Terorisme: Antara yang lalu dan yang Baru

Beberapa bulan terakhir ini hampir seluruh bangsa di dunia sedang menyaksikan sebuah opera menakutkan tentang sebuah tragedi kemanusian besar dengan judul “terorisme”, opera ini begitu menyita perhatian terutama karena pola serangan dan tumpukan korbannya mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Dalam episode awal terorisme, muncul kelompok seperti Al Qaedah di Afganistan dan Pakistan serta Al Jamaah Al Islamiah (JI) di Indonesia yang menjalankan terorisme dengan serangan bom, baik dengan metode bom bunuh diri (homicide bomber) maupun istimata atau bom dengan timer. Serangan terorisme dengan metode bom seperti di atas tentu menimbulkan kerusakan dan jatuhnya korban jiwa yang begitu dahsyat, efek dari serangan ini pun dapat segera dirasakan banyak orang, baik dalam bentuk ketakutan maupun kecemasan luar biasa.

Hanya saja, serangan terorisme dengan metode bom kerap menyasar korban secara acak. Mereka yang sebenarnya tidak mengetahui apa-apa tentang ideologi dan gerakan terorisme bisa menjadi korban. Di sisi lain metode ini juga berpotensi ‘menghabisi’ kelompok teroris itu sendiri, karena dengan semakin banyak anggota kelompok teroris yang melakukan bom bunuh diri, maka semakin berkurang pula kekuatan kelompoknya, karenanya dalam episode terbaru terorisme, metode bom acak mulai ditinggalkan.

Dalam terorisme episode terbaru, kelompok teroris cenderung lebih menekankan penggunaan pola serangan istiharat atau penembakan terpilih, dimana sasaran dipilih terlebih dahulu sebelum ditembak. Aparat pemerintah merupakan kelompok masyarakat yang paling sering dijadikan sasaran. Namun metode serangan ini rupanya tidak serta merta mengakhiri pola serangan acak, karena dalam beberapa kasus masih ditemukan kelompok teroris yang melakukan penembakan secara acak dan membabi buta.

 

Agama Tidak Lagi Menjadi ‘Jualan’ Kelompok Teroris

Temuan menarik dari terorisme episode terbaru ini adalah fakta bahwa Agama rupanya tidak lagi menjadi sole factor bagi lahir dan berkembangnya radikalisme-terorisme; ada banyak faktor lain yang juga memainkan peranan besar, sebut saja faktor ekonomi dan heroisme. Dalam kasus bergabungnya beberapa anak muda kedalam kelompok teroris ISIS beberapa waktu lalu, rata-rata mereka mengaku tertarik bergabung dengan kelompok teroris itu karena melihat kegagahan para tentara ISIS yang mereka anggap heroik. Sepertinya aneh, tetapi itulah faktanya.

Tragedi serangan teror di kota Paris beberapa waktu lalu telah membelalakkan mata hampir seluruh mata umat manusia dunia. Serangan itu menunjukkan bahwa kelompok teroris ternyata mampu memainkan opera tentang kekerasan dengan begitu baik dan nyaris sempurna. Mereka memilih kota pusat mode dunia sebagai ladang serangan, sehingga dengannya perhatian dunia semakin mudah mereka dapatkan. Padahal sehari sebelumnya kota Beirut juga telah diguncang oleh bom yang menewaskan sedikitnya 40 0rang. Beberapa hari sebelum itu, sebuah pesawat komersial Rusia dari Sharm el Sheikh Mesir menuju St Petersberg, Rusia ditembak jatuh di kawasan Sinai yang menewaskan korban 224 orang. Setelah serangan bom Paris, tepatnya di San Benardino, California, AS, sepasang suami istri Syed Rizwan Farook dan Tashfeen Malik menembaki orang tak berdosa yang mengakibatkan 14 orang meninggal.

Jika ditilik dari sisi tingkatan serangan, terror di Paris sesungguhnya termasuk dalam serangan dengan daya kecil. Kerusakan infrastruktur yang ditimbulkan oleh serangan itu juga kecil, dibandingkan dengan serangan bom Bali baik bom Bali I maupun II misalnya, serangan di Paris kalah jauh. Terror di Paris juga tidak sedahsyat bom underground di subway London pada 2005, tetapi serangan itu menjadi masive karena korban jiwanya ratusan serta menimbulkan rasa takut secara meluas, massive dan global.

Kelompok teroris sekelas ISIS paham betul potensi serangan ini, karena dengan bersegera mereka menyatakan diri sebagai kelompok yang bertanggungjawab atas serangan itu. Seperti lagu lama, panji-panji perjuangan tetaplah bertema jihad, khilafah dan daulah. Kepongahan dan kecerobohan kelompok teroris tidak memberi apa-apa kecuali kesusahan dan sikap-sikap arogan yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai agama yang katanya mereka bela. Apa yang merak lakukan selama ini tentu telah menjadikan banyak anak menjadi yatim piatu, perempuan menjadi janda, dst. Korban selamat juga banyak yang akhirnya mengalami cacat permanen akibat serangan simultan itu. Benar bahwa serangan simultan seperti itu telah menciptakan ketakutan-ketakutan global, dan itulah tèrorisme!