Akar Masalah Terorisme: Radikalisme dan Implikasinya

Tulisan ini bertujuan mengkaji isu dan makna terorisme, akar permasalahannya serta menentukan implikasi kebijakannya. Diharapkan hasil kajiannya, ’bukan sekedar ’memukul udara dengan angin’, tetapi secara konseptual dapat ditemukan solusinya sebagai acuan para pihak yang berwenang maupun yang peduli dengan permasalahan terorisme di tanah air yang sampai saat ini masih berlanjut. Why?

Makna Teror 

Istilah teror berasal dari bahasa Latin, terrere yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi to fighters. Artinya adalah suatu situasi yang dikondisikan sedemikian rupa agar dengan menimbulkan rasa takut, menggerikan, dan membahayakan nyawa manusia akan diperhatikan oleh publik pada umumnya, dan khususnya pihak yang dijadikan sasaran teroris.

Sebagaimana aksi teror bom yang sering terjadi di Indonesia, diawali di depan kediaman Duta Besar Filipina Jakarta (tahun 2000), kemudian terjadi di tempat-tempat tertentu di Jakarta seperti di Atrium Senen, Bursa Efek, sejumlah Gereja dan lainnya pada malam Natal, dan pada tahun 2003 terjadi di Hotel JW Marriot. Aksi teror yang terjadi di luar Jakarta, seperti di Legian Kuta dan Jumbaran Bali (tahun 2002), selanjutnya secara berulang-ulang terjadi di Palu dan Poso. Sebagai informasi, di kota Manado, pernah diletakkan bom di dalam restauran Fried Chicken depan Markas Korem Santiago Sulut (daya ledaknya sama dengan yang terjadi di Kuta Bali), tapi tidak meledak.

Kemudian pada hari Jumat, 17 Juli 2009 terjadi lagi aksi teror bom bunuh diri di Hotel JW Marriot dan Hotel Ritz Carlton Mega Kuningan Jakarta yang sampai saat ini masih mengancam keselamatan publik di tanah air. Semua aksi-aksi teror ini dimaksudkan untuk menciptakan kondisi yang dimaksud itu.

Tercatat puluhan bahkan ratusan korban bom di kalangan orang (manusia) sipil yang tewas terpanggang hidup-hidup, dan puluhan mengalami luka bakar atau kena serpihan pecahan bom. Seperti dialami salah seorang perempuan korban bom di hotel JW Marriot pertama (2003), sambil mengerang kesakitan menyatakan kegeramannya, lewat liputan khusus Metro TV, “saya tidak bisa terima kenyataan ini, siapapun mereka dari kelompok manapun, apapun alasannya melakukan teror bom adalah perbuatan iblis yang biadap serta menggerikan yang harus dikutuk. Ada ratusan orang sedang makan di restauran tempat saya bekerja, mereka itu bukan kambing, tapi manusia”.

Inilah salah satu korban aksi teror bom yang mengekpresikan kesedihannya, kekesalannya, dan kegeragamnya. Sementara itu, korban lainnya tak bisa lagi bergerak dan berkata karena sekujur tubuhnya sudah gosong terbakar yang dijemput keluarganya dengan isak tangis pertanda sang korban sudah meninggal. Sungguh suatu peristiwa yang tragis dan menggerikan, di mana dari segi manusiawi, apa yang dialami oleh korban teror bom, menimbulkan efek psikologis yang sungguh tidak terperikan mengenang peristiwa teror bom yang pernah dialaminya.

Dampak yang ditimbulkan

Sebagai anak bangsa, kita semua tentu sangat prihatin dengan aksi teror di Tanah Air yang justru dilakukan oleh warga negara Indonesia sendiri. Demikian juga menyangkut harkat dan martabat bangsa kita yang dikenal sebagai bangsa beradab, penuh keramahtamahan dicemari dengan aksi kebiadaban. Sebab, berdasarkan analisis dampak dan implikasi yang ditimbulkan, secara signifikan sangat merugikan kepentingan nasional, seperti menurunnya devisa dari sektor pariwisata, kehilangan lapangan kerja, serta menyisahkan duka keluarga korban baik yang meninggal maupun yang cacat seumur hidup.

Bahwa para pelaku aksi teror yang beroperasi di Indonesia ada hubungan dengan gerakan Al-Quaida yang dipelopori oleh Osama Bin Landen, maka dapat dikatakan para pelaku itu adalah kelompok radikal di mana tujuan politik mereka itu telah terkonstruksi secara sosial (doktrinasi fundamentalisme agama yang cenderung primordialistik.

Didefinisikan oleh Gerrtz, primordialisme adalah:“sesuatu yang berakar pada sesuatu yang sudah takdirnya given atau di mana seseorang terikat secara moral dan oleh berbagai rasa tanggung jawab yang timbal balik pada anggota-anggota kerabatnya, tetangganya, sesama penganut agamanya, setidak-tidaknya primordialitas tersebut sebagian besar terwujud oleh adanya kesadaran moral atas sesuatu kemutlakkan yang penting atau utama yang tidak dapat diperhitungkan secara untung rugi semata-mata, diatributkan pada ikatan dirinya sendiri” (Geertz 1973).

Dengan kata-kata yang lebih sederhana, Geertz mengartikan primordialitas sebagai “sebuah dunia jati diri perorangan atau pribadi, yang secara kolektif diratifikasi dan secara publik diungkapkan, yang merupakan sebuah keteraturan dunia”. Primordialitas adalah sesuatu yang utama, yaitu perasaan yang dipunyai orang per orang berkenaan dengan kehadirannya atau kehidupannya di dunia ini sebagai suatu takdir bahwa dia dilahirkan dan dibesarkan dalam suatu lingkungan keluarga dan kerabat, keyakinan keagamaan, bahasa, berbagai adat istiadat serta sistem-sistem makna yang ada dalam kebudayaannya, yang dirasakan sebagai dunia kehidupannya yang utama karena tidak dapat dipisahkan dari dirinya, bukan hanya dalam hal-hal yang rasional, tetapi juga mencakup keseluruhan rasa yang dipunyainya.

Sebagai bagian hakiki dari postmodern, fundamentalisme dalam teologi dan antropologi/sosiologi agama diidentifikasi sebagai seteriologi eksklusivitas (tidak mengakui kebenaran ajaran atau agama lain; dan lebih membenarkan/ melegitimasi ajaran/dogma mereka serta perilaku atau aksi-aksi dan menyalahkan ajaran lain).

Prinsip mereka negara dan agama itu satu, maka wajib diperjuangkan ajaran/dogma agama ke dalam sistem pemerintahan negara (lihat Sumakul 2006). Makanya tidaklah mengherankan ketika Osama Bin Landen dan antek-anteknya pernah menyatakan untuk membunuh semua orang yang tidak seiman dengan mereka.

Teori Radikalisme

Argumentasi umum yang sering diungkapkan oleh pihak tertentu, bahwa kecenderungan kaum radikal ini, melakukan kekerasan, serta menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan, pada umumnya mengatakan, bahwa kelompok radikal tersebut melakukan aksi teror bom karena adanya ketidakadilan yang terjadi di dunia ini, di mana negara-negara adidaya seperti Amerika Serikat dan Eropa Barat (kebetulan berlatarbelakang Nasrani dan Yahudi), di samping mereka mendomonasi ekonomi dunia, juga dalam kebijakan politik Timur Tengah (isu konflik Palestina dan Israel) cenderung membela kepentingan Israel, termasuk dalam pemberian bantuan persenjataan.

Hal ini memicu semangat solidaritas primordialisme agama karena ada rasa frustrasi di kalangan kaum radikal ini atas kekuatan budaya (ilmu pengetahuan dan teknologi) yang dimiliki negara-negara adidaya tersebut ketika mereka harus bertarung dalam menuntut keadilan.
Implikasinya terhadap bangsa kita yang berpenduduk mayoritas Islam, khususnya di kalangan organisasi-organisasi Islam seperti Front Pembela Islam (FPI) dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dsb secara terbuka memberi reaksi ‘keras’ terhadap AS Negara adidaya atas intervensi konflik timur tengah (membantu Israel).

Betapa konflik Palestina ‘dinilai mewakili Islam, dan Israel mewakili ‘Nasrani dan Yahudi’. Rasa kemarahan dan kebencian terhadap Zionis Israel, AS dan sekutunya, telah dirasuk sejak tahun 1967, di mana secara historis keuntungan atau kemenangan selalu berada di pihak Israel. Apalagi dengan adanya intervensi–pendudukan pasukan Amerika Serikat (pembebasan Kuwait, penangkapan presiden Sadham Husein dan para teroris yang terkait dengan jaringan Al-Qaida/Taliban (Osama Bin Landen) atas seluruh wilayah Irak dan Afganistan sampai sekarang ini.

Rasukan kemarahan dan kebencian ini akhirnya mengkristal menjadi ideologi solidaritas primordialisme bagi kelompok-kelompok radikal Islam yang tersebar baik di Timur Tengah (Arab Saudi, Libanon, Siria, Irak); di Arika (Mesir, Libia, Sudan, Maroko, Aljazair) maupun di Asia (Afganistan, Iran, Malaysia dan Indonesia).

