PARADOKS “WAR ON TERRORISM” GLOBAL DAN PERAN INDONESIA MENGATASINYA

Oleh : Ronny,S.AP,MM.

Kasubdit Pengawasan dan Kontrapropaganda BNPT

“War On Terrorism” telah menggantikan bentuk “Cold War” yang telah berlangsung sejak berakhir Perang Dunia ke-2 sampai leburnya USSR menjadi Negara-negara kecil yang berdaulat, walaupun Rusia tetap mendominasi kekuatan militer dan ekonomi sebagai salah satu Super Power dunia selain AS dan Uni Eropa. Amerika Serikat yang telah tumbuh menjadi Super Power dunia terkuat menghadapi ancaman baru, yaitu terorisme global yang mengancam dan berusaha mereduksi kekuatan ekonomi dan kekuatan militernya.

Terorisme yang dipandang sebagai suatu bentuk kejahatan, “extra ordinary crime” pada hakekatnya juga suatu bentuk perang global, semacam perang dingin dengan peran pengganti yang berbeda. Peran tersebut dimainkan oleh kekuatan radikal yang melakukan perang jihad, suatu ideologi radikal dalam suatu ajaran agama. Walaupun banyak pendapat menyatakan bahwa terorisme bisa berasal dari agama apapun yang ada didunia, pernyataan ini untuk menafikan tuduhan menjadikan agama tertentu sebagai tertuduh. Tapi tak pelak lagi bahwa yang mendominasi aksi-aksi terorisme global, maupun yang mendominasi daftar organisasi teroris dunia dan tokoh-tokoh teroris dunia adalah dari kelompok-kelompok garis keras Timur-Tengah.

“War On Terrorism”, kenapa terorisme dikatakan sebagai perang, adalah karena latar belakang terorisme tersebut merupakan suatu “ideology” , tidak masuk kepada logika normal kita katakanlah seorang pengebom yang beriang hati menyebut dirinya “calon pengantin suci” hanya karena pada suatu hari didatangi atau bertemu dengan seorang perekrut yang kemudian menawarinya imbalan materi sejumlah uang asalkan dia bersedia membawa bom bunuh diri dalam sebuah mobil dan dipasangkan di body armour, mau melakukan pengeboman sebuah hotel bintang lima di Jakarta, tanpa suatu proses indoktrinasi yang membentuk mindset dan keyakinan psikologisnya bahwa melakukan aksi pengeboman ini adalah suatu “jihad suci” , bagian dari perang sucinya melawan kemaksiatan dunia, yang oleh karena itu dia dijamin masuk syurga dan dijemput bidadari-bidadari yang sangat cantik di syurga sebagai imbalan mati syahidnya sebagai pengebom bunuh diri. Suatu keyakinan yang naif dan lucu juga bila dipikir. Saya percaya dan yakin bahwa si pengebom bunuh diri tidak akan mau dan sanggup melakukan aksi bunuh dirinya kalau imbalannya hanyalah sekedar materi atau iming-iming akan ditanggung beban keluarganya, tanpa adanya indoktrinasi yang kuat oleh seorang mentor radikal yang meyakinkan tentang jihadisme sehingga membentuk keyakinan kuat mindset psikologiknya.

Bermula dari puncak serangan teroris global terhadap symbol sakral hegemoni kekuatan kapital dunia di Amerika Serikat, yaitu serangan terhadap Twin Tower, World Trade Center, yang terkenal dengan  serangan Nine Eleven, saya katakan sebagai puncak serangan teroris global karena merupakan rangkaian kelanjutan serangan-serangan teroris sebelumnya diseluruh dunia yang berdampak phobia , berdampak suatu bentuk ketakutan yang menyeluruh dalam skala lebih kecil, saya katakana bermula sejak itu, sejak setelah nine eleven, Amerika Serikat mencanangkan “War On Terrorim”, yang dengan kemampuannya memobilisasi kekuatan koalisinya dan segera mempengaruhi Negara-negara diseluruh dunia untuk ikut bersama dalam memerangi terorisme, yang sampai saat ini fenomena trend yang muncul adalah ISIS, IS atauypun ISIL, yang beranggotakan warga Negara Amerika Serikat, Eropa dan Negara-negara yang sejak dulu tidak pernah memiliki organisasi Teroris, fenomena apakah ini? Apakah menguat dan berhasilnya perjuangan kelompok radikal secara globsl? Atau ketidakmampuan Negara-Negara didunia dalam mereduksi faham radikal secara global?

