. Besok harinya tanggal 26 April mereka pergi ke supermarket di Wandsworth.  Mereka membeli tiga set pisau dapur berbagai ukuran yang dikemas dalam satu bungkusan.  Kwitansi ditemukan tim surveillance  setelah dibuang di tong sampah dalam perjalanan saat mereka pulang.

Saat masih dalam pengawasan polisi tanggal 27 april 2017 Rezleine dengan Kawla merencanakan penyerangan dengan pisau yang mereka beli.  Namun tidak lama setelah itu – baru pada pukul 19.00 malam itu polisi menggrebebek Rezleine dan Kawla.  Rezleine terpaksa terluka karena melakukan perlawanan dan ditembak sehingga dibawa ke rumah sakit sebelum dikeluarkan dari rumah sakit tiga hari kemudian.

Saat itulah ibu Mereka Mina Dish ditangkap saat mengunjungi anaknya Safaa yang telah duluan ditangkap.  Sangat disayangkan pihak Inggris tidak menyampaikan bagaimana proses radikalisasi terjadi pada seorang ibu dengan dua anaknya dan seorang sahabat anaknya ini, kecuali ekspose beberapa dokumen kontens ekstremis Islam, propaganda Daesh dan materi terkait jaringan Al Qaedah. Tapi dengan kasus ini kita paham bahwa Cinta pada anak-anak, cinta akan kematian, cinta pada kematian adalah tujuan, kebahagian akan dicapai bila menjadi istri teroris itu bukan isapan jempol dan hoaks. Keyakinan ini ada di tengah masyarakat modern saat ini.

Bersambung….