Khususnya konflik Palestina – Israel, apabila dilihat secara objektif sesungguhnya bukan konflik agama, melainkan persoalan teritori atau wilayah yang terjadi sejak Inggris memprakarsai kemerdekaan Zionis Israel pada tahun 1947. Lagi pula pejuang-pejuang Palestina bukan hanya kaum Muslim tapi juga ada yang beragama Kristen (salah seorang toloh radikalnya, George Habbash adalah seorang Kristen Ortodoks-Yunani), makanya tidak mengherankan kota Betlehem tempat kelahiran Tuhan Jesus Kristus oleh Israel diserahkan kepada Palestina (Arab Kristen) menjadi bagian wilayah otonominya.

Munculnya sosok Osama Bin Laden sebagai aktor di balik peristiwa 11 September 2001 di New York AS, menambah spririt idiologi solidaritas primordialisme di kalangan kelompok-kelompok radikal Islam Al-quaida-Taliban dan Al-Jemaah Islamiah Osama menyerukan deklarasi perangnya, kepada tim moralnya, yakni: “Declaration of War by Osama bin Landen, together wirh leaders of the World Islamic Front for the Jihad Againts the Jews and the Crusaders, that is we – with God’s help – call on every  Muslim who believes in God and wishes to be rewarded to comply with God’s order to kill the Americans and plunder their money wherever and whenever their find it.

We also call on the Muslim Ulema community leaders, youths and soldiers to launch the raid on Satan’s US troops and the devil supporters ally-ing with them and to displace those who are behind them so that they learn a lesson” (Al-jabhah al-Islamiyyah Liqital al-Yahud Wal-Salibbiyyin, Afganistan, Februari 23) dalam Kaligis (2003).

Kalau memang demikian deklarasi perang dari Osama bin Landen tersebut, “There is God’s order to kill perintah Allah untuk membunuh, maka bukan saja dunia hukum, tetapi semua orang akan mengatakan Allah adalah Pembubuh! Kita lihat betapa beraninya Osama bin Landen, sebagai manusia ciptaan Allah yang memberi dan membiarkan dirinya hidup, melibatkan serta memanipulasi nama Allah hanya sekedar untuk memberi justifikasi (pembenaran) kepada tindakan terorisnya.

Konsep dan doktrin ini benar-benar dimanifestasikan oleh pelaku bom Bali Imam Samudra, dikatakan “saya tidak takut dihukum mati, karena apa yang selama ini saya lakukakan telah berada di jalan Allah, dan sesuai dengan ajaran Islam; dengan dihukum (vonis) mati, mendekatkan saya dengan Allah” (Komentar 12/8/2003).

Inilah akar masalah yang telah terkonstruksi secara mental atau pikiran dan hati para teroris, “bahwa tindakan membunuh merupakan perintah Allah” Sungguh sangat menakutkan tindakan teror mereka tersebut yang kini sudah menjadi crime againts humanity. Sebab kasus teror bom yang terjadi di WTC New York AS bukan saja yang menjadi korban manusia non-Muslim, tetapi juga dari kalangan umat Islam sendiri (terbanyak pekerja dari Bangladesh dan Libanon), serta yang terjadi di Bali dan Hotel JW Marriot Jakarta belum lama ini.

Dalam konteks moral (budaya dan agama) maupun hukum, seperti apa yang telah disinggung di atas aksi-aksi terorisme tersebut adalah suatu mesin kebohongan yang terbuat dari uap racun kekeliruan yang menyesatkan; serta merupakan penghinaan yang fantastis terhadap ke-Illahian Allah Yang Maha Besar yang disembah oleh semua umat (agama) manusia di dunia ini, bukanlah Allah pembunuh! Tapi adalah Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang.

Sebagaimana keeksistensiannya (keimanan) kita sebagai manusia makhluk ciptaan-Nya, memiliki kewajiban mutlak untuk mematuhi hukum kasih yang diajarkan oleh Isa-Almasih, ‘hendaklah kamu mengasihi Allah dengan segenap hati/jiwamu, dan dengan segenap akal budimu; serta ‘mengasihi sesamamu manusia seperti dirimu sendiri’. Sebagaimana dikemukakan oleh Abdul M. Mulkhan (Kompas 10/12/1999), dalam Surat Ibrahim, “Tuhan berfirman bahwa “Dia hanya akan mencintai manusia yang memeluk agama-Nya jika manusia itu mencintai manusia sesamanya.

Tuhan juga mengatakan bahwa “Dia akan menolong manusia yang memeluk agama-Nya hanya jika manusia itu bersedia menolong manusia sesama-nya. Lebih lanjut dikemukakan oleh Mulkhan “siapakah sesamanya itu tidaklah terbatas hanya mereka yang seagama atau paham keagamaannya sama.

Implikasi Kebijakan

Seperti diketahui bahwa pada era reformasi ini telah terjadi reduksi makna nilai demokrasi. Sebagaimana hal ini dimanfaatkan oleh para radikalis untuk melakukan aktivitas konsolisi menggalang solidaritas, melakukan aksi demo dengan membawa senjata tajam, membentuk laskar-laskar sambil melakukan latihan perang ala militer secara terbuka, serta terjun dalam kancah konflik horizontal bernuansa SARA di Ambon, Poso dan Halmahera, tanpa ada halangan dari aparat setempat.

Padahal mantan Presiden Gus Dur sudah menginstruksikan untuk menangkapnya (ada larangan setelah daerah-daerah konflik tersebut diberlakukakan darurat sipil). Dibandingkan dengan keadaan di negeri tetangga kita, seperti Malaysia, Singapura dan di negara-negara Asean lainnya memiliki kebijakan hukum Internal Security Act (ISA), yang digunakan untuk menangkal segala gerakan kelompok-kelompok radikal yang ’dicurigai’ akan melakukan aksi teror.

Itulah sebabnya mereka tidak ada nyali melakukan aksi teror di negeri jiran tersebut. Bahwa kelemahan aparat keamanan kita, khususnya POLRI dalam mencegah aksi teror yang tidak diperkuat dengan payung hukum ISA tersebut. Demikian juga Badan Intelejen Nasional (BIN) tidak diberi kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan khusus dalam menangkal gerakan teroris.

Sebagai implikasi kebijakannya (rekomendasi), antara lain dipandang perlu dan mendesak kepada para pihak yang berwenang (eksekutif, legislatif, dan aparat terkait), dan masyarakat untuk segera menentukan langkah-langkah kebijakan. Pada tingkat wacana, beberapa hal yang dipandang strategis untuk ditindak lanjuti adalah sebagai berikut:
• Mendiskomunikasikan deklarasi perang yang dicanangkan oleh Osama Bin Landen pada tanggal 23 Feruari 1998 di Afganistan yaitu “There is God’s order to killl (perintah Allah untuk membunuh). Sebab sebagai anak bangsa, kita semua yakin bahwa yang benar adalah There is God’s order to peace” (perintah Allah untuk hidup damai) di bumi nusantara Indonesia yang tercinta ini.

• Mendesak diberlakukannya kebijakan hukum Internal Security Act bagi aparat kita (BIN dan unsur-unsur intelejen TNI & POLRI) sebagaimana yang diterapkan pada negara-negara tetangga kita (Singapura dan Malaysia), mengingat masih ada tokoh maupun anggota-anggota Jamaah Islamiah belum tertangkap yang mana mereka setiap saat berpotensi untuk melakukan aksi teror lagi. Tentunya mempraktekkan ISA harus seprofesional dan seakurat mungkin dalam mengoperasionalkan sumber informasi intelegen agar terhidar dari ‘mal-operation’, mengingat dasar dari kebijakan ISA ini ditekankan kepada upaya pencegahan.

• Jaring strategi komunikasi antar pihak (perhotelan, komunitas mulai dari tetangga, lingkungan, kelurahan/desa, organisasi, taksi, ojek, dll), di mana kesemua pihak ini harus berkoordinasi dengan pihak aparat terkait (polisi dan BIN setempat), terutama untuk mencegah adanya penyebaran jaringan teroris dan pihak yang melindunginya.

• Menata secara akurat administrasi kependudukan (kartu penduduk) agar tidak rentan untuk dimanipulasi. Hal ini memungkinkan aparat setempat (pemdes/kelurahan) mengetahui identitas setiap ada tamu atau orang-orang tertentu yang tidak dikenal.

• Merevitalisasi makna spirit kebangsaan (Pancasila dan UUD 1945) melalui media pendidikan formal dan informal, bahwa yang namanya teroris adalah musuh bersama.

• Memberdayakan masyarakat dalam kehidupan sosial ekonomi yang selama ini dirasakan telah terjadi ketimpangan sosial. Yang miskin semakin miskin, dan kaya semakin kaya. Ini juga merupakan bagian dari akar permasalahan yang turut memicu rasukan kebencian dan kemarahan para teroris terhadap hegemoni kapitalisme di tengah arus globalisasi. (***)

Penulis adalah Albert WS Kusen  (Dosen Jurusan Antropologi FISPOL Unsrat Manado)

Sumber : suluttoday.com