Terorisme Tidak Punya Agama

Peristiwa tragis di Prancis, bom bunuh diri di Baghdad dan Beirut, serta sejumlah kebiadaban lain yang terjadi di belahan bumi beberapa waktu yang lalu tentu sangat mengguncang kesadaran dan keyakinan kita sebagai manusia yang percaya bahwa kedamaian adalah hak setiap bangsa. Khusus bagi kita yang percaya bahwa agama adalah sumber perdamaian, perjuangan kita akan semakin sulit; karena setelah ini kita harus berjuang untuk meyakinkan diri sendiri betapa agama tetaplah sumber perdamaian, meski belakangan nyaris seluruh tindak kekejaman selalu disertai dengan pekikan nama tuhan.

Kepercayaan bahwa agama adalah sumber perdamaian tidak muncul begitu saja, ada proses panjang yang membuat kita mengerti, merasakan, dan akhirnya percaya bahwa agama memanglah sumber perdamaian. Sedari kecil kebanyak dari kita diajarkan bahwa agama itu baik dan menuntun pada kebaikan, di kehidupan nyata pun kita menyaksikan bagaimana orang-orang mengaplikasikan ajaran agama melalui perilaku baik, sehingga dengan sendirinya kita meyakini bahwa agama memang mengajarkan kebaikan. Lantas bagaimana dengan mereka yang memahami agama dari sudut kekerasan? Benarkah mereka sedang menjalankan perintah agama, atau jangan-jangan mereka sedang berhalusinasi dengan agama?

Jawaban untuk pertanyaan di atas tentu sangat bervariasi, tergantung kepada siapa pertanyaan itu ditujukan. Kita yang sepanjang hidup merasakan kedamaian ajaran dan praktek agama pasti akan langsung menjawab bahwa mereka yang melakukan kekerasan adalah orang-orang keblinger yang sama sekali tidak pinter, tetapi bagi mereka yang dari kecil dicekoki dengan ajaran agama yang keras dan penuh dengan kebencian, bisa jadi jawabannya berbeda; justru kita yang beragama secara adem ayem ini yang tidak menjalankan ajaran agama secara serius dan menyeluruh.

Ujaran-ujaran kebencian dan ajakan melakukan kekerasan atas nama agama semakin santer terasa belakangan ini, ada saja orang-orang yang mencoba meyakinkan kita bahwa beragama tidak cukup dengan menebar kebaikan terhadap sesama, karena menurut mereka agama juga meminta kita untuk berani menghilangkan nyawa orang lain yang memiliki pandangan berbeda. Pemahaman yang kasar tentang ajaran agama bisa disebabkan oleh banyak hal, dan kebanyakan hal itu justru tidak ada hubungannya dengan agama sama sekali.

Ketidakadilan, kemiskinan, dan kekecewaan terhadap keadaan hidup kerap menjadi akar dari munculnya berbagai masalah, dan ketika pikiran sudah buntu, setan pun akan datang untuk pura-pura membantu. Kekerasan kemudian dipilih lantaran hal ini dianggap dapat membantu menyelesaikan masalah secara instan. Mereka lantas memilih-milih ayat-ayat agama untuk kemudian mereka salahgunakan sebagai pembenar atas berbagai tindak urakan yang mereka  atasnamakan untuk kepentingan tuhan.

Sehingga jelas bahwa para pelaku teror adalah sekumpulan orang-orang yang telah kalah; kehidupan mereka tidak berjalan baik seperti yang mereka harapkan. Mereka pun terjerembab dalam kekosongan yang sangat mengerikan; Kosong pikiran, kosong hati, dan kosong kantong. Pikiran mereka sudah tidak lagi ditempati empati dan semangat untuk tetap menjadi orang baik, hati mereka pun telah rusak karena lama tidak digunakan, sementara kantong yang telah lama kosong mulai menyeret mereka untuk menjadi pahlawan di siang bolong.

Kekerasan tetaplah kekerasan, apapun alasannya kekerasan tidak pernah bisa dibenarkan. Menyeret-menyeret isu agama sebagai legitimasi kekerasan hanya akan semakin membuktikan hilangnya pikiran dan kepekaan. Agama bukan bisnis MLM yang bisa mengantar seseorang menuju ‘surga’ dengan cara menjerumuskan yang lain ke ‘neraka’. Agama adalah kedamaian, karena dari namanya saja “a-gama” berarti “tidak kacau”, sehingga ketika ada orang yang mengaku-ngaku membela kepentingan agama, namun dilakukan dengan penuh kekacauan, maka itu hanya tipuan dari pecundang kesiangan.