Terorisme : Sebuah Paradoks

Dengan demikian “War On Terrorism” telah melahirkan banyak kebijakan dan langkah strategis yang mempengaruhi dunia, antara lain lahirnya strategi “pre-emtive strike”, serangan langsung dengan “deployment forces” masuk ke negara-negara yang dinilai sebagai sumber pelaku-pelaku atau organisasi terorisme seperti Afghanistan, Libya, Irak, Palestina, Somalia, Yaman sera “intelligence deployment” dinegara-negara yang dinilai mendukung atau potensial pendukung terorisme global seperti Iran, Irak, Sudan, Chechnya dengan dukungan anggaran yang besar, namun hasilnya malah meningkatnya kualitas dan kapabilitas terosisme global, Sebuah Parados?. Paradoks yang timbul  sebagai dampak imbal balik lahirnya langkah strategis pemberantasan terorisme adalah munculnya bentuk-bentuk terorisme sekala kecil sampai dengan skala besar, di Amerika Serikat kita dikejutkan terjadinya Bom Boston oleh dua pemuda kaka beradik yang lahir dan dibesarkan di Amerika Serikat, walaupun kedua orang tuanya berasal dari Chechnya, yang terinspirasi secara online oleh majalah “inspire” untuk merakit bom panci,sebuah panci kecil yang meledak dan mengejutkan dunia di acara Boston Marathon yang legendaris, telah menimbulkan teori umum tentang terorisme, sebuah “Wolf-Alone” oleh karena itu War On Terrorism pun diarahkan ke perburuan “Wolf-Alone” diseluruh dunia. Terakhir dan terbaru adalah serangan teroris di gedung parlemen Kanada, yang menewaskan seorang tentara di Ottawa serta serangan disebuah “high school” di Seattle, Amerika Serikat, telah menimbulkan tekad baru Amerika Serikat dan Kanada untuk lebih giat memerangi terorisme didunia. Pasca serangan AS terhadap Negara Irak, telah berdampak menimbulkan perang antara Syiah-Sunni dinegara tersebut yang berlarut, serangan bombing telah menjadi rutinitas bagian dari perang sectarian dan komunitas masyarakat telah imun terhadap ketakutan terror karena durasi berdiam didalam lingkup aksi terror rutinitasnya, dan yang mengejutkan munculnya ISIS sebagai Hallowen Teroris yang mengerikan bagi Amerika Serikat dan sekutunya di Uni Eropa, yang mengancam akan menyerang Eropa dan meruntuhkan kekuasaan gereja dunia di Vatikan, bahkan mengancam eksistensi kedaulatan pemerintahan Negara seperti di Indonesia.

Bagaimana Indonesia Menangani?

Terror dan Counter Terror didunia berkelahi layaknya menonton film “Tom and Jerry”, semakin si Tom mencengkeramkan tangannya untuk menangkap si Jerry, semakin fatal ulah kenakalan yang dibuat oleh si Jerry. Apapun langkah strategis dan kebijakan penanggulangan terorisme global melahirkan bentuk terorisme baru yang mengejutkan sebagai fenomena yang sama sekali baru dalam terorisme. Sebuah paradoks dalam upaya global memerangi kejahatan terorisme merupakan fenomena menarik sebagai bahan penelitian, untuk menemukan solusi yang tepat bagi upaya strategis dan kebijakan penanggulangan terorisme global. Penanggulangan yang berarti mengandung upaya upaya pencegahan secara preventif sampai keakar ideologi radikal sebagai  permasalahan dan upaya penindakan yang menimbulkan efek jera, sehingga menimbulkan keengganan calon pelaku untuk melakukan aksi terorisme ataupun mendukungnya, serta memperkuat dan mengefektifkan lembaga-lembaga yang memfasilitasi kegiatan-kegiatan tersebut seperti Badan Nasional penanggulangan Terorisme di Indonesia.

BNPT yang dibentuk dengan Perpres no 46 tahun 2010 tersebut yang hanya terdiri dari 3 kedeputian  mempunyai tugas menyusun kebijakan, mengkoordinasikan program-program terkait terorisme dengan kementerian dan lembaga lainnya.Pada kenyataannya BNPT menjadi gamang dalam tugas sebagai coordinator (Model Pencegahan Terorisme di Indonesia oleh BNPT, disertasi Dr.Larasati, UI, 2013). Fungsi Penindakan BNPT menjadi mandul karena tidak memiliki wewenang menggelar “Criminal Justice System” seperti KPK yang memiliki wewenang mulai dari penyidikan,penyelidikan,pengadilan, dan pembinaan napi dan mantan napi terorisme. Fungsi penindakan BNPT tumpang tindih dengan Fungsi Densus-88 AT Polri, dan sebenarnya BNPT tidak memiliki kemampuan penindakan karena tidak memiliki kekuatan personil dan persenjataannya. Sebaiknya BNPT ditambah 2 kedeputian lagi yang mengurusi dukungan Intelijen dan dan Deradikalisasi dan diberikan wewenang yang diatur oleh Undang-Undang untuk menggelar proses “Criminal Justice System” mulai dari wewenang untuk penyidikan terduga terorisme pada taraf niat melakukan, atau menyebarkan “hate Speech” yang mempengaruhi orang lain untuk melakukan aktifitas terorisme sekalipun, maka dijamin aksi-aksi dan aktifitas terorisme akan lebih dapat ditekan oleh pemerintah.

Jakarta, 27 Oktober 2014

Ronny

Mahasiswa S-3 Kriminologi FISIP UI

Kasubdit Konvensi Internasional BNPT

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *