Tentang Kesempatan Kedua: Suara Hati Mantan Teroris

Siang ini saya bertemu dengan salah seorang mantan terpidana kasus tindak pindana terorisme yang kini telah bebas bersyarat, sebut saja namanya Pak Budi. Raut mukanya yang lelah dan sorot matanya yang binar seolah menyembunyikan sejarah panjang perjalanannya di belantara terorisme. Bagi orang yang pertama kali bertemu dengannya, pasti tidak akan mengira bahwa lelaki paruh baya itu dulunya adalah salah satu pembesar di sebuah kelompok teroris Jamaah al Islamiah (JI). Gaya bicaranya yang sopan, terkesan sangat berhati-hati dalam memilih diksi, sangat berbeda dengan gaya bicaranya dikala muda; membara dan sangat bergelora.

Sebagai salah seorang pembesar di sebuah organisasi lintas batas sekelas JI, tentu Pak Budi bukan orang sembarangan. Pengalaman dan visi-visi besarnya masih tampak jelas dari setiap gerakan badannya. Namun siapa sangka, semua yang pernah ia gapai itu kini ia tinggalkan. Ia tidak lagi terbuai dengan mimpi-mimpi semu tentang pendirian negara Islam yang dulu sempat ia bangga-banggakan.

Perjalanan waktu telah membawa Pak Budi menjadi orang yang lebih berbudi. Jalan-jalan kekerasan ia tinggalkan; ia yakin kekerasan tidak boleh digunakan jika yang diperjuangkan adalah amanah Tuhan. Ia pun mengaku khilaf, bersalah, dan menyesal sejadi-jadinya setiap kali ia menengok kebelakang, meratapi kepongahan dirinya di masa lalu yang tega berbuat aniaya hanya demi menuruti perintah yang ‘katanya’ agama.

Masa penahanannya di Lapas juga telah memberinya banyak waktu untuk merenung dan mencoba memahami kesalahan-kesalahan fatal yang ia perbuat di masa mudanya; bergerilia membangun kekuatan untuk melawan negara kesatuan. Ia pun yakin tidak akan sanggup membayar semua kesalahan yang telah ia buat, namun ia juga percaya bahwa ia layak untuk mendapat kesempatan kedua, yang akan ia gunakan untuk memperbaiki diri dan berbakti kepada negeri.

Kini, setelah ia bebas bersyarat dari masa penahanannya di Lapas, ia mengaku ingin meniti hidup sedari awal. Memulai kembali segalanya bagai seorang bayi yang baru dilahirkan. Meski ia juga tahu hal itu tidak akan mudah dilakukan, terutama karena banyak masyarakat yang masih menganggapnya sebagai sosok yang berbahaya. Terlebih, Pak Budi dulunya bukan teroris kelas pinggiran, yang bergabung dengan kelompok teroris hanya karena ikut-ikutan. Pak Budi, sekali lagi,  adalah orang dengan peran besar di kelompoknya.

Pak Budi sendiri bukannya diam dengan keadaan ini, berkali-kali ia mencoba meyakinkan orang bahwa ia sudah berubah. Ia telah tinggalkan jauh masa lalu dan bersiap untuk menata hidup yang baru.

Kekhawatiran atau mungkin ketakutan masyarakat terkait kembalinya mantan teroris yang telah selesai menjalani masa hukuman tentu sangat bisa dimengerti, namun masyarakat juga sebaiknya tidak lupa bahwa pihak kepolisian tentu sudah memiliki berbagai pertimbangan sebelum akhirnya mengembalikan yang bersangkutan ke tengah-tengah masyarakat. Selama masa penahanan itu, terpidana teroris diajak berdialog, berdiskusi, bahkan tidak jarang berdebat tentang pola pikir mereka yang menyimpang, hingga akhirnya mereka sadar akan kesalahan yang telah mereka lakukan.

Pak Budi hanyalah sebuah contoh nyata tentang anak manusia yang pernah berbuat dosa, ia mengakui semua kesalahan yang telah ia perbuat, penyesalan yang merudungnya pun begitu mencekik urat lehernya hingga ia seakan sekarat. Di tengah berbagai penyesalan yang datang menumpuk kesadarannya, ia hanya ingin diberi kesempatan kedua, agar ia bisa menjadi orang yang berguna.

Karenanya, kembalinya Pak Budi ke masyarakat haruslah disambut dengan baik. Ia dan semua orang yang pernah berbuat kesalahan layak mendapat kesempatan untuk melakukan perubahan. Di depan saya ia berjanji akan membayar kesalahannya dengan ikut aktif dalam setiap kegiatan yang ditujukan untuk mereduksi radikalisme di masyarakat.

Pak Budi juga menyatakan bahagia karena ternyata negara masih sayang kepadanya, terlebih setelah apa yang ia perbuat untuk negara di masa mudanya. Ia tidak menyangka negara masih mau memberinya kesempatan kedua, padahal jika mau, negara bisa saja langsung menghabisinya.

Tentu yang dimaksud negara di sini bukan hanya pemerintah dan aparat negara, tetapi juga kita semua; masyarakat Indonesia. Kita semua percaya bahwa terorisme adalah ancaman nyata dan harus dibabat hingga ke akar-akarnya. Namun kembalinya anak bangsa yang telah bertaubat dari kesalahannya dan bertekad untuk memperbaiki diri, tentu tidak boleh kita tinggal sendiri.